Haram Kritik PBNU secara Terbuka, Suul Adab dan Bertentangan dengan Akhlak Tawaddlu?

Haram Kritik PBNU secara Terbuka, Suul Adab dan Bertentangan dengan Akhlak Tawaddlu? Mahbub Djunaidi. Foto: Bangkitmedia.com

JAKARTA, BANGSAONLINE.comBelum lama bereselang sorang tokoh “mengharamkan” mengeritik pengurus secara terbuka, terutama PB. Menurut dia, kritik boleh, tapi jangan di depan umum. Harus disampaikan secara personal atau sembunyi-sembunyi. Alasannya, tak sesuai budaya . Suul adab. Orang harus .

“Jadi tulislah yang baik-baik,” kata tokoh itu.

Loh, benarkah budaya anti kritik? Benarkah sikap itu membungkam sikap kritis? 

Di bawah ini BANGSAONLINE.com menurunkan tulisan Mahbub Djunaidi, tokoh berjudul "Pergeseran Tata Nilai ". Tulisan ini dimuat Harian Merdeka pada 12 Juni 1982.

Mahbub Djunaidi selain dikenal sebagai pendiri PMII juga populer sebagai kolumnis dan wartawan senior. Bahkan ia pernah menjadi Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat. Selamat menikmati:

Pergeseran Tata Nilai dalam

Buku Pramudya Ananta Toer yang ditulisnya di Pulau Buru memang dilarang. Tapi ada kalimat di situ yang menarik perhatian saya. Bunyi kalimat Itu: bersikap adillah sejak dalam pikiran. Siapa bisa bantah kebenaran anjuran itu? Jelas saya, tidak.

Oleh sebab itu saya berusaha bersikap adil menilai kasus DR. KH. Idham Chalid. Sikap adil bukan saja mulai dalam pikiran, tapi juga ketika menuangkannya dalam tulisan ini. Sikap adil apa yang saya maksud? Begini. Dari sejak awal tahun 60-an saya mengidap sikap ganda terhadap diri DR. KH. Idham Chalid. Di satu pihak saya menyukainya, dan pada saat yang berbarengan saya menolaknya. Pergantian sikap yang satu ke sikap yang lain begitu seringnya sehingga sulit dihitung jari. Dan karena seringnya itu pula, maka segala sesuatu berjalan seperti tidak ada apa-apa. Bila laki-bini tiap menit bertengkar, para tetangga menganggapnya angin lalu. Tak seorang pun menyimak, kecuali meludah.

Apanya yang saya suka? Pertama karena dia kurus. Saya suka orang yang kurus. Kedua humornya tinggi. Saya suka humor, saya benci cemberut. Bukankah cuma binatang yang tidak suka tertawa? Ada memang saya dengar binatang kuda bisa tertawa, tapi saya kira itu bohong besar.

Dan apanya yang saya tolak? Sifat pelupanya yang tinggi. Ini memang manusiawi. Tapi jika kelewatan, masalahnya bisa jadi lain. Akibat sifat ini, sering dia bilang A pada saya dan bilang B pada lain orang. Padahal perkaranya itu-itu juga. Ini membuat saya tersandung-sandung. Padahal saya kurang suka tersandung-sandung itu. Kemudian saya juga kurang sepakat dengan kebiasaannya mengambang pada saat keputusan yang diperlukan. Bukankah tugas seorang pemimpin sebetulnya gampang saja: mengambil keputusan? Bilamana seorang pemimpin tidak suka mengambil keputusan tegas yang jadi pegangan (tak peduli keputusan itu benar atau meleset), maka segala sesuatu akan jalan mengambang. Seperti layang-layang putus talinya, dan akan jadi rebutan anak-anak.

Atas dasar itu saya sering melancarkan kritik terbuka, kadang kala keras. Akibatnya sering membawa akibat fatal buat diri saya, tapi saya tidak peduli. Misalnya kasus yang menimpa harian “Duta Masyarakat”. Sebagai pemimpin redaksi koran partai , saya tidak begitu saja tunduk kepada jalan pikirannya. Berulang kali saya ditegur, tapi saya nekad. Saya percaya sayalah yang benar karena jurnalistik memang bidang saya. Apa akibatnya? Akibatnya tentunya pada suatu saat turun suatu keputusan yang isinya cukup jelas: Harian “Duta Masyarakat” dipecat selaku organ resmi partai ! Kendati akhirnya rujuk lagi, tapi yang jelas harian resmi partai itu pernah jadi anak gelandangan.

Apakah sikap penolakan terbuka saya ini diterima baik oleh alam seputar? Tentu saja tidak. Sikap saya seperti itu dianggap “bukan kultur ”. Dianggap menyimpang dari tata nilai . Orang yang baik adalah orang yang menyimpan kritik di dalam saku belakangnya. Mengkritik pemimpin adalah bertentangan dengan keharusan hormat kepada orang tua. Bertentangan dengan akhlak “tawadhu”. Maka harga saya segera merosot menjadi harga seekor serigala yang mesti dijauhi. Mesti diceburkan kecomberan!

Lihat juga video 'Gila NU dan Orang NU Gila, Anekdot Gus Dur Edisi Ramadan (16)':


Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO