Indonesia Krisis Etika? Simak Pendapat Hadratussyaikh saat Ditanya Siapa Presiden RI Pertama | BANGSAONLINE.com - Berita Terkini - Cepat, Lugas dan Akurat

Indonesia Krisis Etika? Simak Pendapat Hadratussyaikh saat Ditanya Siapa Presiden RI Pertama

Editor: MMA
Kamis, 07 Maret 2024 19:13 WIB

Sesama tokoh pejuang kemerdekaan RI KH Abdul Wahid Hasyim sangat dekat Soekarno. Dalam foto tampak saat Kiai A. Wahid Hasyim dan Soekarno salat di Masjid Amerika Serikat (AS) pada tahun 1956. Kiai Wahid Hasyim berada di sebelah kanan persis Soekarno yang sedang berdiri. Foto ini diambil di Masjid Amerika Serikat (AS) pada tahun 1956. Tampak juga tokoh NU KH Zainul Arifin yang berada di sebelah kiri Soekarno. Foto: civitas.com

SURABAYA, BANGSAONLINE.COM – Masalah etika menjadi problem serius bangsa Indonesia belakangan ini. Baik etika sosial, budaya, politik, bisnis, ekonomi, penegakan hukum, keadilan, dan terutama etika dalam penyelenggaran kenegaraan dan pemerintahan.

Banyak para tokoh nasional berintegritas – termasuk para guru besar perguruan tinggi - prihatin terhadap sepak terjang Presiden Joko Widodo. Para tokoh nasional itu menilai Jokowi sebagai kepala negara bukan saja tak bisa menjadi teladan etika tapi juga dianggap telah menghancurkan etika dan akhlak yang selama ini dijunjung tinggi oleh bangsa Indonesia.

Salah satu contoh paling menyolok adalah lolosnya Gibran Rakabuming Raka – putra Presiden Joko Widodo – sebagai calon wakil presiden. Gibran yang secara konstitusional tak memenuhi syarat karena belum berusia 40 tahun (Gibran berusia 36 tahun), tapi dipaksakan dengan cara melanggar etika berat lewat Mahkamah Konstitusi (MK) yang kebetulan diketuai pamannya sendiri, Anwar Usman.

Gibran diloloskan lewat siasat "klausul" baru bahwa ia pernah menjabat kepala daerah. Gibran adalah walikota Solo. 

Jadi, meski ia belum berusia 40 tahun, seperti ketentuan konstitusi,  tapi ia pernah menjadi "kepala daerah". Padahal "kepala daerah" yang dimaksud sebagian hakim MK adalah jabatan gubernur. Yang membawahi beberapa kabupaten. Bukan setingkat walikota yang membawahi beberapa kecamatan. Kota Solo hanya terdiri dari lima kecamatan.  

Tapi itulah kehebatan sang paman. Karena itu Majalah Tempo menjuluki Gibran sebagai “anak haram konstitusi”. Ini mudah dipahami karena pelanggaran etika itu memang sangat fatal. Buktinya Anwar Usman kemudian dipecat dari posisinya sebagai ketua MK oleh Dewan Kehormatan Mahkamah Konstitusi (DKMK) yang dipimpin Prof Dr Jimly Ashiidiqie. DKMK memecat adik ipar Presiden Jokowi itu karena dianggap telah melakukan pelanggaran etika berat (dalam meloloskan Gibran).

Lebih fatal lagi, ternyata lolosnya Gibran sebagai cawapres tidak hanya melanggar etika berat di MK. Tapi juga di Komisi Pemilihan Umum (KPU). Buktinya, Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) memberikan peringatan keras ketiga kepada Ketua KPU RI Hasyim Asy’ari.

Banyak tokoh bangsa menilai bahwa pencawapresan Gibran merupakan sejarah hitam bagi bangsa Indonesia. Terutama dalam perspektif demokrasi dan konstitusi.

Memang sangat ironis. Baru kali inilah seorang presiden Indonesia yang sedang berkuasa “mendorong” anaknya menjadi calon wakil presiden. Lebih ironis lagi, proses pencawapresan Gibran justru dengan cara melanggar etika. Bahkan etika berat.

Hadratussyaikh KH Muhammad Hasyim Asy’ari

Nah, menyaksikan realitas politik yang nihil etika itu alangkah arifnya jika kita simak keteladanan Hadratussyaikh KH Muhammad Hasyim Asy’ari saat penentuan presiden RI pertama.

