Jelang Muktamar NU, Komisi Bahtsul Masail Qonuniyah Gelar FGD, Sunni-Syiah Dianggap Banyak Kesamaan

Jelang Muktamar NU, Komisi Bahtsul Masail Qonuniyah Gelar FGD, Sunni-Syiah Dianggap Banyak Kesamaan

BANGSAONLINE.com - Muktamar NU ke-33 akan digelar di Jombang pada 1 hingga 5 Agustus 2015 mendatang. Panitia Muktamar NU mulai menggelar beberapa acara sebagai kegiatan pra Muktamar, diantaranya diskusi. Kemarin (Selasa (7/4), Komisi Bahtsul Masail Qonuniyah yang bertugas membahas perundang-undangan, mengadakan Focus Group Discussion (FGD). Antara lain menyangkut masalah RUU Perlindungan Umat Beragama, perkawinan dan haji. Hadir sebagai narasumber Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah, Masykuri Abdillah dan Dirjen Bimas, Islam Machasin.

Tema mengenai perlindungan umat beragama termasuk masalah yang mengundang pro kontra. Prof Masykuri menjelaskan, masalah yang banyak diperdebatkan adalah mengenai menodaan agama dan penafsiran diluar mainstream aliran utama. Dari sinilah akhirnya mengemuka persoalan yang menyangkut aliran Syiah, Ahmadiyah, sekolah non Muslim yang tidak mengajarkan agama Islam bagi siswa muslim, dan lainnya. Persoalan perkawinan yang dibahas mencakup kawin siri dan isbath nikah.

Baca Juga: Mitos Khittah NU dan Logika Kekuasaan

Yang menarik, ketika membahas masalah Syiah. Seperti dilaporkan NU Online, para peserta dan narasumber umumnya berpendapat, banyak persamaan antara sunni dan syiah. Di Arab Saudi pun juga terdapat pengikut Syiah. Yang menjadi persoalan adalah ketika pengikut syiah mencela para sahabat nabi yang sangat dihormati oleh kelompok sunni. Maka jika hal ini terjadi, bisa masuk ranah penistaan terhadap agama.

Sikap ini tentu berbeda dengan PWNU dan PCNU yang umumnya menganggap Syiah mengancam paham Ahlussunnah Wal Jamaah (Aswaja). Sebelumnya diberitakan, Rais Syuriah PCNU Nganjuk KH Ahmad Baghowi mengaku bingung karena sikap PBNU yang cenderung pro Syiah.

“Sepengetahuan saya MUI memutuskan bahwa Syiah adalah ajaran terlarang. Tapi saya lihat di tayangan TV PBNU menyatakan bahwa Syiah adalah saudara ktia dan tak ada perbedaan dengan kita. Dan itu atas nama PBNU. Saya kan bingung,” katanya.

Baca Juga: Kembangkan Kewirausahaan di Lingkungan NU, Kementerian BUMN Teken MoU dengan PBNU

Rais Syuriah PCNU Jember KH Muhyidin Abdusshomad mengatakan kini banyak sekali agen-agen Syiah yang bergerak di kantong-kantong NU. Kiai Muhyiddin mencontohkan kasus Syiah di Sampang. “Di Sampang itu hanya dalam waktu singkat, Syiah sudah hampir menguasai separuh Sampang,” kata Kiai Muhyiddin yang banyak menulis buku tentang Aswaja.

Menurut dia, ketika Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari mendirikan NU pada tahun 1926, itu adalah antisipasi dan menjaga serangan paham luar terhadap paham Aswaja. Padahal, waktu itu, Syiah masih berada dalam lingkup Persia. Begitu juga Wahabi saat itu masih ada di Saudi Arabia.

“Sekarang Syiah dan Wahabi sudah berada di sekeliling kita,” kata Kiai Muhyiddin mengingatkan tentang ekspansi dua paham tersebut ke Indonesia terutama kedalam NU. Karena itu ia mempertanyakan rasa kepedulian para kiai terhadap paham Aswaja jika kini tak tergugah semangatnya untuk bangkit melawan gerakan Syiah dan Wahabi yang kini gencar masuk ke NU.

Baca Juga: Konflik Baru Cak Imin, Istri Said Aqil Mundur dari PKB, Akibat Khianat saat Muktamar NU?

