Luhut di Balik Penundaan Pemilu: Jokowi Bakal Melawan PDIP?
Editor: MMA
Minggu, 13 Maret 2022 17:17 WIB
Oleh: M Mas’ud Adnan -- Membaca laporan Majalah Tempo terbaru sangat gamblang. Bahwa Luhut Binsar Panjahitan berada dibalik skenario penundaan pemilu. Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar (Cak Imin) yang menyuarakan kali pertama penundaan pemilu tak lebih sebagai 'wayang' yang digerakkan dalang.
Begitu juga Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Zulkifli Hasan. Bahkan Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto yang kursinya perkasa di parlemen juga tak lebih sebagai “pion” atau “bidak”.
BACA JUGA:
Doding Rachmadi Jadi Calon Ketua DPRD Trenggalek
Bersama Presiden Jokowi, Menteri ATR/BPN Peroleh Brevet Kehormatan Hiu
Kader PDIP se-Kecamatan Mojoroto Kediri Siap Menangkan Vinanda-Gus Qowim di Pilkada 2024
Jokowi Resmikan Smelter Grade Alumina, Erick Thohir Paparkan Dampak soal Impor Alumnium
Ini memang ironis. Partai Golkar yang sebelumnya selalu menjadi inisiator politik nasional, di bawah kepemimpinan Airlangga Hartarto justru menjadi pengekor para elit politik, terutama Luhut.
Libih ironis lagi, Tempo melaporkan bahwa Airlangga Hartanto sempat diancam akan dicopot dari posisinya sebagai Menko. Ini berarti Partai Golkar sudah tak bertaring seperti pada kepemimpinan para ketua umum sebelumnya.
Muncul spekulasi bahwa tiga ketum parpol (Cak Imin, Zulkifli, dan Airlangga) mudah tunduk dan bertekuk lutut karena diduga terlibat beberapa dugaan kasus korupsi. Terutama Cak Imin dan Zulkifli memang pernah dipanggil KPK. Bahkan tidak hanya sekali. Tapi beberapa kali.
Jodi Mahardi membantah bahwa Luhut yang menyetting agenda politik tak patut itu. "Kalau untuk orkestrasi penundaan pemilu ya enggga lah. Masa sih Pak Luhut bisa tekan-tekan partai politik,” bantah Jodi Mahardi kepada sejumlah wartawan, Sabtu (5/3/2022).
Meski demikian ia mengakui bahwa Luhut memang bertemu para pimpinan parpol. Menurut dia, dalam pertemuan hanya bicara masalah kebangsaan. Tapi – kata Jodi – Luhut memang mengutarakan pandangannya bahwa ia sangat mengagumi kepemimpinan Presiden Jokowi. Jodi menganggap itu wajar.
Tampaknya 'kekaguman' Luhut itu yang kemudian dikemas menjadi alasan utama penundaan Pemilu. Maka pimpinan parpol koalisi yang sudah tak berkutik secara hukum dan politik langsung 'koor' menyanyikan lagu 'setuju'.
Padahal, mereka punya ambisi besar mencalonkan diri sebagai presiden. Kecuali Zulkifli Hasan yang kabarnya diiming-imingi masuk kabinet tapi hingga sekarang belum ada realisasinya, para ketua umum parpol itu banyak memasang baliho dan menggerakkan para kader partainya untuk menggalang dukungan sebagai capres.
Cak Imin, misalnya, menggerakkan para kader PKB di Jawa Timur untuk deklarasi dukungan pada dirinya sebagai capres. Meski hingga sekarang elektabiltasnya tak beranjak dari nomor sepatu, tapi Cak Imin terus mengklaim bahwa dirinya diminta jadi capres oleh kiai.
Bahkan, Cak Imin beberapa kali mengganti namanya. Pernah memperkenalkan diri sebagai Gus AMI, kini berganti lagi menyosialisasikan diri sebagai Gus Muhaimin.
Airlangga Hartarto juga begitu. Ia banyak memasang baliho di beberapa titik strategis di Jawa Timur. Tak tanggung-tanggung. Ia memasang gambar dirinya bersanding dengan Khofifah Indar Parawansa, Gubernur Jawa Timur. Di bawahnya tertulis: kader Golkar.
Namun tampaknya tak ada efek apa-apa. Buktinya hasil beberapa lembaga survey menunjukkan tingkat elektabilitas mereka tak beranjak signifikan.
Khofifah memang punya pendukung fanatik. Terutama Muslimat NU. Atau warga NU secara umum. Tapi dukungan itu hanya untuk Khofifah. Bukan untuk Airlangga Hartarto. Artinya, meski Airlangga Hartarto memajang foto bersanding dengan Khofifah, tapi tidak otomatis dapat 'barokah' dukungan suara dari pendukung Khofifah.
Tapi sudahlah. Itu urusan mereka. Yang menjadi urusan rakyat – termasuk kita – adalah manuver politik penundaan pemilu. Karena pemilu, selain melibatkan semua rakyat, juga terkait langsung dengan konsitutusi.
Apalagi, mayoritas rakyat Indonesia menolak manuver penundaan pemilu. Memang Luhut mengklaim big data yang berisi percakapan 110 juta orang di media sosial mendukung penundaan Pemilu 2024. Namun, hal itu berbanding terbalik dengan hasil hitung empat lembaga survei.
Simak berita selengkapnya ...