SURABAYA (BangsaOnline) - Upaya Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) untuk memberlakukan sistem Ahlul Halli Wal Aqdi (AHWA) dalam pemilihan Rais Am tampaknya bakal kandas. Mayoritas Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) di Indonesia menolak sistem tersebut karena tak sesuai dengan AD/ART dan dianggap mengambil hak PWNU dan PCNU (Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama). Bahkan 25 PWNU dari total 33 PWNU se-Indonesia mengaku sudah bulat dan tanda tangan menolak sistem Ahwa diberlakukan dalam Muktamar NU ke-33 di Jombang. Tanda tangan penolakan itu sempat diperlihatkan kepada BangsaOnline.com.
Mereka yang sepakat menolak Ahwa, antara lain: PWNU Nusa Tenggara Timur (NTT), Sulawesi Tengah (Sulteng), Kalimantan Utara (Kaltara), Bali, Banten, Sulawesi Utara (Sulut), Lampung, Kepulauan Riau (Kepri), Maluku Utara, Sulawesi Barat (Sulbar), Sumatera Barat (Sumbar), Jambi, Riau, Papua Barat, Gorontalo, Babel, Bengkulu dan beberapa PWNU lain.
Baca Juga: Mitos Khittah NU dan Logika Kekuasaan
Ketika dikonfirmasi BangsaOnline.com, para Rais Syuriah dan Ketua Tanfidziah PWNU itu membenarkan telah terjadi kesepatan menolak Ahwa.
”Pengurus Cabang dan Wilayah bukan orang awam, mereka terdiri dari tokoh-tokoh yang alim dan memiliki kemampuan organisasi serta paham terhadap siapa yang layak menjadi Rais Am dan ketua Umum PBNU,” kata Prof. DR. Abd. Rahim Yunus, Wakil Ketua PWNU Sulawesi Selatan kepada BangsaOnline.com. Abd Rahim Yunus dikenal juga sebagai Guru Besar Sejarah Islam UIN Alaudin.
Rais Syuriah PWNU Banten KH. Tb. Abdul Hakim dan Ketua Tanfidziah PWNU Banten H. Makmur Masyhar juga kompak menolak Ahwa. ”Kami tidak setuju Ahwa sebab AD/ART dan keputusan Konbes dan Munas di Cirebon yang sudah tertulis tak ada perubahan ke Ahwa. Pilihan secara langsung merupakan pilihan yang demokratis dan akan menghasilkan Rais Am dan Ketua Umum PBNU yang diharapkan oleh para kiai asal tidak ada intervensi dari pihak diluar NU,” tegas Kiai Tb Abdul Hakim.
Baca Juga: Kembangkan Kewirausahaan di Lingkungan NU, Kementerian BUMN Teken MoU dengan PBNU
Pengasuh Pesantren Kananga Menis Pandegelang Cirebon ini menilai bahwa sistem pemilihan yang lama yaitu dipilih para Muktamirin lewat suara Rais Syuriah dan Ketua Tanfidziah PCNU dan PWNU justru lebih maslahat.
“Mengubah sistem pemilihan itu harus ada dasarnya yang kuat. Ini dasarnya apa dan tujuannya apa?,” katanya sembari mengatakan bahwa pemilihan itu tak bakal maslahat jika hanya siasat untuk menjegal figur terentu.
Haji Makmur Masyhar mengingatkan bahwa bukan sistem pemilihan yang harus diubah, tapi praktik politik uang yang harus diberantas. Menurut Makmur, kalau Muktamar NU bersih pasti melahirkan pemimpin yang baik.
Baca Juga: Konflik Baru Cak Imin, Istri Said Aqil Mundur dari PKB, Akibat Khianat saat Muktamar NU?
”Kalau muqaddimahnya sudah tidak baik, maka akan melahirkan pemimpin yang tidak baik. Contohnya Muktamar NU di Makassar. Akhirnya produknya (hasil kepemimpinannya) ya seperti (PBNU) yang sekarang ini,” katanya.
Ketegasan menolak Ahwa juga dikemukakan Rais Syuriyah PWNU Lampung KH. Ngaliman Marzuki. Kiai Ngaliman mengaku khawatir Ahwa hanya sekedar langkah rekayasa untuk menghadang tokoh NU yang kini mendapat dukungan luas dari para pengurus NU se-Indonesia yakni KH. Hasyim Muzadi.
