Pabrik Rokok Klobot Mulai Resah, Warga Bakal Beralih ke Rokok Linting

Pabrik Rokok Klobot Mulai Resah, Warga Bakal Beralih ke Rokok Linting Buruh linting rokok klobot ikut resah seiring dengan rencana kenaikkan harga rokok.

MESKI sudah dibantah pemerintah, kabar tentang harga naik hingga Rp 50 ribu per bungkus, masih saja bikin resah. Seperti dirasakan pemilik pabrik klobot di Jl Panglima Sudirman Kota Madiun, Aman Winarto. Menurutnya, wacana kenaikan harga tersebut dapat berdampak luas jika nantinya benar terlaksana.

"Dampak langsungnya adalah ke para buruh pabrik. Mereka dimungkinkan akan kehilangan pekerjaan karena efek berkurangnya jumlah pembeli ," ujar Aman Winarto kepada wartawan di Madiun, Rabu (24/8).

Baca Juga: Pemkab Malang bersama Bea Cukai Sosialisasi Gempur Rokok Ilegal melalui Operasi Sobo Kampung

Ia menilai mahalnya harga nantinya akan menyebabkan daya beli masyarakat menurun. Akibatnya, industri pun terpaksa mengurangi jumlah produksi nya. Belum lagi dari pihak petani tembakau otomatis meminta harga tembakau juga ikut naik.

Pengurangan produksi akan berdampak juga ada pengurangan tenaga kerja yang ada atau bekerja di pabrik .

Dengan kata lain, hal itu malah akan menimbulkan masalah baru, yakni bertambahnya pengangguran yang bermuara pada peningkatan kemiskinan.

Baca Juga: Dituduh Ikut Produksi Rokok Ilegal, Perusahaan di Sumawe Malang Beri Klarifikasi

Untuk itu, ia berharap pemerintah mengkaji ulang wacana tersebut. Efeknya tidak hanya ke buruh pabrik , namun juga petani tembakau.

Meski demkian, pihaknya bersyukur sejauh ini isu wacana kenaikan harga tersebut tidak berpengaruh signifikan pada produksi pabrik berskala industri rumah tangga yang dikelolanya.

"Produksi kami meski ada isu itu tergolong stabil. Yakni sekitar 4.000 batang per hari atau sekitar 400 bungkus," kata Aman. Rokok klobot produksinya tersebut tergolong kecil dan hanya dipasarkan di wilayah Kota dan Kabupaten Madiun serta sekitarnya.

Baca Juga: Tarif Cukai Naik, Pengusaha Rokok di Pamekasan Menjerit

Sementara Balai Pusat Statistik (BPS) memrediksi, jika harga benar-benar meroket menjadi Rp 50 ribu, bukan berarti penggemar bakal berhenti. Menurut BPS, yang terjadi adalah perubahan cara penggemar mendapatkan benda kesukaan mereka. Warga pedesaan bisa saja tidak lagi melirik produksi pabrik, tetapi kembali ke masa lalu, dengan linting atau klobot ( dengan daun jagung kering).

Sebelumnya, Kepala Pusat Kajian Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI), Hasbullah Thabrany menyampaikan hasil studi yang menggelitik. Jika harga dinaikkan dua kali lipat dari harga normal, maka sebagian besar memilih berhenti me.

Ketika hasil studi ini dilontarkan ke depan publik, reaksi pro dan kontra pun merebak. Bahkan kemudian muncul anggapan, kenaikan harga menjadi Rp 50 ribu ini sudah merupakan kepastian. Berbagai tanggapan pun muncul atas hal ini. Termasuk di antaranya, tanggapan Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa BPS Sasmito Hadi Wibowo.

Baca Juga: Petugas Bandara Jeddah Sita 2 Karung Rokok Jemaah Haji Asal Surabaya

Disampaikan oleh Sasmito, kenaikan harga yang selangit, akan membuat konsumsi produksi pabrik akan merosot secara drastis. Katanya, “Jika benar naik jadi Rp 50 ribu, itu artinya naik sekitar 150-200 persen (dari harga sekarang). Tentu konsumsi pabrik akan turun signifikan.”

Sasmito juga menjelaskan, para penikmat akan terbagi dua. Mereka yang mampu, akan tetap mengonsumsi buatan pabrik, meski tidak sebanyak sebelum harga naik. Sementara, masyarakat pedesaan, bisa beralih pada linting.

“Penduduk miskin pencandu akan membuat sendiri nya, biasanya linting atau klobot. Tapi buat pencandu kaya tetap akan beli , walaupun irit konsumsinya,” paparnya.

Baca Juga: Polisi Ungkap Rumah Pengepakan Rokok Tanpa Pita Cukai Bernilai Ratusan Juta Rupiah di Sidoarjo

BPS sendiri belum melakukan survei khusus terkait konsumsi , jika harganya benar-benar dinaikkan hingga Rp 50 ribu.

Sementara itu, sejumlah petani tembakau bereaksi dengan rencana kenaikkan harga Rp 50 ribu per bungkus. Saat ini harga tembakau di tingkat petani terpuruk, yakni Rp 1.000 per kg. Petani tembakau di Kabupaten Pemalang, Jawa Tengah misalnya. Mereka meminta, jika benar-benar harga naik, maka harga tembakau juga harus naik.

"Kalau pemerintah mau menaikkan harga per bungkusnya sampai Rp 50 ribu, bantu dulu stabilkan dan menaikkan harga tembakau yang saat ini hancur," ucap Slamet (50 tahun), petani di Desa Karangsari, Kecamatan Pulosari, Pemalang, Jateng.

Baca Juga: Pengusaha dan Buruh Sigaret di Pamekasan Tolak Kenaikan Pajak Rokok

"Terus terang saya menilai kalau pemerintah menaikkan harga hanya sebagai upaya menaikkan pendapatan negara. Dan juga hanya menguntungkan perusahaan . Sementara kenaikan itu kan tidak membawa dampak positif bagi petani," sambung dia.

Hal serupa diungkap petani tembaku di Malang, Jawa Timur yang berharap pemerintah bersikap tegas dan mengkaji betul jika harga akan dinaikkan.

Salah satu sentra tanaman tembakau di Kabupaten Malang berada di Desa Jatiguwi, Kecamatan Sumberpucung. Di wilayah ini, lebih dari 3 hektare lahan milik warga setempat, menjadi sentra tanaman tembakau sejak lama. Menanam tembaku, jadi pekerjaan utama warga desa di tengah harga jual tembakau yang selalu tidak menentu.

Baca Juga: Dana Bagi Hasil Cukai Rp 19,1 Miliar di Gresik untuk Biayai Sejumlah Kegiatan OPD

“Kalau harga jualnya saat ini hanya Rp.70 ribu sampai Rp.80 ribu per kilogramnya. Di tengah kabar kenaikan harga saat ini, kami belum tahu berapa nanti harga jualnya,” ungkap Rokip, salah seorang petani.

Kata dia, pemerintah harus tegas dan mengkaji lagi jika memang rencana kenaikan harga akan diberlakukan. “Kami menggantungkan hidup dari tanaman tembakau sejak lama. Sudah nanamnya sulit, harga jual terkadang tidak menguntungkan kami. Selalu terdampak,” papar Rokip.(jat/mer/inc/lan)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO