SURABAYA, BANGSAONLINE.com - KH Abdul Muhith Muzadi, satu-satunya santri langsung Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari yang masih hidup, ternyata menolak Ahlul Halli Wal Aqdi (AHWA) untuk pemilihan Rais Am Syuriah PBNU dalam Muktamar NU ke-33 yang bakal digelar pada 1 – 5 Agustus 2015 di alun-alun Jombang. Padahal Mbah Muhith – panggilan KH Muhith Muzadi – adalah penggagas AHWA dan khittah yang kemudian diratifikasi oleh KH Ahmad Siddiq dalam Muktamar NU ke-27 pada 1984 di Situbondo Jawa Timur.
”Ahlul Halli Wal Aqdi itu hanya diterapkan saat muktamar NU di Situbondo, karena saat itu Kiai Idham Khalid sudah tak disukai kiai-kiai sepuh dan anak-anak muda NU,” kata Mbah Muhith kepada BANGSAONLINE.com sembari menuturkan bahwa dirinya terus mengikuti perkembangan NU meski tak utuh.
Baca Juga: Mitos Khittah NU dan Logika Kekuasaan
Sekedar informasi, saat itu Kiai Idham Khalid, selain menjabat Ketua Umum PBNU juga Presiden Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Kiai-kiai merasa prihatin karena NU terus mengalami kemunduran dan hanya dijadikan alat untuk legitimasi politik. Karena itu para kiai lalu berinisiatif untuk mengembalikan NU ke khitah 26 yang konseptornya adalah Mbah Muhith.
”Tapi konsep khitah itu kan gak mungkin diberikan kepada Kiai Idham Khalid karena Kiai Idham Khalid selain menjabat Ketua Umum PBNU juga Presiden PPP,” katanya. Artinya, Kiai Idham Khalid pasti menolak konsep khittah.
Maka digagaslah AHWA untuk menggantikan Kiai Idham Khalid. Tapi saat itu para kiai kharismatik yang punya muruah tinggi masih lengkap. ”Dulu ada Kiai As’ad Syamsul Arifin, Kiai Mahrus Ali, Kiai Masykur, Kiai Ali Maksum, yang sangat diterima oleh umat NU. Kalau kiai sekarang yang kapasitasnya seperti beliau-beliau itu siapa,” kata Mbah Muhith yang kini Mustasyar PBNU.
Baca Juga: Kembangkan Kewirausahaan di Lingkungan NU, Kementerian BUMN Teken MoU dengan PBNU
Jadi dulu ada faktor-faktor penting yang menyebabkan AHWA itu dipakai. Yaitu untuk mengembalikan NU ke khitah 26. Tapi setelah faktor darurat dalam Muktamar NU ke-27 di Situbondo itu AHWA sudah tak dipakai lagi. Pemilihan Rais Am dan Ketua Umum PBNU dikembalikan kepada hak Rais Syuriah dan Ketua PWNU dan PCNU.
Jadi hak memilih Rais Am dan Ketua Umum itu bukan kewenangan PBNU. Karena itu kalau sekarang PBNU ingin memiliki hak untuk memilih dirinya sendiri. ”Tanyakan kepada wilayah dan cabang, boleh apa ndak, hak memilih Rais Am dan Ketua Umum PBNU itu diambil oleh PBNU. Kalau boleh berarti PBNU beruntung, tapi kalau tak boleh ya PBNU harus tahu diri,” ujarnya.
Mbah Muhith sangat menghargai hak PWNU dan PCNU karena mereka representasi (perwakilan) dari warga NU di daerahnya masing-masing.
Baca Juga: Konflik Baru Cak Imin, Istri Said Aqil Mundur dari PKB, Akibat Khianat saat Muktamar NU?
”Karena itu saya tidak setuju dengan AHWA yang akan diterapkan dalam Muktamar NU ke 33, walaupun nama saya sendiri ikut diusulkan,” kata Mbah Muhith yang dikenal hidup sangat sederhana ini. Apalagi ada Munas tanpa Konbes dan menghasilkan keputusan yang masih banyak ditentang oleh PWNU-PWNU.
Mbah Muhith mengaku dapat informasi bahwa orang yang ngotot AHWA adalah orang-orang yang tidak suka pada KHA Hasyim Muzadi. ”Loh, kalau memang Hasyim Muzadi punya kesalahan pada NU atau ajaran dakwahnya sudah menyimpang dari ajaran ahlussunnah wal jama’ah (Aswaja), kenapa tidak diberitahu saja. Kalau hanya alasan terlalu politis, Gus Dur saja berpolitik, dan itu sudah ada aturan yang jelas di AD/ART maupun Peraturan Organisasi (PO) NU,” katanya heran.