Mengenai pendirian rumah ibadah, Masykuri menjelaskan sebenarnya, Indonesia paling mudah pendirian rumah ibadah dibandingkan dengan negara-negara lain, termasuk Eropa dan Amerika Serikat. Mengutip data BPS tahun 2010 ia mengungkapkan bahwa kelompok minoritas di Indonesia berjumlah 12.69 persen, tetapi persentase rumah ibadahnya mencapai 23.5 persen.

Jumlah gereja Kristen dan Katolik di Indonesia mencapai 61.756, terbesar ketiga setelah AS dan Brasil. Sementara rasio jumlah gereja dengan pemeluk Kristen di Indonesia tertinggi di dunia, yakni 1:327 dibandingkan dengan AS (sekitar 1:745), Inggris (sekitar 1:850) dan Italia (sekitar 1:2047).

Masykuri yang menjadi sekretaris Wantimpres era SBY ini menjelaskan, ia seringkali menerima perwakilan gereja dari Barat yang mengeluhkan pendirian rumah ibadah di Indonesia, tetapi setelah ia menyampaikan data-data tersebut diatas, banyak diantara mereka yang terkejut, ternyata informasi yang mereka terima selama ini hanya satu pihak.

Baca Juga: Emil Dardak Dukung Muktamar NU ke-35 di Surabaya

Masykuri yang lulusan doktor dari Jeman ini menjelaskan, negara-negara Eropa yang selama ini dipersepsikan sangat bebas, ternyata memiliki regulasi yang ketat dalam pengaturan kehidupan beragama termasuk pendirian rumah ibadah.

Ia menunjukkan data, di Italia, dengan jumlah muslim 1.583.000 sampai saat ini hanya diizinkan berdiri 3 masjid (1:527.666), Inggris, dengan jumlah Muslim sekitar 2.869.000 jumlah masjid sekitar 1400 (1:2.049), Jerman dengan jumlah Muslim 4.119. 000 jumlah masjid sekitar 2.500 (1:1.647) , sedangkan di Amerika Serikat, dengan jumlah Muslim 2.350.000 jumlah masjid sekitar 2.100 (1:119). Bahkan di Slovakia dan Slovania sampai sekarang umat Islam belum diizinkan mendirikan masjid.

Diskusi yang berkembang adalah, NU selama ini telah berjuang membantu minoritas, tetapi disisi lain, perlindungan terhadap dirinya sendiri kurang. Salah satu contohnya adalah sulitnya siswa Muslim yang belajar di sekolah non Muslim untuk mendapatkan pendidikan agama Islam, padahal amanah UU Pendidikan menetapkan bahwa peserta didik harus mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan keyakinannya.

Baca Juga: Satu Abad Nahdlatul Ulama, Eri Cahyadi Ingin Surabaya jadi Tuan Rumah Muktamar NU ke-35

Prof Machasin menambahkan soal nikah siri yang sekarang ini masih banyak yang terjadi. Terdapat dua motif, pertama adalah karena tradisi. Pernikahan dirayakan tetapi tidak dicatatkan di KUA sementara motif kedua karena sengaja ingin menyembunyikan pernikahannya. Mereka yang menikah siri karena tradisi dicarikan solusi melalui isbath nikah.

Kasus yang diungkapkan diantaranya mengenai banyaknya TKW di luar negari yang meminta isbath nikah dengan pasangan baru mereka di luar negari karena dianggapnya suami yang masih tinggal di Indonesia sudah tidak menunaikan tanggung jawabnya selama lebih dari tiga bulan karena mereka telah meninggalkan Indonesia antara satu sampai dua tahun sebelum mengajukan pernikahan dengan pasangan baru.

Menurutnya, hal ini barangkat dari penggunaan tafsir fikih klasik yang menyatakan, seorang istri yang ditinggalkan suaminya lebih dari tiga bulan dengan tidak diberi nafkah lahir dan batin sudah dianggap cerai. Dalam konteks kekinian, baik menikah atau cerai, harus disertai dengan akta cerai sebagai bukti berakhirnya hubungan pernikahan. Ia menyampaikan perlunya negara turun tangan untuk kemaslahatan umat. (tim)

Baca Juga: Muktamar NU, Yahya Staquf, Birahi Politik, dan Sandal Tertukar

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Lihat juga video 'Mobil Dihadang Petugas, Caketum PBNU Kiai As'ad Ali dan Kiai Asep Jalan Kaki ke Pembukaan Muktamar':


Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO