PASURUAN, BANGSAONLINE.com - Warga NU kini dihebohkan oleh terbitnya buku berjudul ”Sidogiri Menolak Pemikiran KH Said Aqil Siroj.”
Buku ini menyedot perhatian publik, terutama para kiai dan warga NU. Maklum, Sidogiri adalah pesantren besar dan kesohor sebagai salah satu basis NU yang memiliki puluhan ribu santri.
Baca Juga: Rais Aam PBNU Ngunduh Mantu dengan Pemangku Pendidikan Elit dan Tim Ahli Senior di BNPT
Pesantren Sidogiri didirikan pada 1718 (sebagian menyebut 1745) oleh Sayyid dari Cirebon, Jawa Barat, bernama Sayyid Sulaiman. Dia adalah keturunan Rasulullah dari marga Basyaiban.
Buku ini kian heboh karena ada sambutan resmi KH Nawawi Abdul Djalil selaku pengasuh Pesantren Sidogiri. Dalam sambutannya, Kiai Nawawi Abdul Djalil menyebut bahwa pemikiran KH Said Aqil memang keliru.
”Mengenai beberapa pemikiran KH Said Aqil Siroj yang keliru, sebenarnya saya sudah tabayun langsung kepada beliau. Akan tetapi tetap perlu adanya buku tanggapan seperti ini,” tulis Kiai Nawawi dalam sambutannya di halaman 13.
Baca Juga: Hari Santri Nasional 2024, PCNU Gelar Drama Kolosal Resolusi Jihad di Tugu Pahlawan Surabaya
Buku ini bukan hanya membahas pemikiran keislaman Kiai Said Aqil yang dianggap menyimpang dari ajaran NU tapi juga menelusuri kenapa Said Aqil menjelma sebagai tokoh ganjil dan meresahkan warga NU. Padahal ia lahir dari pesantren.
Pada “Bagian VIII, Di Balik Pemikiran” buku ini membeberkan riwayat Kiai Said Aqil. Menurut penulis buku ini, sejak S-1 Kiai Said Aqil kuliah di perguruan tinggi yang merupakan pusat Wahabi di Makkah yaitu Universitas King Abdul Aziz. Kemudian melanjutkan S-2 dan S-3 pada Fakultas Ushuluddin di Universitas Ummul Quro Makkah yang juga pusat Wahabi.
Kiai Said Aqil lulus S-3 pada 1994 dengan predikat Summa Cumlaude. Menurut penulis buku ini, sebagai alumnus sebuah universitas yang menjadi basis kelompok Wahabi, Kiai Said Aqil tentu sudah sangat akrab dengan tradisi pemikiran kelompok yang berseberang paham dengan NU. Bahkan lulus dari Universitas Ummul Quro dengan predikat Summa Cumlaude telah memberikan jaminan yang meyakinkan jika Kiai Said Aqil telah mengafirmasi pemikiran khas Wahabi. Karena tidak mungkin, atau sangat sulit, seseorang lulus dari sebuah universitas Wahabi jika pemikirannya justru bertentangan dengan Wahabisme.
Baca Juga: Ba'alawi dan Habib Luthfi Jangan Dijadikan Pengurus NU, Ini Alasan Prof Kiai Imam Ghazali
Penulis buku ini kemudian menceritakan materi atau pemikiran Said Aqil yang tertuang dalam disertasi doktornya. Ternyata benar bahwa saat itu Kiai Said Aqil menjadi sangat Wahabi. Disertasinya penuh dengan kritik dan penyesatan terhadap tokoh-tokoh sufi Ahlussunnah Wal-Jamaah yang sangat dihormati dan diagungkan, seperti Zun-Nun al-Mishri, Abu Yazid al-Bistami, Abu Hamid al-Ghazali, dan lain-lain.
Tapi setelah mentransformasikan diri sebagai seorang Wahabi tulen, Kiai Said Aqil kemudian dekat dengan para pemikir liberal dan Syiah. Nah, pembelaan Kiai Said Aqil terhadap Syiah ini dibahas secara khusus dalam buku ini pada Bagian IV bertajuk Syiah dan Ahlussunnah.
(Baca: Saat Said Aqil Gencar Membantah, Dokumen Baru Kerjasama PBNU-Qom Iran Ditemukan)
Baca Juga: Tembakan Gus Yahya pada Cak Imin Mengenai Ruang Kosong
Dalam halaman tersebut dikutip pernyataan Kiai Said Aqil dalam bukunya berjudul Tasawuf sebagai Kritik Sosial sebagai berikut: ”Secara historis, kelahiran Sunni dan Syiah merupakan sunnatullah yang harus disyukuri…” Berpindah-pindahnya paham atau pemikiran Kiai Said Aqil dari Wahabi ke Syiah ini membuat penulis buku ini berkesimpulan bahwa Kiai Said Aqil adalah seorang oportunis.
