JOMBANG, BANGSAONLINE.com - Pasca pengakuan dari guru penyusun LKS (lembar kerja siswa) dan cerita keberatan wali murid, kini pengadaan buku penunjang tersebut menuai sorotan dari kalangan aktivis. LInK (Lingkar Indonesia untuk Keadilan) mendesak aparat penegak hukum baik kepolisian maupun Kejaksaan Negeri (Kejari) Jombang menyelidiki dugaan gratifikasi yang dilakukan penerbit LKS terhadap Dinas Pendidikan (Diknas) setempat.
Aan Anshori, Direktur LInK Jombang menanggapi ramainya polemik bisnis LKS untuk siswa SD di Jombang dimana dikabarkan Diknas meminta KKG untuk membuat LKS mandiri, serta menunjuk setidaknya 5 CV sebagai mitra percetakannya. Menurutnya, patut dipertanyakan alasan penunjukan 5 CV tersebut. Baginya, perlu diperhatikan bahwa meski tidak ada sangkut pautnya dengan keuangan publik (APBD/APBN), tidak berarti lalu lintas bisnis LKS tersebut steril dari dugaan tindak pidana gratifikasi (pemberian).
Baca Juga: Terlibat Skandal Video Mesum, Dua Pejabat Disdikbud Jombang Diberhentikan
"Saya mencium aroma busuk gratifikasi di balik bisnis ini. Sangat patut diduga kelima CV yang ditunjuk ini mmberikan sesuatu pada oknum PNS yang ada dalam lingkaran bisnis LKS," kata dia kepada Bangsaonline, Senin (1/8).
Menurut Aan, adalah hal yang jamak terjadi jika modus memperkaya diri sendiri bagi pejabat negara adalah dengan cara meminta dan atau menerima hadiah (gratifikasi). Gratifikasi sendiri menurut penjelasan Pasal 12B UU No. 20 Tahun 2001 adalah pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik.
"Apakah gratifikasi termasuk pidana, Nah, menarik untuk membaca Pasal 12B ayat (1) UU No.31/1999 jo UU No. 20/2001, bahwa setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya sepanjang penerima tidak melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada KPK, sebagaimana diatur dalam Pasal 12C ayat (1) UU No.31/1999 jo UU No. 20/2001," jelasnya.
Baca Juga: Cegah Aksi Bullying pada Pelajar, Polsek Mojoagung Gelar Sosialisasi di Sekolah
(BACA: Bupati Jombang ‘Dibohongi’ Diknas Terkait Bisnis Pengadaan Buku LKS)
Koordinator Gusdurian Jatim ini melanjutkan, sanksi bagi penerima gratifikasi ini juga telah diatur secara tegas dalam Pasal 12B ayat (2) UU no. 31/1999 jo UU No. 20/2001. "Yakni Pidana penjara seumur hidup atau penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar," paparnya.
Di samping itu, pidana penjara dan denda juga mengancam pemberi gratifikasi. Ini sesuai pasal 5 UU Tipikor menyatakan siapapun yang (a) memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya; atau (b) memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya, terancam pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah).
Baca Juga: Hari Ibu, Ratusan Murid PAUD di Jombang Basuh Kaki Ibunda
"Jika demikian, saya menantang para PNS yang terlibat dalam bisnis LKS ini mengklarifikasi dugaan ini serta mendeklarasikan kekayaannya dengan cara melaporkan hartanya ke KPK melalui LHKPN," tegas dia.
(BACA: Disdik Jombang Akui Pengadaan LKS Senilai Rp 9 M Tanpa Lelang, Diajukan ke Dewan tapi Ditolak)
Aan juga mendesak aparat penegak hukum berani mengungkap bisnis LKS tersebut. "Kejaksaan Negeri Jombang dan Satpidkor Reskrim Polres Jombang perlu melakukan proses penyelidikan pro yustisia untuk memastikan tidak ada upaya melawan hukum dalam bisnis LKS ini," pungkasnya.
