Pemerintahan Jokowi Bangkitkan Kecintaan pada Soeharto?
Editor: MMA
Rabu, 09 Maret 2022 18:04 WIB
Oleh: M Mas’ud Adnan --- Apa judul itu tidak salah? Bukankah pemerintahan Jokowi antitesis pemerintahan Orde Baru yang presidennya Soeharto? Bukankah Jokowi kader PDI Perjuangan yang dipimpin Megawati Soekarnoputri? Bukankah Megawati Soekarnoputri anti Soeharto karena Bung Karno didzalimi secara politik, bahkan dikarantina secara fisik?
Tidak! Tidak salah. Judul itu benar. Pemerintahan Jokowi memang telah membangkitkan kecintaan pada Soeharto. Diakui atau tidak. Disadari atau tidak. Ingin bukti?
BACA JUGA:
Bersama Presiden Jokowi, Menteri ATR/BPN Peroleh Brevet Kehormatan Hiu
Jokowi Resmikan Smelter Grade Alumina, Erick Thohir Paparkan Dampak soal Impor Alumnium
Menparekraf Sebut Investasi IKN dari Luar Negeri Sentuh Angka Rp1 Triliun
Presiden Jokowi Jadi Saksi Pernikahan Yusuf dan Jihan, Khofifah: Sebuah Kehormatan yang Luar Biasa
Anda tentu masih ingat ketika patung diorama G30S PKI dan patung Pahlawan Revolusi di Markas Kostrad tiba-tiba dibongkar. Saat itu mantan Panglima TNI (Purn) Jenderal Gatot Normantyo mempersoalkan. Sebagai petinggi TNI tentu ia sangat paham. Apa yang sedang terjadi.
Anda boleh berbeda paradigma politik dengan Gatot. Atau bahkan beda pilihan politik. Tapi menyangkut TNI tentu beda masalahnya. TNI adalah institusi yang harus dijaga marwah dan independensinya.
Hanya saja Jenderal Gatot memiliki kecurigaan politik. Mengaitkan dengan fenomena munculnya gerakan PKI, partai yang pernah membantai kiai dan jenderal.
Yang pasti, tak lama berselang Kepala Penerangan Kostrad Kolonel Inf Haryantana menjelaskan bahwa pembongkaran patung itu permintaan Letjen TNI (Purn) Azmyn Yusri Nasution selaku pemilik ide.
"Letnan Jenderal TNI (Purn) Azmyn Yusri Nasution meminta untuk patung-patung yang telah dibuatnya untuk dibongkar demi ketenangan lahir dan batin, sehingga pihak Kostrad mempersilakan," kata Haryantana dalam keterangan tertulisnya, Senin (27/9/2021).
Selesai? Seharusnya begitu. Bukankah alasan Haryatana sangat masuk akal. Untuk apa dipersoalkan, lha wong yang punya ide sudah minta dibongkar.
Apalagi alasannya sangat mendasar. Demi ketenangan lahir dan batin. Siapa yang tak ingin tenang lahir batin? Bukankah hanya orang sinting yang tak ingin tenang lahir batin?
Tapi ingat! Nurani publik tak bisa ditutup dengan logika. Maksudnya? Logika bisa dibuat dan direkayasa sesuai kecerdasan akal manusia. Tapi nurani selalu jujur, tak bisa diatur. Tak kenal kompromi.
Maka mata batin publik melihat. Ternyata dalam deretan patung para jenderal yang dibongkar itu ada patung Jenderal Soeharto. Nah. Mata batin publik pun mulai curiga. Jangan-jangan ini sasarannya: Soeharto. Itulah yang kini diistilahkan De-Soehartoisasi.
Saya sebagai insan pers termasuk orang yang sangat bersuka cita ketika Soeharto dilengserkan oleh gerakan mahasiswa pada 1998. Sebagai wartawan saya merasakan betapa pengapnya alam demokrasi saat Soeharto berkuasa. Jadi saya pun anti kediktatoran Soeharto!
Karena itu saya yakin - bahkan haqqul yaqin - Soeharto tak akan mendapat simpati publik sampai 50 tahun kedepan. Bahkan 100 tahun kedepan. Bahkan sampai kapanpun. Terlalu banyak dosa-dosa Soeharto pada negeri ini, meski harus diakui banyak juga jasanya. Meminjam istilah Gus Dur, Soeharto itu banyak jasanya, tapi juga banyak dosanya.
Ada juga alasan lain, kenapa saya yakin Soeharto tak akan mendapat simpati publik. Presiden Orde Baru yang berkuasa 32 tahun itu berbeda secara diametral dengan Soekarno. Bung Karno sangat fenomenal. Bung Karno seorang intelektual sekaligus orator yang memukau massa. Banyak sekali warisan pemikirannya yang cemerlang sehingga tetap relevan dengan Indonesia masa depan.
Bung Karno sama dengan Gus Dur. Memiliki kapasitas dan kecerdasan intelektual luar biasa. Maka jangan heran jika pemikirannya banyak dikutip dan dijadikan jargon memukau. Bahkan muncul komunitas Gusdurian dan Soekarnoisme. Hingga sekarang!
Soeharto? Beda sekali. Soeharto seorang maniak kekuasaan. Bukan intelektual. Ada yang menyebut Soeharto ahli strategi. Memang. Tapi ia sangat otoriter, represif, hegemonik, oligarkis dan tentu saja kontra demokrasi. Apalagi ia berlatar belakang militer yang menganut sistem komando.
Karena itu saya yakin Soeharto tak akan mendapat simpati publik. Setidaknya dalam 50 tahun bahkan 100 tahun kedepan. Bahkan selamanya. Terutama karena ia tak punya warisan pemikiran cemerlang seperti Gus Dur dan Bung Karno.
Tapi mencermati politik pemerintahan Jokowi yang cenderung melakukan De-Soerhatoisasi, saya justeru was-was. Jangan-jangan Soeharto segera mendapat simpati publik kembali. Sehingga terjadi apa yang sekarang diistilahkan dengan Re-Soehartoisasi.
Dan tampaknya fenomena inilah yang sedang terjadi. Ironisnya, pemerintahan Jokowi berwajah ganda. Pada satu sisi ditengarai melakukan politik De-Soehartoisasi. Tapi pada sisi lain justru meniru cara-cara berpolitik Soeharto. Terutama dalam upaya memperpanjang usia kekuasaan. Setidaknya, inilah yang dilakukan orang-orang di sekeliling Jokowi.
Kita semua tahu, Soeharto adalah rejim yang sangat kuat. Tapi otoriter dan represif. Ia membungkam pers. Ia bahkan mempermainkan opini dengan memanfaatkan intelektual tukang (meminjam istilah Gus Dur). Itulah kenapa saya sebagai wartawan sangat merasakan sumpeknya demokrasi saat Soeharto berkuasa.
Simak berita selengkapnya ...