Oleh: M. Mas'ud Adnan...
BANGSAONLINE.com - Pernah terjadi tragedi carok massal yang mengakibatkan 7 orang meninggal di Pamekasan Madura. Peristiwa itu mengagetkan semua pihak. Bahkan saat itu, Mabes Polri dan Wapres HM Jusuf Kalla turut komentar. Mencuatnya peristiwa ini secara nasional – tak pelak –kembali menorehkan kesan negatif terhadap masyarakat pulau garam itu.
Baca Juga: Pengkhianat, Waktumu Sudah Habis
Pertanyaanya, kenapa dalam era teknologi supercanggih seperti sekarang masih terjadi perilaku primitif itu? Bukankah masyarakat Madura dikenal taat agama? Malah Madura sering dijuluki serambi Madinah, meski tak sepopuler Aceh sebagai serambi Makkah.
Huub de Jonge – sosiolog asal Universitas Nijmehen (Belanda) – melihat kekerasan itu mulai tumbuh sekitar awal abad 19 ketika kaum ningrat dan penguasa terjerumus dalam kehidupan konsumerisme yang segala pembiayaannya ditanggung rakyat (Kompas, 14/6/2001).
Mengutip laporan Brest van Kempen - seorang pejabat pemerintahan kolonial di Bangkalan - Jonge menyebutkan antara tahun 1847-1849 setiap hari terjadi pembunuhan dan mayat-mayat korban selalu dibuang di alun-alun kota.
Baca Juga: Kejam dan Rakus, Pengusaha Sarang Burung Walet Rampok Rumah Pasangan Mau Kawin
Jadi secara historis jelas bahwa akar tradisi carok berasal dari ketidak-adilan sosial, terutama kebiasaan buruk penguasa yang hidup konsumeristik. Ironisnya, biaya hidup mewah itu justeru dibebankan kepada rakyat. Kondisi buruk ini – dalam perkembangannya – diperparah oleh sikap aparat penegak hukum yang cenderung memanfaatkan kasus carok untuk kepentingan ekonomi.
Hasil penelitian Dr Latief Wiyata menyebutkan bahwa dalam tradisi carok dikenal upaya nabang. Secara harfiah nabang berarti mengejar. Namun pengertian nabang dalam kasus carok adalah merekayasa proses pradilan dengan menyerahkan sejumlah uang kepada oknum aparat agar hukuman jadi ringan. Malah ada ungkapan ja’ acarok mon tak andi’ banda (jangan melakukan carok, kalau tak punya modal).
Jadi, pengadilan dan aparat hukum cenderung disfungsional. Akibatnya, orang-orang yang suka carok tak pernah jera karena hukuman pelaku bisa diselesaikan lewat uang. Apalagi pemenang carok secara sosiologis dan kultural cenderung mendapat tempat lebih tinggi dibanding sebelumnya. Paling tidak, ia akan disegani karena nyali dan keberaniannya teruji.
Baca Juga: Angka Vaksinasi: Jakarta 120 Persen, Surabaya 89,24 Persen, Jatim Kalahkan Jateng dan Jabar
Dalam beberapa kasus, hukuman bagi pemenang carok memang tak lebih dari 5 tahun. Jadi jauh dari ketentuan KUHP yang mengancam pelaku pembunuhan berencana dengan hukuman 20 tahun. Maka mudah dipahami jika Kapolda Jawa Timur Irjen Pol Herman S Sumawiredja menyatakan bahwa carok massal di Pamekasan tak lepas dari sikap hakim (Jawa Pos, 15/7/2006). Menurut Kapolda, peristiwa carok tersebut dipicu ketidakpuasan putusan pengadilan dalam kasus sengketa tanah percaton yang dikuasai desa. Mantan Kades Baidowi mengklaim masih miliknya, sedang kades sekarang Marsyidin menganggap tanah itu milik desa karena sudah ditukar guling.
Elly Touwem Bouwsma – antropolog asal Belanda - mengungkapkan bahwa orang Madura dan pisaunya adalah satu. Mengutip sebuah artikel di Java Post terbitan Belanda 1922, Bouwsma menyatakan bahwa orang Madura sudah terlatih menggunakan segala macam senjata, tetapi paling ahli dalam menggunakan celurit. Tanpa celurit orang Madura merasa tidak lengkap, merasa setengah laki-laki.
