KH Ghozali Masruri: Munas Kondisioning, Saya tak Bertanggung Jawab kepada Allah

KH Ghozali Masruri: Munas Kondisioning, Saya tak Bertanggung Jawab kepada Allah KH. Drs. H. A Ghozali Masruri. foto: tribunnews

SURABAYA, BANGSAONLINE.com - KH Drs. H. A. Ghozali Masruri, salah seorang tokoh NU pelaku sejarah dalam Muktamar NU ke-27 pada 1984 di Situbondo menyayangkan langkah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menggelar Musyawarah Nasional (Munas) yang ternyata direkayasa untuk menggiring peserta kepada Ahlul Halli Wal-Aqdi (AHWA) pada Sabtu (14-15/6/2015). ”Ini kondisioning,” kata Kiai Ghozali Masruri kepada BANGSAONLINE.com tadi malam (Senin, 15/6/2015). Kini Kiai Gozali menjabat sebagai Ketua Lajnah Falakiah PBNU.

Sekedar informasi, dalam susunan PBNU hasil Muktamar NU ke-27 di Situbondo yang memilih KH Ahmad Siddiq sebagai Rais Am dan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sebagai Ketua Umum PBNU itu, Kiai Ghozali Masruri dipercaya sebagai wakil Katib PBNU, sedang Katib Am dipercayakan kepada KH Chamid Widjaya. Jadi Kiai Ghozali Masruri adalah tokoh NU yang banyak tahu tentang proses AHWA dalam Muktamar NU ke-27 di Situbondo.

Baca Juga: Mitos Khittah NU dan Logika Kekuasaan

Apalagi ia kemudian tercatat sebagai salah satu pengurus harian PBNU hasil Muktamar NU ke-27 yang sangat bersejarah itu. ”Ini anugerah. Karena saya waktu itu paling muda. Tapi dipanggil Kiai As’ad dan bertemu empat mata. Kiai As’ad bilang, kalau ada apa-apa dengan NU panggil Ghozali,” katanya menirukan perintah Kiai As’ad.

Yang dimaksud Kiai As’ad adalah Kiai As’ad Syamsul Arifin, kiai sepuh NU yang ditunjuk sebagai Ahlul Halli Wal Aqdi dalam Muktamar NU ke-27 di Situbondo. Kiai As’ad adalah kiai kharismatik dan pengasuh Pondok Pesantren Salafiah Syafiiah Sukorejo Situbondo yang saat itu menjadi kiai sentral dalam NU.

Kiai Ghozali Masruri mengisahkan ketika dirinya terlibat dalam dalam Muktamar NU ke-27 di Pondok Pesantren Salafiah Syafiiah Sukorejo Situbondo Jawa Timur yang saat itu memakai sistem AHWA. Menurut dia, kondisinya saat itu berbeda dengan kondisi sekarang. ”Sekarang ini saya heran ada apa kok ujug-ujug memakai Ahwa,” kata kiai yang sudah 36 tahun menjadi pengurus PBNU ini.

Baca Juga: Kembangkan Kewirausahaan di Lingkungan NU, Kementerian BUMN Teken MoU dengan PBNU

”Saya sudah mengingatkan kepada PBNU. Karena kondisinya sudah seperti ini (rekayasa-red). Kalau ada apa-apa saya tak bertanggungjawab kepada Allah SWT,” tegasnya.

Menurut dia, saat Muktamar NU ke-27 di Situbondo, KH Idham Cholid sangat kuat dan tak bisa dikalahkan oleh siapapun. Tujuan para kiai sepuh mengganti Kiai Idham karena murni dan tulus untuk memperbaiki NU. Sebab Kiai Idham sudah 26 tahun mimpin NU dan banyak diwarnai politik. ”Gus Dur saat itu kan baru datang dari luar negeri. Jadi belum dikenal,” tutur Kiai Ghozali.

”Saat itu Kiai As’ad bilang kepada saya, ini (memilih Gus Dur) untuk bayar utang kepada kakeknya,” katanya.

Baca Juga: Konflik Baru Cak Imin, Istri Said Aqil Mundur dari PKB, Akibat Khianat saat Muktamar NU?

Begitu juga kiai-kiai yang lain seperti KH Mahrus Ali dari Pesantren Lirboyo Kediri Jawa Timur minta agar Kiai Ghozali Masruri memilih Gus Dur. Tapi proses AHWA sangat transparan, tidak seperti yang dilakukan PBNU sekarang.

Bahkan setelah Muktamar NU ke-27 yang memakai AHWA itu, ia terus melakukan sosialisasi agar pemilihan Rais Syuriah dan Ketua Umum PBNU dilakukan secara langsung, tidak pakai AHWA lagi. Muktamar NU ke-27 pakai AHWA karena darurat.

”Setelah itu saya kirimi surat semua agar pakai pemilihan langsung. Karena kalau AHWA dianggap satu-satunya pemilihan yang baik menurut agama berarti kepengurusan NU sebelumnya, sejak Mbah Hasyim Asy’ari dan seterusnya dianggap tidak baik dan rusak semua. Ini kan bahaya,” katanya.