”Ini membuat orang berkesimpulan bahwa Kiai Said Aqil benar-benar sosok oportunis. Tentu sulit bagi kita untuk menebak, akan berlabuh ke mana lagi beliau di kemudian hari,” demikian tulis buku ini.
Yang pasti, terbitnya buku ini semakin menambah daftar panjang penolakan pesantren-pesantren besar basis utama NU terhadap Kiai Said Aqil Siroj.
Baca Juga: Respons Hotib Marzuki soal Polemik PKB-PBNU
(Baca: Diserang Warga NU karena Bela Syiah, Said Aqil malah Kambinghitamkan Hasyim Muzadi)
Seperti diberitakan BANGSAONLINE.com, Pesantren Salafiyah Syafiiyah Sukorejo Situbondo yang kini diasuh KH Ahmad Azaim Ibrahimy akhirnya menyatakan Mufaroqoh (memisahkan diri) dari Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) hasil Muktamar NU ke-33 di alun-alun Jombang.
Maklumat mufaroqoh itu dibacakan di depan para kiai yang hadir dalan acara Napak Tilas pendirian NU di Pesantren Salafiyah Syafiiyah Sukorejo Situbondo Jawa Timur, Senin (21/9/2015).
Baca Juga: Prof Kiai Imam Ghazali: Klaim Habib Luthfi tentang Kakeknya Pendiri NU Menyesatkan
"Setelah mengamati dengan seksama melalui pengkajian secara lahiriah dan batiniah serta bertawassul kepada para ulama pendiri NU, kami melihat adanya penyimpangan tata cara Muktamar ke-33 NU di alun-alun Jombang, 1-5 Agustus 2015 yang kemudian menghasilkan keputusan dan langkah-langkah yang menyimpang pula," tegas Kiai Azaim Ibrahimy, cucu KHR As'ad Syamsul Arifin.
(Baca: Dianggap Menyimpang, Pesantren Sukorejo Situbondo Mufaroqoh dari PBNU Hasil Muktamar Jombang)
Menurut dia, keluarga besar pondok pesantren Salafiyah Syafiiyah Sukorejo (tempat diputuskannya kembali ke khitah 26 pada 1984) tidak ikut bertanggungjawab atas semua proses dan hasil Muktamar NU di alun-alun Jombang baik kepada umat nahdliyin maupun kepada Allah SWT.
Baca Juga: PBNU Lantik 669 Pengurus Anak Ranting PCNU Situbondo Berbasis Masjid
"Oleh karenanya kami menyatakan Mufaroqoh (melepaskan diri dari tanggungjawab) dan tidak ada kait mengkait antara kami dan PBNU hasil Muktamar ke33 NU di alun-alun Jombang," katanya.
Pesantren Cipasung yang dipimpin KH. Ahmad Bunyamin Ruhiyat juga mengeluarkan Maklumat Penegakan Kembali Khittah 1926. Maklumat itu disampaikan bertepatan dengan haul ke-38 KH. Ruhiyat dan haul ke-8 KH Ilyas Ruhiyat melalui forum halaqoh bertema: “Menjernihkan Kembali Ajaran Ahlussunah Waljamaah An-Nahdliyyah” di Pesantren Cipasung, Tasikmalaya, Rabu (30/9).
(Baca: Said Aqil Dianggap Bohongi Kiai dan Halalkan Segala Cara, Ketua PWNU Banten Mundur)
Baca Juga: Ansor Tuban Kecam Demo di Kantor PBNU
Maklumat itu dideklarasikan didasari keprihatinan terhadap kondisi Nahdlatul Ulama (NU) sekarang. Menurut kiai yang akrab dipanggil Abun itu ada dua faktor utama yang mengakibatkan NU kehilangan jati diri dan berkah perjuangan.
Kedua hal itu adalah menurunnya akhlakul karimah an-nahdliyyah termasuk yang terjadi dalam Muktamar ke-33 NU di Alun-alun Jombang.
“Yang kedua adalah ditinggalkannya prinsip dan nilai Khittah NU yang telah dirumuskan dalam Musyawarah Nasional Alim Ulama Tahun 1983 di Pesantren Salafiyyah Syafi’iyyah Sukorejo, Situbondo, kemudian disahkan dalam Muktamar NU ke-27 Tahun 1984 di tempat yang sama,” ujar Kiai Abun dalam maklumatnya yang dikirim kepada BANGSAONLINE.com (tim), .
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News