Carok – diakui atau tidak – memang sudah menjadi subsistem dari sistem sosial di Madura. Bahkan kadang carok dianggap sebagai ekspresi identitas etnis dan kultural, terutama dalam menjaga harga diri dan kehormatan. Maka mudah dipahami jika adagium etembang pote matah angoan pote tolang (dari pada hidup menanggung malu lebih baik mati) sangat populer di Madura. Sebab hidup menanggung malu bagi orang Madura dianggap tada’ ajinah (rendah, tak berarti).
Baca Juga: Tiga Tipe Ulama Era Jokowi: Oposan, Pragmatis, dan Idealis
Seorang lelaki yang isterinya diselingkuhi orang tapi tak berani carok akan menanggung malu seumur hidup. Karena itu anggota keluarga yang lain - seperti saudara dan sebagainya - akan marah jika si suami tak membunuh si pengganggu isterinya. Bahkan si saudara itulah yang kemudian maju sebagai pembunuh mewakili keluarga, jika si suami tak berani. Uniknya, sehebat dan sekebal apapun seseorang selalu mempan dan tewas, jika dibacok karena mengganggu pager ayu. Bahkan tak jarang seorang blater (jagoan)tewas di tangan orang kecil (strata sosial bawah).
Namun disamping faktor-faktor prinsip tersebut carok sulit dikikis tampaknya juga karena faktor pendidikan. Di Madura masih banyak warga yang tak lulus SD. Bahkan angka buta huruf masih sangat tinggi. Data Badan Pusat Statistik (BPS) Jatim tahun 2001 menunjukkan bahwa jumlah warga berusia antara 10-44 yang buta huruf mencapai 1,1 juta jiwa. Yang terbesar dari angka tersebut adalah kawasan tapal kuda dan Madura. Maklum, di Madura pendidikan belum dianggap penting. Padahal faktor rendahnya pendidikan ini sangat berpengaruh terhadap cara pandang atau wawasan masyarakat Madura.
Faktor lain adalah dualisme kepemimpinan. Di beberapa daerah di Madura masih ada dualisme kepemimpinan sosial. Yaitu kepemimpinan kiai di satu pihak, dan kepemimpinan blater (jagoan) di pihak lain. Kelompok blater inilah yang sering melakukan carok. Ironisnya, kelompok blater ini kadang lebih dominan. Padahal blater ini mendapat kedigdayaan justeru berasal dari kiai, yaitu lewat jaza’. Tubuh mereka kebal, misalnya, berkat jaza’ dan ajimat dari kiai.
Baca Juga: Buzzer, Radikalis Kristen vs Radikalis Islam
Lalu bagaimana dengan peran agama? Bukankah al-qatil wal maqtul fin-nar (orang yang membunuh dan yang dibunuh semuanya masuk neraka)? Inilah yang menjadi problem selama ini. Agama di Madura masih dipahami secara legal-formal. Artinya, meski mayoritas masyarakat Madura dikenal fanatik terhadap agama, tapi proses internalisasi nilai agama belum berlangsung secara signifikan. Dalam beberapa kasus kadang agama masih dipahami secara ritual-formal dan individual atau hitam-putih, belum menyentuh sasaran hakiki yaitu hati nurani.
Dimensi tasawuf, misalnya, kurang aplikatif di Madura. Yang dominan adalah kecenderungan fiqh orientied. Bahkan beberapa tokoh agama melarang tasawuf diajarkan kepada masyarakat umum karena dianggap membahayakan keyakinan lantaran dianggap belum waktunya. Mereka beranggapan bahwa tasawuf hanya boleh dipelajari orang-orang tertentu yang secara syariat sudah mencapai tingkat tinggi. Padahal nilai-nilai sufisme atau tasawuf inilah yang paling efektif mengikis nafsu ammarah dan melunakkan hati yang keras. Sebab fokus utama tasawuf adalah hati.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News