Baca Juga: Emil Dardak Dukung Muktamar NU ke-35 di Surabaya

Kiai Ghozali Masruri hadir dan menjadi pembicara aktif dalam Munas yang dibuka Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Masjid Istiqlal Jakarta itu. Menurut dia, Munas kali ini banyak kejanggalan dan cenderung memaksakan AHWA dengan berbagai alasan. ”Masak dalam satu periode tiga kali Munas,” katanya. Ia tak mempersoalkan seandainya Munasnya berkualitas.

”Tapi Munasnya tak berbobot,” katanya.

Ia juga mengungkap alasan-alasan AHWA yang dipaksakan secara tak masuk akal.

Baca Juga: Satu Abad Nahdlatul Ulama, Eri Cahyadi Ingin Surabaya jadi Tuan Rumah Muktamar NU ke-35

“Saya tanya dalam Munas kenapa tiba-tiba ada konsep pemilihan Ahlul Hali Wal Aqdi ini. Mereka tak jawab. Mereka mau membuka kitab. Saya bilang, tak usah buka kitab. Karena yang hadir di sini kiai semua, alim kitab semua. Jadi dalilnya sudah tahu. Yang saya tanya kenapa kok tiba-tiba ada konsep ini. Ini kan Ahlul Halli Wal 'NGAKALI' (membodohi/mencurangi, red). Ini bahaya sekali,” tegas Kiai Ghozali Masruri.

Ia juga menceritakan alasan kiai dari Jawa Timur yang hadir dalam Munas tersebut. ”Dari Jawa Timur bilang kepada saya. Sampean kan gak tahu Jawa Timur. Di Jawa Timur itu bukan kiai tapi jadi Rais Syuriah. Karena itu perlu AHWA,” katanya sembari menyebut nama seorang kiai yang cenderung meremehkan rais Syuriah PCNU di Jawa Timur tersebut. ”Saya jawab itu kan kasuistis,” katanya.

Kiai Ghozali Masruri justru mempertanyakan kinerja jajaran Syuriah PBNU yang menurut dia tidak maksimal. ”Sekarang ini Syuriah itu kan banyak, A’wan banyak, Katib banyak dan fasilitasnya banyak. Tapi kenapa kok gak sungguh-sungguh,” katanya.

Baca Juga: Muktamar NU, Yahya Staquf, Birahi Politik, dan Sandal Tertukar

Ia menceritakan prestasi kiai-kiai jaman dulu dalam bahtsul masail. ”Dulu kalau bahtsul masail semua kiai membuka kitab kuning di tempat bahtsul masail (jadi obeyektif). 28 masalah langsung selesai. Paling sisa empat masalah. Jadi tak seperti sekarang, jawabannya sudah ada lebih dulu,” katanya.

Ia mengaku masih kerabat dekat dengan KH A Mustofa Bisri, tapi dalam masalah NU ia mengaku tak melihat orang perorang. ”Dalam Muktamar NU saya tak melihat man (orang) tapi melihat konsep,” katanya.

“Baru setelah konsep itu ada kita carikan orangnya yang tepat,” katanya. Karena itu ia tak sepakat dengan langkah PBNU yang cenderung menggiring AHWA untuk kepentingan status quo (kelanggengan kekuasaan) kepemimpinan PBNU sekarang.

Baca Juga: Ketum PBNU yang Baru Diharapkan Mampu Menjawab Tantangan di Era Globalisasi

Seperti diberitakan, Munas Alim Ulama yang diselenggarakan PBNU diklaim menyepakati Rais Aam PBNU dipilih secara musyawarah untuk mufakat oleh Ahlul Halli wal Aqdi.

"Pemilihan Rais Aam secara otomatis akan diterapkan dalam Muktamar yang akan dilaksanakan bulan Agustus mendatang," ungkap pimpinan sidang Munas Alim Ulama Nahdlatul Ulama, KH Ahmad Ishomuddin, dalam siaran pers yang diterima, Senin (15/6/2015).

Padahal, menurut Kiai Ghozali Masruri, AHWA tidak otomatis jadi sistem pemilihan dalam Muktamar NU ke-33 di alun-alun Jombang. Karena Munas tak punya hak untuk memaksakan kepada Muktamar. ”Yang menentukan ya para muktamirin,” katanya.

Baca Juga: Sepulang dari Muktamar NU, Ini yang Dilakukan Kiai Asep Saifuddin Chalim

Artinya, apakah nanti pakai AHWA atau sistem pemilihan langsung dalam Muktamar ke-33 nanti tetap para Muktamirin yang menentukan. Karena produk Munas tidak mengikat dan tidak final. (tim)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Lihat juga video 'Mobil Dihadang Petugas, Caketum PBNU Kiai As'ad Ali dan Kiai Asep Jalan Kaki ke Pembukaan Muktamar':


Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO