Semua Mengira IKN di Tengah Hutan Rindang, Sunyi, Ternyata Dekat Kantor HTI | BANGSAONLINE.com - Berita Terkini - Cepat, Lugas dan Akurat

Semua Mengira IKN di Tengah Hutan Rindang, Sunyi, Ternyata Dekat Kantor HTI

Editor: MMA
Jumat, 06 Mei 2022 08:11 WIB

Dahlan Iskan

SURABAYA, BANGSAONLINE.com Inilah catatan perjalanan wartawan kondang, Dahlan Iskan, ke Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara di Kabupaten . Kalimantan Timur. Ternyata ia mengaku salah duga. Tak seperti yang ia bayangkan: berada di tengah hutan belantara yang kanan kirinya penuh pohon rindang.

Benarkah di kawasan itu ada perkampungan dan bangunan. Bahkan ada pintu gerbang kecil? Loh?

Silakan baca tulisan menarik Dahlan Iskan di BANGSAONLINE.com di bawah ini:

REDAKSI BANGSAONLINE.com


YEEEIIIII.... akhirnya saya tiba di Titik Nol Indonesia. Di yang baru: Nusantara. Di pedalaman Kaltim itu.

Itu dua hari sebelum Lebaran kemarin. Saya paksakan ke sana. Toh pesawat saya balik ke Surabaya jam 14.00.

Pagi itu saya berangkat dari Samarinda. Lewat jalan tol baru Samarinda-Balikpapan. Yang panjangnya 89 km itu.

Saya berangkat dari Hotel Mercure pukul 7 pagi. Di bulan puasa, pada jam seperti itu, kota masih sepi.

Dari hotel, saya belok kiri ke arah Pelabuhan Samarinda. Itulah pelabuhan mahal. Di tepian sungai Mahakam nan luas. Tiap tahun harus dilakukan pengerukan. Pendangkalan sungai Mahakam tak tertahankan.

Dari situ saya melewati Masjid Raya, Pasar Pagi. Bekas kampung kumuh. Dibangun ketika saya masih mahasiswa di sana. Lalu lewat Teluk Lerong, Islamic Center, sampai ke jembatan indah yang melengkung di atas sungai.

Rute itu perlu saya sebut secara khusus: itulah area main-main saya ketika masih mahasiswa di Samarinda. Ketika Islamic Center itu masih lahan Perhutani. Dan jembatan itu baru mimpi.

Itu juga rute saya cari berita. Dengan cara naik sepeda. Ketika saya baru belajar menjadi wartawan. Wartawan miskin di koran lokal yang juga miskin: Mimbar Masyarakat.

Dulu untuk ke bagian kota di Samarinda seberang harus naik sampan. Begitu banyak sampan berlalu-lalang. Termasuk sampan yang yang menjual kue ontok-ontok, sanggar, ketan berserundeng dan teh susu.

Kini sudah ada tiga jembatan besar yang menghubungkan dua sisi Kota Samarinda.

Turun dari jembatan itu ada simpang tiga. Sebelum ada jalan tol, saya belok kanan menuju Balikpapan. Ketika pertama merantau ke Kaltim jalan itu pun belum ada.

Waktu itu dari Balikpapan harus naik kendaraan umum. Jeep lama Land Rover. Penuh sesak. Bergelantungan. Menuju Handil II. Lalu naik speed boat menyusuri sungai Mahakam. Ke arah hulu. Ke Samarinda. Speed boat ''Sapu Lidi'' idola banyak orang.

Kemarin itu, turun dari jembatan besar saya langsung lurus. Melewati Stadion Palaran yang terlihat telantar. Itulah stadion yang dibangun ketika Kaltim jadi tuan rumah PON 15 tahun lalu.

Jalan kembar di depan stadion itu pun telantar separo. Parah. Sisi timurnya hancur. Tidak bisa dipakai. Sudah bertahun-tahun. Jadilah sisi barat jalan kembar ini menjadi jalan dua arah.

Begitu melewati stadion terlihatlah pintu tol. Itu ujungnya. Itu kilometer 89.

Saya nanti harus exit di pintu tol km 36. Berarti akan menempuh 53 km saja. Sepanjang perjalanan tol tidak perlu dilaporkan. Tidak ada yang menarik. Juga tidak ada exit di antara 89 – yang 36 itu. Rest area juga hanya ada satu. Itu pun sudah di dekat km 36.

Pemandangan kanan kiri juga biasa saja. Hutannya tidak ada lagi. Di sana-sini terlihat bekas galian batu bara. Yang tidak nyaman di mata.

Saya pun keluar dari tol di km 36 itu: exit Samboja/Sepaku. Ke kiri ke Samboja –kota minyak di zaman Belanda yang kini kota kelahiran Rina, finalis Dangdut Indosiar.

Ke kanan, ke Sepaku. Ibu kota negara yang baru di kecamatan Sepaku itu.

Sebelum ini saya pernah mencoba exit 36. Sebelum Covid-19. Ketika jalan tolnya belum sepenuhnya jadi. Dari arah Balikpapan. Lalu balik lagi. Tujuan saya memang hanya mencoba tol baru.

Kali ini saya punya tujuan khusus: ke IKN. Sudah begitu heboh tapi saya belum pernah ke sana. Anda juga kan?

Kurang 1 Km dari exit itu tibalah di jalan lama Samarinda-Balikpapan. Saya ikuti jalan lama itu. Tidak sampai satu menit. Ada simpang tiga. Yang lurus ke Samarinda. Saya ikut yang belok kiri. Inilah jalan satu-satunya saat ini untuk menuju Titik Nol IKN.

Jalan masuk ini mulus. Dua jalur. Kanan kirinya hutan. Tidak lebat tapi rindang. Teduh. Sedikit naik turun. Tidak banyak kelokan tajam.

"Pinggir hutan ini harus dijaga. Jangan sampai dijarah rumah liar atau kaki lima," kata saya dalam hati.

Biasanya, kalau lalu-lintas sudah ramai kelak, pinggir jalan seperti ini menjadi tidak indah lagi. Dan tidak ada yang peduli untuk mengamankannya.

1 2

 

Berita Terkait

Bangsaonline Video