Tafsir Al-Nahl 82-83: Kafir, Kaya Karena Warisan | BANGSAONLINE.com - Berita Terkini - Cepat, Lugas dan Akurat

Tafsir Al-Nahl 82-83: Kafir, Kaya Karena Warisan

Wartawan: -
Kamis, 09 Juni 2016 14:26 WIB

ilustrasi

Oleh: Dr. KHA Musta'in Syafi'ie MAg. . .   

BANGSAONLINE.com - "Fa-in tawallaw fa-innamaa ‘alayka albalaaghu almubiinu. Ya’rifuuna ni’mata allaahi tsumma yunkiruunahaa wa-aktsaruhumu alkaafiruuna."

Ayat kaji ini tentang nikmat yang diberikan Allah SWT kepada hamba-Nya. Hamba itu mengerti, betapa Tuhan maha memberi (ya'rifun ni'mah Allah). Tapi dalam praktik sehari-hari, hamba itu mengingkari (tsumm yunkirunaha). Orang begini ini dicap sebagai kafir (wa aktsaruhum al-kafirun). Ada kafir teologis, yaitu mengingkari adanya Allah SWT sebagai Tuhan. Kafir kelas ini dikategorikan sebagai non muslim. Dan ada kafir servis, yaitu mengingkari kenikmatan yang diberikan Tuhan. Kafir kelas ini tetap sebagai mukmin, tapi durhaka. Berbagai tafsiran soal nikmat ini, antara lain:

Pertama, nikmat itu adalah diri pribadi nabi Muhammad SAW. Disebut nikmat karena beliau memandu manusia ke jalan yang benar demi menggapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Tapi para kafir itu mengingkari dan mendustakan. Jadi, ada baiknya setelah kita mendapatkan kebajikan religius, seperti habis mendapat ilmu, mendengarkan pengajian, shalat sunnah, membaca al-Qur'an berucap "al-hamdu lillah". Bukan karena merasa bisa beribadah, tapi berharap semoga bisa melakukan yang lebih baik lagi. Begitu pendapat imam al-Suddy.

Kedua, nikmat yang dimaksud pada ayat ini adalah semua kenikmatan fisis yang bisa dirasakan dan bisa dimanfaatkan. Umumnya semua kenikmatan dunia, seperti harta, kesehatan, keamanan, kedamaian dan lain sebagainya. Bagi imam Mujahid, nikmat ini harus dipahami utuh sebagai murni pemberian Tuhan, tidak ada peran dari siapapun. Bila ada peran atau bantuan seseorang, maka itu hanya sebatas wasilah atau media saja. Media tersebut tidak berperan dengan sendirinya, melainkan telah disediakan dan disukseskan oleh Allah, sehingga totalitas nikmat tersebut murni dari Allah SWT.

Jika seseorang masih memandang ada peran orang lain dalam perolehan nikmat tersebut, maka bagi Mujahid, hal itu dianggap sebuah kekufuran terhadap nikmat Allah. Contohnya, seseorang yang mendadak kaya karena mendapat warisan. Lalu ditanya, "Dari mana harta berlimpah itu?. Dia menjawab: "Dari warisan orang tua".

Jawaban itu betul, logis dan diterima oleh akal mana saja. Tapi, menurut siratan ayat ini, jawaban tersebut menafikan peran Tuhan yang memberi. Penafikan terhadap peran Tuhan yang mahamemberi inilah bentuk kekafiran tersendiri. Dalam perseptif teologik, jawaban yang benar adalah "Harta yang saya peroleh ini adalah pemberian Tuhan lewat warisan". Makanya, sebagai orang beriman, biasakan melibatkan peran Tuhan dalam segala hal.

Meski nyata-nyata harta itu dari hasil anda berbisnis, mohon janganlah diakui sebagai hasil kerja sendiri. Kedepankan peran Tuhan lebih dahulu, baru medianya. Sebab tidak semua orang berbisnis itu bisa sukses. Banyak yang berhasil dan tidak sedikit yang gulung tikar. Paparan imam Mujahid ini terinspirasi dari kebiasaan orang arab jahiliah yang berbangga-bangga dengan kekayaan yang diwarisi dari leluhurnya. Lalu ayat kaji ini turun memberi teguran.

Ketiga, memandang peran orang lebih dominan daripada kekuasaan Tuhan. Ini juga disebut kekufuran sebagaimana disindir ayat studi ini. Tesis ini serupa dengan terma sebelumnya, tapi beda orientasi dan contoh. Semisal ada program besar yang anda pelopori, anda usahakan hingga sukses. Pokoknya, anda-lah pemeran utama dalam proyek itu. Lalu anda mengatakan: "Ini semua saya yang mengusahakan. Dari proposal hingga menemui pak ini, pak itu, ke sana dan ke situ sampai turun dan cair". Saat itulah anda mengenyampingkan peran Tuhan. Anda bisa saja dipuji-puji manusia, tapi sama sekali Tuhan tidak sudi memuji, bisa-bisa malah membenci.

Atau sebaliknya, semisal ada orang yang dianggap menjadi biang kegagalan sebuah program. Semua yang menjadi piranti dan persyaratan sudah ditata dan dipersiapkan sesempurna mungkin. Ternyata pada waktunya, acara menjadi gagal karena seseorang. Contoh, sudah siap berangkat umrah pada hari yang ditentukan. Ternyata gagal karena visa tidak keluar.

Ditinjau dari sisi tanggungjawab, travel penyelenggara tersebut salah dan berdosa, bisa dituntut dan bisa diperkarakan. Bagi jamaah yang hendak umrah memang kecewa, malu, sedih dan sebagainya. Itu wajar sebagai manusia, tapi sangat tidak wajar sebagai orang yang beriman. Secara hukum, pihak travel memang pantas dipersalahkan sebagai menipu, tidak terbuka, tidak bertanggungjawab dan sebagianya. Tapi secara keimanan janganlah hanya terfokus kepada travel saja. Ingat, ingat dan sekali lagi ingat peran Tuhan. Tuhan sudah pasti mengetahui itu dan pada finalnya menakdirkan itu.

Simak berita selengkapnya ...

1 2

 

Berita Terkait

Bangsaonline Video