KEDIRI, BANGSAONLINE.com - Untuk memperingati dan mengenang 75 tahun gugurnya Bapak Bangsa Tan Malaka, puluhan pegiat sejarah dari lintas komunitas di Kediri menggelar doa bersama di Makam Pahlawan Nasional Tan Malaka di Desa Selopanggung, Kecamatan Semen, Kabupaten Kediri, Rabu (21/2/2023).
Selain doa bersama, mereka juga menggelar kenduri, mimbar bebas dan refleksi perjalanan Tan Malaka dari lahir di Sumatera sampai meninggal di wilayah Kabupaten Kediri.
Baca Juga: Samsul RWJ dan Puluhan Pengusaha Sound Horeg Deklarasi Dukung Dhito-Dewi
"Kami ingin mengenang perjuangan Tan Malaka yang seolah sudah terlupakan," ujar Rahman, salah satu pegiat sejarah.
Sutan Ibrahim bergelar Datuk Tan Malaka lahir di Pandan Gadang, Suliki, Sumatra Barat pada tahun 1896. Meski di masae pendudukan Belanda, dia bisa bersekolah di Kweekschool di Bukittinggi, sebelum akhirnya melanjutkan pendidikan ke Belanda.
Usai menyelesaikan pendidikan di Belanda, dia lalu pulang ke Indonesia tahun 1919, dia lalu bekerja di perkebunan di Tanjung Morawa, Deli. Penindasan terhadap buruh menyebabkannya berhenti bekerja dan pindah ke Jawa, tahun 1921.
Baca Juga: Yayat Cadarajat Dikukuhkan sebagai Kepala Perwakilan Bank Indonesia Kediri yang Baru
Ketika di Jawa, Tan Malaka mendirikan sekolah di Semarang dan kemudian di Bandung. Aktivitasnya menyebabkan dia diasingkan ke negeri Belanda. Namun, dia malah pergi ke Moskow dan bergerak sebagai agen komunis internasional (komintern) untuk wilayah Asia Timur.
Akan tetapi, dia berselisih paham karena tidak setuju dengan sikap komintern yang menentang Pan-Islamisme.
Dia berjuang menentang kolonialisme "tanpa henti selama 30 tahun" dari Pandan Gadang (Suliki), Bukittinggi, Batavia, Semarang, Yogya, Bandung, Kediri, Surabaya, sampai Amsterdam, Berlin, Moskwa, Amoy, Shanghai, Kanton, Manila, Saigon, Bangkok, Hongkong, Singapura, Rangon, dan Penang.
Baca Juga: Situs Ndalem Pojok Gelar Diskusi di Hari Sumpah Pemuda 2024
Tan Malaka sesungguhnya adalah pejuang Asia sekaliber Jose Rizal (Filipina) dan Ho Chi Minh (Vietnam). Dia tidak setuju dengan rencana pemberontakan PKI yang kemudian meletus tahun 1926/1927 sebagaimana ditulisnya dalam buku Naar de Republiek Indonesia (Menuju Republik Indonesia, Kanton, April 1925 dan dicetak ulang di Tokyo, Desember 1925). Perpecahan dengan komintern mendorong Tan Malaka mendirikan Partai Republik Indonesia (PARI) di Bangkok, Juni 1927.
Walaupun bukan partai massa, organisasi ini dapat bertahan sepuluh tahun; pada saat yang sama partai-partai nasionalis di tanah air lahir dan mati. Perjuangan Tan Malaka bersifat lintas bangsa dan lintas benua.
Setelah Indonesia merdeka, perjuangan Tan Malaka mengalami pasang naik dan pasang surut. Dia memperoleh testamen dari Bung Karno untuk menggantikan apabila yang bersangkutan tidak dapat menjalankan tugasnya.
Baca Juga: Paguyuban Pendekar Nusantara Siap Menangkan Vinanda-Gus Qowim di Pilkada 2024
Namun, pada tahun 1948, Tan Malaka dikenal sebagai penentang diplomasi dengan Belanda yang dilakukan dalam posisi merugikan Indonesia.
Dia memimpin Persatuan Perjuangan yang menghimpun 141 partai/organisasi masyarakat dan laskar, menuntut agar perundingan baru dilakukan jika Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia seratus persen.
Tahun 1949 Tan Malaka ditembak.
Baca Juga: Pernah Obesitas, Andrian Kini Terapkan Pola Hidup Sehat dan Manfaatkan Layanan JKN
Tanggal 28 Maret 1963 Presiden Soekarno mengangkat Tan Malaka sebagai pahlawan nasional. Namun, sejak era Orde Baru, namanya dihapus dalam pelajaran sejarah yang diajarkan di sekolah walau gelar pahlawan nasional itu tidak pernah dicabut.
Rezim Orde Baru menganggap Tan Malaka sebagai tokoh partai yang dituduh terlibat pemberontakan beberapa kali. Namun, Tan Malaka justru menolak pemberontakan PKI tahun 1926/1927. Dia sama sekali tidak terlibat dalam Peristiwa Madiun 1948. Bahkan, partai yang didirikan tanggal 7 November 1948, Murba, dalam berbagai peristiwa berseberangan dengan PKI.
Dalam kondisi ini, Tan Malaka mungkin lebih cocok disebut sebagai pahlawan yang terlupakan. Karena dia berpuluh-puluh tahun telah berjuang bersama rakyat, namun kemudian dibunuh dan dikuburkan di samping markas militer di sebuah desa di Kediri pada 1949, tanpa banyak yang tahu.
Baca Juga: Cawagub Gus Hans Silaturahmi dengan Puluhan Gawagis Ponpes se-Kabupaten Kediri
Padahal, dia lebih dari tiga dekade merealisasikan gagasannya dalam kancah perjuangan Indonesia. Ini dapat dilihat dari ketika Tan Malaka pertama kali menginjakkan kaki di tanah Jawa, yakni dengan mendirikan Sekolah Rakyat di Semarang. Padahal, Tan Malaka ketika itu, sedang dalam pengejaran intelijen Belanda, Inggris dan Amerika. (uji/mar)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News