JAKARTA, BANGSAONLINE.com - Tak disangka. Ternyata tantangan duet kepemimpinan Rais Aam Syuriah PBNU KH Miftahul Akhyar dan KH Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya) tidak hanya datang dari kelompok radikal kanan (Wahabi Salafi) dan radikal kiri (sosialis dan atheis komunis). Tapi juga dari internal NU. Yaitu Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang notabene lahir dari rahim PBNU.
Cak Imin – panggilan Ketua Umum PKB A Muhamin Iskandar – terang-terangan melawan ketua umum PBNU Yahya Staquf. Bahkan Cak Imin bukan hanya melawan, tapi juga meremehkan pengaruh Yahya Staquf di grassroot PKB yang tak lain warga NU.
Ini peristiwa pertama dalam sejarah PBNU. Belum pernah terjadi pimpinan partai politik – apalagi dari kalangan nahdliyin - berani terang-terangan melakukan perang terbuka melawan ketua umum PBNU.
Faktanya, Cak Imin bukan hanya melawan, tapi juga meremehkan ketua umum PBNU. Dengan penuh percaya diri (PD), Cak Imin bahkan terus melakukan manuver politik untuk menunjukkan bahwa Yahya Staquf “tak ada apa-apa”nya.
Peristiwa ini tentu jadi tamparan politik sangat keras. Bukan hanya bagi Yahya Staquf, tapi juga bagi Kiai Mif – panggilan Sang Rais Am, Kiai Miftahul Akhyar. Bukankah mereka “satu paket” saat pemilihan di Muktamar Lampung?
Memang sistem pemilihan Rais Aam-Ketua PBNU tak diatur satu paket dalam AD/ART NU. Juga tidak seperti pemilihan Presiden dan Wakil Presiden yang “satu paket”. Tapi semua kiai dan atitivis NU tahu bahwa Kiai Mif-Gus Yahya satu barisan atau satu “perjuangan” dalam pemilihan di Muktamar ke-34 di Lampung itu.
Banyak yang heran dan tak percaya, kenapa Cak Imin sangat berani melawan Yahya Staquf dan Kiai Mif? Bukankah itu bisa boomerang bagi PKB? Bukankah itu sama dengan menggali lubang kubur untuk dirinya?
Tentu Cak Imin sudah menghitung secara nalar politik. Bahwa Yahya Staquf memang tak punya pengaruh apa-apa bagi warga NU di PKB. Apalagi terhadap para kiai dan pengurus NU yang secara politik berafiliasi ke PKB.
Maka ketika Yahya Staquf “bergerilya” silaturahim, mendekati pada para kiai NU di Jawa Timur, Cak Imin langsung menyapu pengaruh Yahya Staquf dengan menggelar acara doa bersama untuk perdamaian dunia bersama ulama dan para habaib di Surabaya, Ahad (22/5/2022).
(KH Yahya Staquf dan KH Zuhri Zaini, pengasuh Pondok Pesantren Nurul Jadid Paiton Probolinggo Jawa Timur. Foto: NU)
Tema “perdamaian dunia” yang ditampilkan PKB tentu bukan kebetulan. Tapi sekaligus meng-counter atau menandingi wacana yang dikembangkan Yahya Staquf. Kita tahu, saat mengunjungi Pondok Pesantren Nurul Jadid Paiton Probolinggo, Jawa Timur, Yahya Staquf merencanakan menggelar Muktamar Internasional Fiqh Peradaban.
Yahya Staquf yang didampingi Sekjen PBNU Saifullah Yusuf (Gus Ipul) dan Ketua PBNU Amin Said Husni, mengungkapkan bahwa Muktamar Fiqih itu akan digelar di Pesantren Nurul Jadid yang diasuh oleh KH Zuhri Zaini.
Begitu juga pencantuman habaib pada acara doa bersama. Cak Imin seolah mau mengingatkan warga NU bahwa PKB sangat menghormati para habib. Ini sekaligus sindiran bagi Yahya Staquf yang dikenal sebagai sosok tak disukai para habib karena pernah menyatakan para habib itu adalah pengungsi dari Yaman.
Isu-isu itu pasti menjadi kapitalisasi politik sangat penting dan berpengaruh. Apalagi banyak habib bereputasi nasional terang-terangan tak suka Yahya Staquf. Di antaranya Habib Lutfi Bin Yahya Pekalongan Jawa Tengah. Habib Lutfi bahkan langsung menyatakan mengundurkan diri ketika namanya tercantum sebagai anggota Mustasyar PBNU dalam kepengurusan Kiai Mif dan Yahya Staquf.
Diakui atau tidak, Yahya Staquf memang kurang memiliki kemampuan public relations (PR) yang baik. Cara komunikasinya cenderung kasar dan menyakitkan hati para kiai.
Masih segar dalam ingatan ketika Yahya Staquf baru terpilih sebagai ketua umum PBNU. Ia menyatakan akan menata pelatihan kader dengan bahasa kontroversial.