Tafsir Al-Nahl 72: Teologi Manusia Berayah Kambing
Senin, 23 Mei 2016 11:57 WIB
Oleh: Dr. KHA Musta'in Syafi'ie MAg. . .
BANGSAONLINE.com - "Waallaahu ja’ala lakum min anfusikum azwaajan waja’ala lakum min azwaajikum baniina wahafadatan warazaqakum mina alththhayyibaati afabialbaathili yu/minuuna wabini’mati allaahi hum yakfuruuna".
BACA JUGA:
Tafsir Al-Anbiya' 48-50: Abu Bakar R.A., Khalifah yang Rela Habiskan Hartanya untuk Sedekah
Tafsir Al-Anbiya' 48-50: Momen Nabi Musa Berkata Lembut dan Keras kepada Fir'aun
Tafsir Al-Anbiya 48-50: Fir'aun Ngaku Tuhan, Tapi Tak Mampu Melawan Ajalnya Sendiri
Tafsir Al-Anbiya' 41-43: Arnoud Van Doorn, Petinggi Partai Anti-Islam yang Justru Mualaf
Tidak sama dengan persetubuhan antara manusia dengan binatang dalam artian, seorang laki-laki menyetubuhi kambing betina. Laki-laki itu berdosa, meski bukan dosa berzina. Hukumannya hanya ditakzir, hukuman fisik sebagai pelajaran menurut kebijakan hakim setempat. Kambing betina itu harus segera disembelih agar tidak menimbulkan efek buruk di kemudian hari. Dagingnya halal dimakan. Bila ceweknya manusia dan cowoknya kambing, misalnya.
Andai positif hamil, maka kandungannya wajib digugurkan demi kemaslahatan ke depan. Andai terlanjur dan melahirkan?
Bila berupa kambing, maka hukumnya sebagai kambing murni. Dagingnya halal dimakan. Andai lahir berupa manusia seutuhnya, berakal sehat persis manusia biasa, maka hukumnya adalah hukum manusia sepenuhnya. Hukum ini ditetapkan berdasar hukum lahiriah (al-hukm bi al-dhawahir), bukan berdasar pada asal kejadian. Selanjutnya, beberapa aturan hukum melekat kepadanya yang disajikan sebagai berikut:
Pertama, jika dia sudah dewasa atau mukallaf, maka berlaku hukum keimanan, apakah dia muslim atau non-muslim. Keimanan mana yang dia pilih, maka berlaku konsekuensinya.
Simak berita selengkapnya ...