Berani! Jokowi Cabut 2.078 Izin Tambang, Negeri Kaya Energi Terancam Krisis Energi
Editor: MMA
Senin, 10 Januari 2022 08:03 WIB
SURABAYA, BANGSAONLINE.com – Presiden Jokowi marah? Yang
pasti presiden asal Solo itu berani mencabut 2.078 izin tambang. Tapi benarkah
akan banjir gugatan seperti dinyalir PDIP? Lalu bagaimana dengan meningginya
harga batu bara dan ancaman krisis energi?
Simak tulisan wartawan kondang, Dahlan Iskan, di HARIAN BANGSA dan BANGSAONLINE.com pagi ini, Senin (10/1/2022). Selamat mengikuti:
BACA JUGA:
Menteri ESDM: Pasokan Listrik di Jawa Timur Aman
Menteri ESDM Pastikan Smelter Freeport Siap Beroperasi Juni 2024
Pemerintah Perpanjang Kontrak hingga 2061, Menteri ESDM: Cadangan Freeport Bisa Sampai 100 Tahun
Prabowo Diminta Tidak Merusak Nama PBNU Terkait Bagi-bagi Izin Tambang, Ini kata Gus Yahya
SEANDAINYA rakyat boleh bertepuk tangan, rasanya Presiden Jokowi langsung mendapat standing ovation: berani mencabut secara massal izin tambang di seluruh Indonesia. Jumlahnya sampai 2.078 izin. Ada tambang batu bara, lebih banyak lagi tambang mineral lainnya.
Rasanya belum pernah ada seorang pun presiden republik ini yang seberani itu. Sampai ada yang menilai presiden lagi marah –terlihat dari mimiknya.
Mencabut 2.078 izin bukanlah perkara mudah. Mencabut izin itu punya konsekuensi hukum. Juga, konsekuensi investasi: kepastian berusaha.
Bahwa yang mencabut itu presiden sendiri –bukan tingkat menteri– pertanda kemarahan pemerintah sudah sampai pada puncaknya.
Logikanya, presiden menerima usulan dulu: perlunya sanksi kepada pemegang izin yang menelantarkan izin. Lalu, diterbitkanlah peringatan oleh instansi yang terkait. Setelah yang diingatkan bandel, diusulkanlah izin dicabut.
Yang mencabut tentulah instansi yang mengeluarkan izin. Maka, bahwa kali ini presiden sendiri yang mengumumkan pencabutan pastilah amat gawat.
Secara beruntun memang ada dua isu nasional yang dianggap peka belakangan ini.
Pertama soal ancaman krisis energi. Pembangkit-pembangkit listrik di dalam negeri terancam mati: kekurangan batu bara. Kalaupun bisa mendapatkan batu bara, harganya melebihi lonjakan harga minyak goreng. Itu karena harga ekspor batu bara sudah mencapai atap joglo. Pengusaha listrik dalam negeri harus membeli batu bara dengan harga yang sama dengan pengusaha listrik di Jepang: angkat tangan. Menyerah.
PLN sendiri lantas mulai menghemat batu bara –dengan cara yang mahal: membeli gas dari LNG. Yang harganya juga lagi mahal-mahalnya.
Maka, pembangkit-pembangkit listrik ”mahal” dihidupkan dengan bahan bakar LNG yang sangat mahal. Padahal, kalau batu bara cukup, pembangkit jenis itu hanya dihidupkan pada jam-jam puncak: 17.00 sampai 22.00. Yakni, saat orang lebih banyak menggunakan listrik. Pembangkit yang dihidupkan dengan LNG itu, misalnya, yang di Muara Tawar, Muara Angke, dan Tanjung Priok.
Situasi itu sangat memalukan: negeri kaya energi, terancam kekurangan energi. Maka, pemerintah buru-buru bikin keputusan: stop ekspor batu bara. Heboh. Nama Indonesia jadi berita dunia. Dalam konotasi yang kurang baik.
Tapi, kekurangan batu bara di dalam negeri langsung bisa teratasi. Tentu harus ada korban: direktur PLN yang membawahkan penyediaan energi primer dicopot.
PLN itu serbasulit: punya tiga juragan langsung –di samping banyak juragan lainnya.
PLN harus tunduk pada menteri ESDM, menteri BUMN, dan menteri keuangan. Dalam hal penyediaan batu bara, PLN terikat pada Kementerian ESDM.
Perencanaan penggunaan batu bara untuk setahun ke depan harus disetujui kementerian itu.
Simak berita selengkapnya ...