Mbah Muhith kemudian bercerita bahwa saat Muktamar NU di Makasar Kiai Hasyim Muzadi sempat tanya kepada dirinya. ”Kak, gimana saya ini mau dicalonkan jadi Rais Am oleh beberapa PWNU-PCNU. Saya katakan selama Kiai Sahal Mahfudz masih berkenan jangan maju. Alhamdulillah Hasyim Muzadi mengikuti dan membacakan sendiri sikap pengunduran dirinya, walaupun saat itu sudah memberi catatan tertulis pada pimpinan sidang,” katanya lirih.
Baca Juga: Emil Dardak Dukung Muktamar NU ke-35 di Surabaya
Mbah Muhith tampak prihatin terhadap kondisi NU sekarang. Dengan terbata-bata sambil menerawang ke atas Mbah Muhith mengingatkan: “jogoen NU yo, jogoen NU, jogoen NU (jagalah NU, jagalah NU, jagalah NU). Jangan memasukkan orang ke pengurus NU kalau pahamnya diluar NU,” ucapnya.
Menurut dia, sekarang NU sudah mulai kesusupan paham luar Aswaja. ”PBNU sudah ada indikasi kuat kemasukan orang yang tidak segaris dengan NU,” katanya dengan air mata yang berlinang.
Mbah Muhith berharap agar PWNU dan PCNU bermusyawarah menyikapi AHWA dan perkembangan yang ada di NU. Ia juga berharap Kiai Hasyim Muzadi membicarakan dengan para kiai. ”Sampai saat ini Hasyim Muzadi tidak pernah bicara itu dengan saya. Ya, seperti saat ini Hasyim Muzadi ada di forum HAM PBB di Jenewa, FGD di Belanda, dan Mesir, saya tahu hanya dari media dan informasi dari anak-anak,” tutur Mbah Muhith.
Baca Juga: Satu Abad Nahdlatul Ulama, Eri Cahyadi Ingin Surabaya jadi Tuan Rumah Muktamar NU ke-35
”Saya sebenarnya ingin silaturrahim dengan beberapa Kiai dan habib, termasuk Habib Lutfi Pekalongan. Informasinya ulama thariqah minta Hasyim Muzadi jadi Rais Am. Kalau memang itu diperlukan monggo, asal semuanya melalui musyawarah dengan para kiai dan pengurus NU,” katanya.
Sebelumnya, BANGSAONLINE.com memberitakan bahwa dalam Munas itu peserta yang menolak AHWA tak bisa bicara leluasa. Ketua PWNU Banten KH Makmur Masyhar mengungkapkan bahwa setiap PWNU berbicara langsung dipotong oleh pimpinan sidang jika arahnya menolak AHWA. Karena itu ia menilai Munas telah direkayasa secara vulgar. Rais Syuriyah PWNU Bengkulu, KH. Abdullah Munir juga menyatakan bahwa Munas itu tak sah karena diwarnai kebohongan (23/6/2015).
(Baca juga: PWNU Banten Ungkap Kecurangan Munas NU: Setiap Mau Ngomong Dipotong)
Baca Juga: Muktamar NU, Yahya Staquf, Birahi Politik, dan Sandal Tertukar
(Baca juga: PWNU Bengkulu Ungkap Kecurangan: Munas NU Tidak Sah, Diwarnai Kebohongan)
Bahkan Rais Syuriah Sulawesi Tengah Dr KH Jamaluddin Maryajang menilai PBNU telah merendahkan PWNU dan PCNU, terutama karena memaksakan AHWA dalam Munas. Kiai Jamaluddin menilai bahwa penolakan AHWA yang massif tapi tak digubris oleh PBNU bakal berimplikasi serius bagi PBNU.
(Baca juga: Dr KH Jamaluddin, Rais Syuriah Sulteng: PBNU Langgar Organisasi dan Lecehkan AD/ART)
Baca Juga: Ketum PBNU yang Baru Diharapkan Mampu Menjawab Tantangan di Era Globalisasi
Penilaian hampir serupa disampaikan KH Drs. H. A. Ghozali Masruri, salah seorang tokoh NU pelaku sejarah AHWA dalam Muktamar NU ke-27 pada 1984 di Situbondo. Ia menyayangkan langkah PBNU menggelar Munas yang ternyata direkayasa untuk menggiring peserta kepada AHWA pada Sabtu (14-15/6/2015). ”Ini kondisioning,” kata Kiai Ghozali Masruri kepada BANGSAONLINE.com, Senin (15/6/2015).
“Kalau ada apa-apa saya tak bertanggungjawab terhadap Allah SWT,” katanya. (hms).
(Baca juga: KH Ghozali Masruri: Munas Kondisioning, Saya tak Bertanggung Jawab kepada Allah)
Baca Juga: Sepulang dari Muktamar NU, Ini yang Dilakukan Kiai Asep Saifuddin Chalim
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News