Heboh NU Kultural Wajib Ber-PKB, NU Struktural Sakkarepmu
Editor: M Mas'ud Adnan
Minggu, 15 Mei 2022 09:06 WIB
Secara sederhana definisi NU struktural adalah mereka yang sedang menjadi pengurus NU, baik di PBNU maupun di tingkat ranting (paling bawah). Sedang NU kultural adalah semua kiai atau warga NU berpaham Ahlussunnah Wal Jama’ah An Nahdliyah, tapi tidak masuk dalam kepengurusan formal atau organisasi NU.
Jumlah NU kultural tentu jauh lebih besar ketimbang NU struktural. Bahkan bisa jadi NU struktural hanya 5 persen dari semua jumlah warga NU kultural. Para kiai pesantren yang punya banyak santri dan jamaah masuk dalam kategori NU kultural, jika mereka tak masuk dalam kepengurusan NU.
Begitu juga para da’i, muballigh, dan kiai yang memiliki majelis dzikir, shalawat, tahlil, yasin, dan seterusnya adalah NU kultural. Jadi – sekali lagi – NU kultural jauh lebih besar jumlahnya ketimbang NU struktural.
NU kultural eksis sejak dakwah Islam pertama di Indonesia. Yang dipelopori para wali songo yang kemudian melahirkan para kiai pesantren. NU kultural - dengan demikian –lebih dulu eksis. Bahkan jauh sebelum NU struktural didirikan pada 1926.
POLARISASI MUNCUL KARENA KECEWA NU STRUKTURAL
NU struktural sebenarnya bagian dari NU kultural. Ketika Hadratussyaikh KH M Hasyim Asy’ari dan KH Abdul Wahab Hasbullah serta para kiai besar lain mendirikan NU pada 1926 tak ada polarisasi NU kultural dan struktural. Semua kiai dan warga NU guyub dan patuh pada Hadratussyaikh dan PBNU.
Bahkan bukan hanya warga NU yang patuh pada Hadratussyaikh. Tapi juga umat Islam. Maka tak heran jika Hadratussyaikh digelari sebagai "Ulama Permersatu Umat Islam". Apalagi pidato-pidato Hadrattussyaikh di depan publik selalu menekankan pentinganya persatuan umat Islam dan bangsa Indonesia.
(A Muhaimin Iskandar (Cak Imin). Foto: twitter)
Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari mendirikan NU (struktural) justru untuk wadah formal perjuangan ajaran Islam yang berpaham Ahlussunnan Wal Jamaan An Nahdliyah yang menadi misi utama NU kultural. Jadi saat itu yang diperjuangkan NU atau PBNU adalah misi dan aspirasi para kiai, ulama, atau NU kultural, bukan kepentingan pribadi dan kelompok yang jadi pengurus NU atau PBNU. Jadi misi, program dan langkah NU atau PBNU benar-benar misi para kiai dan ulama NU.
Para era Hadratussyaikh, NU atau PBNU juga berpolitik, tapi politik kebangsaan. Yaitu memperjuangkan kemerdekaan bangsa Indonesia dari penjajah, baik penjajah Belanda, Jepang, Inggris, Portugis maupun negara lain. Jadi bukan politik kekuasaan untuk memenuhi hasrat politik perorangan dan pengurus PBNU.
PBNU saat itu juga aktif dalam perjuangan ekonomi dan perdagangan. Tapi – seperti dalam politik – ekonomi dan perdagangan yang diperjuangkan PBNU adalah kesejahteraan warga NU dan bangsa Indonesia secara nasional. Bukan – sekali lagi – untuk kepentingan ekonomi pengurus NU atau PBNU seperti rebutan jadi komisaris dan minta jatah pada pemerintah.
Polarisasi NU kultural dan struktural itu muncul setelah terjadi kekecewaan atau ketidakpuasan terhadap PBNU. Itu terjadi pada generasi atau pengurus PBNU belakangan. Kekecewaan itu muncul karena PBNU cenderung terlibat politik kekuasaan dan partisan untuk kepentintan pribadi pengurus NU. Bukan kepentingan warga NU.
Kini polarisasi NU kultural dan sktruktural itu justru dipertegas oleh PKB. Setelah PBNU kepemimpinan Gus Yahya lebih dekat dengan PDIP ketimbang PKB.
Ruwet? Pasti. Bahkan makin ruwet. Karena yang merangkul dan mengklaim NU kultural justru partai politik! Wallahua’lam bisshawab. (M Mas'ud Adnan)