Hadratussyaikh adalah ulama pesantren yang dikenal sebagai pejuang kemerdekaan RI sekaligus pahlawan nasional RI. Jadi Indonesia berdiri berkat jasa besar Hadratussyaikh. 

Asad Shihab, seorang wartawan dan penulis kisah-kisah tokoh kemerdekaan RI, dalam bukunya berjudul Al-Allamah Muhammad Hasyim Asy’ari Wadli’u Istiqlal Indonesia menyebutkan bahwa Hadratussyaikh adalah peletak dasar kemerdekaan RI.  

Hadratussyaikh ditetapkan sebagai pahlawan nasional oleh Presiden pada 17 November 1964 berdasarkan Surat Keputusan (SK) Presiden RI No. 294 November 1964. Pendiri Pondok Pesantren Tebuireng dan organisasi Nahdlatul Ulama (NU) itu diangkat sebagai pahlawan karena memimpin perjuangan melawan penjajah, baik Belanda, Jepang, Portugis, maupun Inggris .

Bahkan Hadratussyaikh berjuang melawan penjajah tidak sendirian. Tapi melibatkan keluarga dan para santrinya. Tak aneh jika Pesantren Tebuireng yang didirikannya berkali-kali jadi sasaran penghacuran penjajah. Hadratussyaikh sendiri dipenjara dan disiksa oleh tentara penjajah.

Bahkan putra sulungnya, KH Abdul Wahid Hasyim, tidak hanya terlibat perjuang kemerdekaan RI tapi juga terlibat aktif sebagai perumus UUD 45 dan Pancasila. Ayah Gus Dur itu dalam usia 23 tahun sudah menjadi anggota Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).

KH Abdul Wahid Hasyim (kanan) dan di Masjid Amerika Serikat (AS) pada tahun 1956. Tampak juga tokoh NU KH Zainul Arifin yang berada di sebelah kiri .

Maka ketika KH A Wahid Hasyim wafat dalam usia muda, 39 tahun, Presiden menobatkan Kiai Abdul Wahid Hasyim sebagai Pahlawan Nasional berdasarkan Keppres No. 206 Tahun 1964, 28 April 1964. Kiai Abdul Wahhid Hasyim wafat pada 19 April 1953.

Hadratussyaikh dan Kiai Abdul Wahid Hasyim memang sangat berjasa besar terhadap bangsa Indonesia. Begitu juga keluarga Pesantren Tebuireng yang lain. Seperti KH Muhammad Yusuf Hasyim (putra bungsu Hadratussyaikh), KH Abdul Kholiq Hasyim, KH Abdul Karim Hasyim, Nyaik Khoiriyah Hasyim dan yang lainnya. Termasuk para santri Pesantren Tebuireng yang terlibat langsung dalam perjuangan kemerdekaan RI. Terutama dalam peristiwa pertempuran 10 November Surabaya.

Tapi yang menakjubkan, Hadratusssyaikh tak pernah mau memanfaatkan kiprah perjuangannya untuk kepentingan pribadi atau keluarganya. Ketika dimintai pendapat atau fatwa soal siapa yang layak jadi presiden RI, Hadratussyaikh tidak mengajukan Kiai Abdul Wahid Hasyim, putranya sendiri. Hadratussyaikh justru menyebut nama .

Padahal seandainya Hadratussyaikh menyebut nama putranya, Kiai Abdul Wahid Hasyim, bisa jadi sejarah Indonesia akan berbeda. Sebab Hadratussyaikh adalah ulama besar yang sangat berpengaruh saat itu. Hampir semua tokoh nasional minta pendapat dan fatwa pada Hadratussyaikh. Termasuk , Jenderal Soedirman, Bung Tomo dan sebagainya.

Bahkan Hadratussyaikh satu-satunya ulama yang bisa menyatukan para tokoh Islam dan umat Islam di Indonesia. Sejaraah mencatat umat Islam Indonesia pernah bersatu hanya pada era Hadratussyaikh.

Selain itu Kiai Abdul Wahid Hasyim juga sangat layak menjadi presiden RI. Bahkan dalam beberapa hal Kiai Wahid Hasyim jauh lebih unggul dari pada . Kiai Wahid Hasyim selain dikenal sebagai tokoh cerdas, punya basis intelektual kuat dan piawai diplomasi juga sangat mengusai ilmu agama. Apalagi saat itu tokoh agama sangat penting dalam pusaran politik Indonesia karena kelompok agama dan nasionalis masih dalam proses adaptasi politik. (m. mas'ud adnan)

 

Berita Terkait

Bangsaonline Video