Baca Juga: Peringati Bulan Bahasa dan Panen Raya, SMPN 3 Peterongan Gelar Felis Setelah Vakum Dua Tahun
Seperti diberitakan sebelumnya, siswa SD di Kabupaten Jombang dipaksa membeli buku LKS (Lembar Kerja Siswa) oleh pihak sekolah yang diduga bekerja sama dengan salah satu penerbit. Kebijakan inipun menuai keberatan dari sejumlah wali murid. Bahkan orang tua siswa harus berhutang kepada tetangga untuk melunasi biaya buku penunjang tersebut.
Padahal pihak Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) sudah menyampaikan larangan jual beli LKS sejak tahun 2008. Seperti yang tertuang dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional nomor 2 tahun 2008 tentang larangan tenaga pendidik baik, guru, disdik, pemda secara langsung maupun tidak langsung menjual atau menjadi distributor buku sekolah baik buku paket maupun LKS.
Aturan tersebut tidak digubris. Pihak sekolah diduga bekerjasama berbagi fee (keuntungan) dengan penerbit. Sehingga dengan leluasa membagikan buku-buku LKS kepada seluruh siswa.
Baca Juga: Belasan Tahun, SD Negeri di Jombang Kekurangan Siswa, Kelas, dan Guru
Meski secara formal memberikan surat penawaran, namun siswa tetap diminta membayar uang buku yang sudah diberikan pihak sekolah tersebut.
(BACA: Dewan segera Panggil Diknas Jombang, Tegaskan Larangan Bisnis Pengadaan LKS)
Pengakuan seorang guru, sekitar bulan Januari - Februari, sejumlah Guru SD se Jombang dikumpulkan di aula Diknas. Mereka diundang dalam forum Kelompok Kerja Guru (KKG). Dalam agendanya, hanya tertulis pembekalan guru pemandu.
Baca Juga: Dua Siswa Positif Covid-19, MAN 1 Jombang Lockdown Sepekan
Ternyata, para guru diminta untuk menyusun LKS. Sejak pertemuan pertama ini, seluruh guru yang direkrut secara paksa tersebut menjadi tim penyusun LKS dan menggelar beberapa kali pertemuan.
Setelah LKS tersusun, pihak diknas mulai menjalankan aksinya dengan menunjuk lima perusahaan (CV) penerbit untuk mencetak LKS buatan mereka. Tidak hanya itu, melalui UPT (unit pelaksana teknis) Dinas Pendidikan, seluruh sekolah diwajibkan membeli LKS buatan para guru tersebut.
Kabid Pendidikan Dasar (Dikdas) Dinas Pendidikan (Disdik) Kabupaten Jombang, Priadi membantah ada sekolah yang memperjualbelikan buku LKS. Menurutnya, prinsipnya buku LKS tersebut sebagai penunjang pembelajaran sah-sah saja digunakan sepanjang tidak dipaksakan oleh guru ataupun sekolah.
Baca Juga: Dimakan Usia, Atap Ruang Kelas SDN Jombok Jombang Ambruk
"Jadi, beli atau tidak beli itu tergantung pada siswa. Tidak boleh ada paksaan," katanya ditemui di ruangannya.
Ia pun menegaskan, pihak sekolah dilarang mengeluarkan edaran penawaran untuk membeli buku LKS tertentu kepada wali murid. "Kalau ada sekolah yang demikian, laporkan secara tertulis. Kami akan tindaklanjuti," lanjutnya.
Sekedar diketahui, berdasarkan Pasal 11 Permendikbud Nomor 8 Tahun 2016 dinyatakan bahwa Kementerian dapat memberikan sanksi kepada Satuan Pendidikan (Sekolah) yang melakukan pelanggaran terkait pengadaan buku pelajaran. Diantara sanksi tersebut berupa, rekomendasi penurunan peringkat akreditasi, penangguhan bantuan pendidikan, pemberhentian bantuan pendidikan, dan atau rekomendasi atau pencabutan ijin operasional Satuan Pendidikan sesuai dengan kewenangan. (rom/ns)
Baca Juga: Tinjau Pembelajaran Tatap Muka, Bupati Jombang Minta Prokes Tetap Ditegakkan
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News