​Keuangan Keluarga Muslim, Fiqh Perdagangan dan Pelajaran Disiplin-Jujur dari Jepang

​Keuangan Keluarga Muslim, Fiqh Perdagangan dan Pelajaran Disiplin-Jujur dari Jepang M Ali Haidar. Foto: dokumentasi pribadi

Oleh: -- Selesai menerima telepon dari Prof. Dr. KH Asep Saifuddin Chalim saya sempat tercenung agak lama. Saya diminta ikut ambil bagian dalam seminar internasional. Soal ini saja sudah bikin saya kaget setengan mati. Lebih-lebih tema yang harus saya sampaikan. Tentang ekonomi dan manajemen rumah tangga atau keluarga muslim kontemporer. Ampun deh!

Dua hari saya mondar mandir mengelilingi komputer. Saya belum menemukan bahan untuk menulis. Buku tidak punya. Hasil riset tidak saya temukan. Pengalaman memimpin perusahaan bisnis tidak pernah. Sama sekali bleng tentang ekonomi dan manajemen.

Tetapi saya tetap berusaha menulis. Tugas dari Kiai Asep saya anggap berkah dari langit. Sebenarnya sudah lama saya memiliki buku Muhammad Syafii Antonio (Nio Gwan Chung) judul Nabi Muhammad SAW The Super Leader Super Manager. Terbit pertama tahun 2007. Buku itu pernah saya baca sepintas saja. Untung masih saya simpan.

Buku menggambarkan sosok Nabi Muhammad yang sukses memimpin masyarakat Arab dan menyebarkan dakwah Islam sehingga jejaknya kemudian Islam berkembang sedemikian cepat menguasasi seperempat belahan bumi. Namun saya tidak memperoleh informasi apa pun mengenai kehidupan ekonomi masyakat Arab Islam, pendapatan per kapita, volume perdagangan pertahun. Berapa jumlah kelas pedagang kelas menengah, petani kebun, berapa luas rata-rata lahan perkebunan mereka. Dan seterusnya.

Memang agak sulit menemukan referensi studi Islam awal mengenai soal ekonomi tersebut, lebih-lebih ekonomi keluarga atau rumah tangga. Kecuali bahwa kemajuan wilayah yang begitu cepat menyebar ke seantero jazirah Arab dan sekitarnya menjadi salah satu tanda kemakmuran warga masyarakat maupun pemerintah. Dalam tempo hanya 10 tahun setelah Nabi hijrah ke Madinah kemudian 30 tahunan masa kekhalifahan, penyebaran wilayah Islam sampai ke Bizantium, Persia dan Afrika Utara. Kesimpulan sederhananya mana mungkin Islam bisa berkembang dan menyebar begitu luas kalau pemerintah dan rakyatnya miskin.

Selain itu informasi bahwa selama 10 tahun Nabi di Madinah terjadi kurang lebih 30 kali peperangan. Berarti tiap tahun rata-rata tiga kali perang. Perang zaman itu memang sebagai salah satu sumber keuangan negara karena pendapatan dari ghanimah atau pampasan perang. Tetapi itu bukanlah faktor utama, sebab ghanimah pada waktu itu dibagi habis.

Bahwa kemudian faktor ghanimah memberi sumbangan kenaikan tingkat ekonomi masyarakat memang betul. Tetapi tidak pernah atau jarang sekali ada studi setiap kali perang berapa nilai ghanimah yang didapat dan masing-masing warga yang mengikuti perang mendapat berapa bagian ghanimah.

Studi mengenai tingkat enomi masyarakat boleh dikata minim. Informasi yang umum tentang indikator kemakmuran seseorang antara lain diukur berapa ekor jumlah onta atau kambing yang dimiliki.

Masyarakat Arab dahulu adalah pedagang karena tidak memiliki tanah subur untuk pertanian. Berdagang satu-satunya pilihan untuk bertahan hidup. Ibadah haji di Mekkah diikuti pula kegiatan berdagng. Hal itu digambarkan dalam surah Quraisy adanya siklus (rihlata assyita’ wa as-shayf) lalu lintas (perdagangan) sebagai sumber penghasilan ekonomi rumah tangga (untuk makan minum). Lagi-lagi data volume pedagangan tidak pernah, setidaknya yang saya ketahui, menjadi obyek kajian studi Islam.

Buku yang ditulis MA Shaban Sejarah Islam (600-750) Penafsiran Baru terjemahan Machnun Husein dari Islamic History, AD 600-700 (AH 132) a New Interpretation antara lain mengemukakan tafsir baru mengenai sejarah perang Badr yang berbeda dengan tafsir tentang perang Badr pada umumnya. Menurut Shaban, perang tersebut sebenarnya merupakan kegiatan ekonomi biasa untuk mendapatkan sumber keuangan negara. Tentu saat itu kebiasaan semacam itu legal. Dilakukan oleh semua kekuatan politik suku maupun kerajaan. Tetapi yang lebih penting strategi perang yang dijalankan Nabi Muhammad, perang tersebut merupakan upaya memindahkan pusat distribusi barang dari Mekkah ke Madinah. Upaya itu terbukti berhasil. Sesudah perang Badr tidak ada lagi armada dagang Quraisy dari Syria ke Mekkah yang melintas Badr. Madinah kemudian menjadi pusat perdagangan dan bisnis. Syafii Antonio menuturkan banyak misi dagang dari wilayah sekitar Madinah berkunjung ke Madinah untuk menjalin kerjasama bisnis.

Sepuluh tahun sesudah peristiwa Badr itu ekonomi Mekkah lumpuh. Tidak mempunyai kekuatan politik apa pun. Nabi Muhammad kemudian menaklukkan Mekkah tanpa perang. Tanpa setetes pun darah mengalir.

Sayang kegiatan berdagang itu berhenti sebatas dagang. Tidak ada kelanjutan apa pun. Ini berbeda dengan sejarah Eropa. Bagaimana dengan Eropa dan Amerikan serta negara maju lainnya. Mereka sekarang menikmati kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Tingkat hidup mereka makmur dan sejahtera. Ketika ribut-ribut kartun Nabi Muhammad di Denmark beberapa tahun lalu Majalah Tempo menurunkan laporan satir. Tentang satu keluarga kecil imigran berasal dari Palestina. Belasan tahun lalu mereka tiba di Denmark. Salah seorang putranya barusan menamatkan sekolah SMK Radiologi. Dia diterima bekerja di sebuah rumah sakit universitas di pinggiran kota di Denmark. Tahu berapa gaji yang dia terima? Kalau dikurs rupiah nilainya setara 40 juta rupiah per bulan. Itu gaji pemula dengan masa kerja 0 sampai 5 tahun.

Sepertiga atau seperempat dari gaji itu bisa mereka tabung. Dia tinggal di apartemen menjelang perkawinanya. Wartawan bertanya kepada mereka, apakah punya keinginan balik ke Palestina?

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO