Adzan di Tengah Masyarakat Pluralis
Editor: Tim
Rabu, 09 Maret 2022 18:00 WIB
Oleh: Wahidul Anam*
Munculnya Surat Edaran Menteri Agama No 5 tahun 2022 tentang pedoman penggunaan pengeras suara di masjid dan musala menuai kontroversi. Ada sebagian umat Islam yang menolak, sebaliknya sebagian yang lain mendukung.
BACA JUGA:
Ulama NU Aceh Tolak SE Menag soal Toa, PKS Anggap Yaqut Salah Paham Toleransi
Kabid Penais dan Zawa Kemenag Jatim Berikan Pembinaan Penyuluh Agama Islam Lamongan
BMKG Prediksi Awal Puasa Ramadhan 2024 di Indonesia akan Berbeda
Ditanya Dugaan Keterlibatan Menag Gus Yaqut, Bupati Sidoarjo: Udah, Udah, Udah...
Salah satu landasan teologis yang dijadikan dasar para penolak surat edaran tersebut adalah hadits Nabi Muhammad SAW riwayat Abu Hurairah. Adapun potongan redaksi hadits tersebut adalah sebagai berikut الْمُؤَذِّنُيُغْفَرُلَهُمَدَىصَوْتِهِ, yang artinya “Muadzin (orang yang mengumandangkan adzan) diberi ampunan untuknya sejauh suaranya”.
Menurut data yang penulis peroleh, hadits tersebut diriwayatkan oleh banyak mukharij hadits dan sanad hadits tersebut dapat dipertanggungjawabkan keotentikannaya, sehingga hadits tersebut bernilai shahih. Sebagian orang memahami hadits tersebut bahwa suara adzan harus dikeraskan. Semakin keras adzan yang dikumandangkan, maka sang muadzin semakin banyak mendapatkan ampunan dari Allah SWT.
Pertanyaannya adalah, apakah pemaknaan hadits yang demikian sudah tepat, atau ada aspek lain yang perlu diperhatikan dalam memberikan makna terhadap hadits tersebut. Dalam teori tafsir, ada beberapa pertimbangan yang harus dijadikan landasan berpikir dalam memahami teks. Dalam salah satu teori hermenutika misalnya, dalam memahami teks, seorang penafsir harus memahami teks, konteks, dan kontekstualisasi teks.
Secara tekstual, hadits di atas mendorong umat Islam untuk mengeraskan suara adzan. Semakin suara adzan itu keras dan didengarkan oleh banyak orang, maka dosa-dosa orang akan diampuni. Bahkan dalam lanjutan teks hadits di atas, jika seorang muadzin yang mengumandangkan adzan dapat menghadirkan satu orang saja, maka akan dicatat untuk muadzin tersebut sebanyak dua puluh shalat dan diberi ampunan di antara dua shalat. Ini memberikan pengertian bahwa mengeraskan adzan merupakan sebuah keniscayaan, walaupun bukan sebuah kewajiban. Ada sebagian Imam Madzhab yang mensunnahkan mengeraskan adzan tersebut.
Selanjutnya, seorang penafsir juga harus memperhatikan konteks di mana hadits itu beredar. Kalau melihat situasi masyarakat Arab saat itu, maka cara pandang yang digunakan adalah cara pandang di mana seolah-olah seorang penafsir hidup pada zaman Nabi Muhammad SAW, suatu masa di mana belum ada teknologi yang berkembang sebagaimana saat ini.
Menurut Rusli Kusma (2017), percakapan dengan berteriakan sepadan dengan 50 Db. Seandainya volume suara adzan yang dikumandangkan oleh seorang muadzin yang tidak menggunakan sound system disepadankan dengan 50 Db, maka dapat diambil kesimpulan bahwa sebenarnya adzan yang dilakukan para sahabat pada zaman Nabi Muhammad juga tidak lebih dari ukuran manusia pada umumnya, yaitu 50 Db.
Ini memberi pengertian bahwa panggilan adzan diutamakan bagi mereka yang ada di sekitar masjid atau mushala untuk melaksanakan shalat berjam’ah di masjid atau mushala di mana suara adzan itu dikumandangkan (lihat juga Ahmad Muntaha AM, 2018).
Simak berita selengkapnya ...