BANYUWANGI, BANGSAONLINE.com – Praktik mafia tanah masih menjadi momok bagi warga Banyuwangi. Banyak warga yang telah menjadi korban. Bahkan sampai saat ini, masih ada warga yang merasa tanahnya diserobot secara sepihak.
Seperti halnya yang dialami Fiftiya Aprialin, warga Desa Sumbergondo, Kecamatan Glenmore, Banyuwangi. Dia beserta keluarganya merasa menjadi korban mafia tanah.
BACA JUGA:
- Tak Terima Rumahnya Jadi Tempat Parkir, Warga Banyuwangi Bacok Tetangganya saat Tahlilan
- Usai Makan Korban Jiwa WNA China, Spot Foto Kawah Ijen Banyuwangi Ditutup
- Diduga Jadi Korban Pengeroyokan, Seorang Pesilat di Banyuwangi Meninggal Dunia
- WNA asal China Tewas, Usai Terpeleset ke Jurang Kawah Ijen Banyuwangi
Bagaimana tidak, berawal dari hutang piutang ratusan juta, aset tanah warisan milik keluarga besar Fiftiya seluas 4,5 hektare dengan nilai Rp6 miliar itu kini dikuasai orang lain. Nama kepemilikan sertifikat pun tiba-tiba berubah.
Budi Hariyanto, SH, kuasa hukum keluarga Fiftiya mengatakan, dugaan praktik mafia tanah yang menimpa kliennya tersebut bermula dari salah satu anggota keluarga bernama Sumarah, menggadaikan sertifikat kepada seseorang berinisial GS, pada tahun 2018 lalu.
Saat itu, GS ini juga mengetahui bahwa 5 sertifikat tanah milik saudara Sumarah sedang menjadi agunan. Namun, entah bagaimana caranya tiba-tiba saja sejumlah sertifikat tersebut bisa dipegang GS.
“Tanpa sepengetahuan pemilik, sejumlah sertifikat tersebut diambil, kemudian menjadi hutang atau tanggungan pemilik sertifikat,” kata Budi kepada wartawan Rabu (8/6/2022).
Singkat cerita, hutang piutang tersebut berbuah gugatan melalui Pengadilan Agama (PA) Banyuwangi. Namun, gugatan tersebut berujung mediasi dengan menghasilkan Surat Perjanjian Perdamaian Bersama antara Fiftiya dan keluarga dengan GS, tertanggal 29 November 2018.
"Yang salah satu isinya, Fiftiya sekeluarga harus membayar piutang sebesar Rp958 juta selambat-lambatnya tanggal 29 Januari 2019. Jika tidak dapat dipenuhi, tanah tersebut bisa dialihkan GS," ujar Budi.
Namun sayangnya, kata Budi, ketika keluarga kliennya telah membawakan uang pelunasan piutang sebelum batas waktu yang disepakati, GS ini malah diduga tidak memiliki itikad baik. Dia selalu tidak hadir, meski PA Banyuwangi telah memanggilnya beberapa kali.
"Saat pengadilan Agama memanggil GS, dia selalu mangkir tidak hadir. Hingga melewati batas jatuh tempo yang telah disepakati," ujar Budi.
Lebih lanjut Budi mengatakan, dugaan praktik mafia tanah ini pun tampak terlihat ketika PA Banyuwangi menganggap uang pembayaran yang telah dibawa dalam proses perdamaian tidak ada, bahkan terkesan berat sebelah. Parahnya lagi, PA Banyuwangi juga menerbitkan surat perintah eksekusi.