Kiai Ngaliman Marzuki sangat setuju pada pendapat KH. Ahmad Baghowi Nganjuk Jawa Timur. Seperti diberitakan BangsaOnline.com, Rais Syuriah PCNU Nganjuk, KH Ahmad Baghowi, menilai sistem pemilihan Ahwa yang disosialisasikan PWNU Jawa Timur tak bisa diterapkan begitu saja dalam Muktamar ke-33 pada 1 hingga 5 Agustus di Jombang. Karena selain belum ada kesepakatan, juga jumlah anggota Ahwa itu masih jadi pro-kontra.
Baca Juga: Emil Dardak Dukung Muktamar NU ke-35 di Surabaya
”Dalam kitab-kitab mu’tabarah yang saya pelajari jumlah anggota Ahwa itu tak ditentukan berapa jumlahnya. Jadi banyak-sedikitnya tak ada,” kata Kiai Ahmad Baghowi. Karena itu, menurut Kiai Ahmad Baghowi, kalau kini PWNU Jatim membatasi anggota Ahwa 9 orang sama saja dengan mengerdilkan dan mengecilkan NU.
”Pada waktu Rasulullah wafat jumlah sahabat 124.000 orang, kemudian mengangkat Khalifah Abu Bakar dengan (wakil pemilih/anggota Ahwa) berjumlah 5 orang,” tulis Kiai Ahmad Baghawi lewat SMS kepada BangsaOnline.com. Artinya, para sahabat yang saat itu berjumlah 124.000 orang diwakili oleh 5 orang untuk memilih Khalifah Abu Bakar sebagai pengganti Rasulullah SAW.
”Sekarang jumlah warga NU ratusan juta, kalau jumlah anggota Ahwa 500 orang sudah sesuai,” kata Kiai Ahmad Baghowi. Artinya, pemilihan Rais Am dan Ketua Umum PBNU yang selama ini diwakili 500 Rais Syuriah dan Ketua Tanfidziah seluruh Indonesia sudah sesuai Ahwa. “Silakan lihat kitab Qorthrul Ghaits halaman 12 dan kitab Al-Fiqhu Alaa Madzahibil Arb’ah halaman 1364,” kata Kiai Ahmad Baghowi.
Baca Juga: Satu Abad Nahdlatul Ulama, Eri Cahyadi Ingin Surabaya jadi Tuan Rumah Muktamar NU ke-35
Pemikiran Kiai Ahmad Baghawi ini sangat cerdas dan rasional, terutama dalam memahami kitab kuning secara kontekstual. Ia selain bisa memberi referensi historis juga memberi data empiris dan representatif dalam memilih pemimpin menurut Islam, khususnya dalam perspektif Aswaja. Jadi, menurut dia, substansi Ahwa adalah keterwakilan yang bisa merepresentasikan kualitas dan kwantitas. Karena itu jumlah warga NU yang kini mencapai ratusan juta tak bisa dirampas oleh sejumlah kecil orang yang integritasnya belum bisa dijamin.
Menurut dia, sangat tidak masuk akal kalau warga NU yang jumlahnya ratusan juta hanya diwakili 9 orang seperti konsep Ahwa PWNU Jawa Timur dalam memilih Rais Am dan Ketua Umum PBNU. Sebab konsep tersebut selain mengerdilkan NU juga menghambat semangat pengurus NU di daerah untuk berkhidmat pada NU. “Ini jelas mengurangi semangat PCNU,” tegasnya.
Seperti diberitakan, informasi yang diterima BangsaOnline.com menyebutkan, mayoritas Rais Syuriah PCNU yang hadir dalam pertemuan di Sidogiri mengakui bahwa dalam pertemuan itu mereka (Rais Syuriah) lebih banyak diam saat KH Miftahul Akhyar, Rais Syuriah PWNU Jawa Timur dan KH Mas Subadar, pengurus PBNU dan tokoh PKNU asal Besuki Pasuruan memberi taushiyah soal Ahwa. Tapi, menurut mereka, diam bukan berarti setuju. Bahkan para Rais Syuriah itu kemudian menggelar pertemuan sendiri-sendiri di wilayahnya masing-masing yang intinya menolak Ahwa.
Baca Juga: Muktamar NU, Yahya Staquf, Birahi Politik, dan Sandal Tertukar
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News