JAKARTA, BANGSAONONLINE.com – Periode kekuasaan Presiden Joko Widodo (Jokowi) hampir habis. Presiden ke-7 itu akan mengakhiri kekuasaannya pada 2024, setelah gagal menunda pemilu dan memperpanjang tiga periode.
“Kini Jokowi berpretensi menjadi kingmaker,” tulis opini Majalah Tempo terbaru, edisi 3 Mei – 5 Juni 2022.
Baca Juga: Kunjungi Kawasan Usaha Batik Khas Sidoarjo, Khofifah Ulas Kekayaan Budaya
Saat ini, tulis Opini Tempo, Jokowi mendorong sejumlah menteri dan kepala daerah untuk menggenjot elektabilitas. Menurut Opini Tempo, secara simultan para kandidat menjajakan diri lewat berbagai kampanye. Sesuatu yang sulit bertentangan dengan etika penyelenggara negara.
“Menteri Badan Usaha Milik Negara Erick Thohir, misalnya, tak sungkan memanfaatkan fasilitas perusahaan negara untuk tampil di hadapan publik,” tulis Opini Tempo.
Begitu juga ketua umum Partai Golkar. “Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto memasang baliho di mana-mana,” tambahnya.
Baca Juga: Didukung Penyintas Semeru, Rakka dan TPD Lumajang yakin Khofifah-Emil Menang
Jokowi belakangan juga mendorong Menteri Pertahanan Prabowo Subianto untuk berlaga. Prabowo bahkan diarahkan untuk menggandeng Khofifah Indar Parawansa, Gubernur Jawa Timur. Tujuannya untuk menggaet suara warga NU.
Ketua Umum Partai Gerindra itu pun beranjang sana ke Gedung Negara Grahadi, Rumah Dinas Gubernur Jawa Timur.
Baca Juga: Meski Elektabilitas Unggul, Khofifah Tetap Blusukan ke Pasar Wadung Asri
(Prabowo Subianto saat bertandang ke Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa. Foto: Humas Pemprov Jatim)
Jokowi juga mendorong Prabowo menggandeng Muhaimin Iskandar, ketua umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Namun untuk Cak Imin tampaknya tak dilakukan oleh Prabowo. Buktinya, hingga kini belum ada berita hiruk pikuk Prabowo silaturahim ke Cak Imin, pangggilan akrab Muhaimin Iskandar.
Beda dengan berita Khofifah yang gencar di publik. Kepada wartawan di Surabaya, Prabowo bahkan mengaku sudah lama memonitor Khofifah.
Baca Juga: Aliansi Transportasi se-Jatim Siap Tebalkan Kemenangan Khofifah-Emil
Jokowi juga dikabarkan mendukung Ganjar Pranowo, Gubernur Jawa Tengah. Sinyal itu bisa ditangkap saat Rapat Kerja Nasional Projo, Relawan Pendukung Jokowi.
(Ganjar Pranowo, Gubernur Jawa Tengah. Foto: Antara)
Baca Juga: Di Rakerda Partai Demokrat Jatim, Khofifah Minta Setiap TPS Wajib Ada Saksi untuk Amankan Suara
Masih menurut Tempo, peran sebagai kingmaker itu dilakukan Jokowi dengan menjadikan diri sebagai model dengan memobilisasi kekuatan populis. Padahal itu masuk dalam pelanggaran.
“Ia lupa bahwa dalam soal jabatan presiden, konstitusi memposisikan presiden sebagai pengemban amanat dan pelaksana undang-undang, bukan kreator kekuasaan,” tulis Tempo lagi.
Dengan mandat ini, menurut Opini Tempo, Jokowi hendaknya tidak menghabiskan sisa waktu dengan sibuk berakrobat politik seraya melepaskan kewajiban-kewajiban mandatorialnya.
Baca Juga: Khofifah Buka Layanan Pemeriksaan Kesehatan Gratis di Pasar Pacar Keling
Kenapa Jokowi ingin jadi kingmaker?
Tempo menulis bahwa itu tak lepas dari langkah buruk – untuk tidak menyebut sebagai pelanggaran undang-undang. Menurut opini Tempo, muncul dugaan bahwa dukungan Jokowi kepada banyak kandidat bertujuan mengamankan dirinya dari risiko politik dan hukum setelah 2024.
“Terutama pada periode kedua kekuasaannya, Jokowi banyak melahirkan masalah bagi demokrasi,” tulis Opini Tempo.
Baca Juga: Akrab dan Merakyat, Momen Khofifah Matun Bersama Petani di Ngawi
Apa saja? Opini Tempo menyebut, antara lain: tekanan terhadap kelompok kritis, pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan kreasi Undang-Undang Cipta Karya.
Juga pelemahan lembaga negara seperti Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan kehakiman serta merajalelanya oligarki.
Menurut Opini Tempo, semua itu tak lepas dari peran Jokowi. “Sulit dipisahkan dengan peran Jokowi,” tulis Opini Tempo.
Baca Juga: Emil Dardak Puji Gus Barra Berilmu Tinggi, Punya Jejaring Luas, Rubaie: Dekengani Pusat
Opini Tempo juga menulis bahwa leluasanya Jokowi berakrobat sebagai kingmaker tak lepas dari hilangnya fungsi partai politik dalam mendorong lahirnya pemimpin Indonesia masa depan yang tidak terkungkung tujuan jangka pendek.
Partai politik menutup pintu terhadap kandidat alternatif lewat aturan ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold). Dengan dalih pemangkasan biaya, aturan itu mengabaikan substansi demokrasi yang memberikan kesempatan secara adil kepada publik menjadi presiden.
Akibatnya, konvensi partai politik yang menyaring calon presiden dari lapis paling bawah – seperti dilakukan di negara-negara maju – tak dilakukan terutama karena dalih doktrin: wewenang tertinggi partai politik berada di tangan ketua umum.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News