Keren, Pengusaha Bubur Bayi Beri Tunjangan Ibadah dan Wajibkan Karyawan Salat Jemaah

Keren, Pengusaha Bubur Bayi Beri Tunjangan Ibadah dan Wajibkan Karyawan Salat Jemaah Dahlan Iskan

SURABAYA, BANGSAONLINE.com Ini tren menarik. Jika selama ini kita sering baca berita seorang pengusaha – non muslim tentunya - melarang karyawannya salat dan pakai busana muslimat terutama jilbab atau hijab, kini justeru muncul tren sebaliknya. Banyak pengusaha yang mementingkan kualitas kehidupan beragama para karyawannya. Terutama para pengusaha kuliner. Mereka bukan hanya memperbolehkan karyawannya berjilbab dan salat, tapi juga mewajibkan karyawannya salat jemaah di musalla yang disiapkan. Tak aneh, jika setiap waktu salat 5 waktu tiba terdengar suara adzan berkumandang.

Ternyata Dahlan Iskan, wartawan handal, malah menemukan fenomena lebih menarik lagi. Tokoh pers nasional ini menulis seorang pengusaha perempuan berhijab. Ia tidak hanya mewajibkan karyawannya salat jemaah tapi juga memberikan pada para karyawannya yang berjumlah 600 orang. Siapa dia?

BACA JUGA:

Silakan simak tulisan Dahlan Iskan di BANGSAONNLINE hari ini, Rabu (7/2/2024). Selamat membaca, semoga menginspirasi:

Wanita berjilbab ini lebih maju dari bisnis orang Tionghoa. “Lihatlah dagangan saya, selalu di depan toko orang Tionghoa,” ujar . Dewi bercanda. Tapi memang sukses. Dia tidak perlu punya toko. Jualannya hanya 2,5 jam: 05.30 sampai 08.00. Karena itu lebih baik sewa emperan toko. Pasang rombong di situ. Toh pagi-pagi toko belum buka. Ketika waktunya toko buka, justru tiba saatnya rombong Dewi harus tutup.

Dengan cara itu kini Dewi punya hampir 600 outlet. Dalam waktu 10 tahun. Bandingkan dengan Disway. Yang sudah enam tahun: baru punya satu website. Gratisan pula.

Dewi pilih punya jualan tunggal. Fokus: bergizi. Mereknya Anda sudah tahu: tertulis di rombong itu.

Saya bertemu Dewi di forum Sekolah CEO yang diadakan Bisnishack Minggu sore lalu. Di Surabaya. Lalu bicara panjang dengannyi kemarin petang.

Semua itu bermula dari saat dia punya anak ketiga. Saat itu Dewi sudah bekerja: membantu akuntansi di perusahaan milik temannyi.

Maka ketika bayi berumur enam bulan harus pisah dengan ASI, Dewi tidak mau anaknyi yang ketiga itu kekurangan gizi. “Waktu punya bayi pertama dan kedua saya belum bekerja. Bisa menyusui penuh,” kata Dewi.

Dia pun cari cara: apakah ada yang jual bergizi. Dewi cari di Google. Dapat. Jauh. Di Rungkut. Apa boleh buat.

Dari situlah Dewi punya ide bikin sendiri. Dia pun berlogika: bikin bubur untuk satu bayi dan untuk banyak bayi sama saja. Maka dia ajukan ide itu ke suami.

“Kenapa tidak bubur untuk orang dewasa saja?’” jawab sang suami seperti ditirukan Dewi.

“Bayi bisa makan bubur orang dewasa. Orang dewasa tidak bisa makan ,” ujar sang suami berlogika.

Dewi bersikeras pilih jualan yang lebih spesifik. Bubur dewasa sudah banyak yang jual. Bubur bayi masih jarang. Buktinya Dewi sendiri harus membeli bubur untuk bayinyi dari Rungkut, di Surabaya Timur.

Dewi tinggal di Waru, Surabaya Selatan. Mertuanyi memang orang Tropodo di Waru. Sang mertua pernah punya depot makanan. Dewi sendiri bisa masak. Pernah usaha katering.

Dewi asli Blitar –dari desa Ngadirejo. Ayahnyi tukang tambal ban di pinggir jalan. Lalu merantau ke Surabaya. Jadi sopir sebuah percetakan.

Dewi kecil ikut ke Surabaya. SD dan SMP di Surabaya. Sambil di pesantren, di daerah Kapas Krampung –Surabaya Timur jauh. Ketika masuk SMA Dewi harus kembali ke Blitar. Cari SMA negeri di sana: SMAN 1 Blitar. Gratis. Ikut nenek di Ngadirejo. Gratis.

Dewi menjadi anak yang pandai. Juara kelas. Di kelas tiga dia dapat beasiswa dari Jepang.

Dewi tidak membayangkan bisa kuliah. Tapi dia dapat tawaran kuliah gratis. Masih dapat beasiswa lagi. Yakni di D-3 akuntansi sebuah perguruan tinggi swasta.

“Perguruan tingginya tidak terkenal. Di Ketintang. Sekarang sudah bubar,” ujar Dewi.

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO