Makna “Man Jadda Wajada”, Sebuah Cerpen | BANGSAONLINE.com - Berita Terkini - Cepat, Lugas dan Akurat

Makna “Man Jadda Wajada”, Sebuah Cerpen

Editor: rosihan c anwar
Rabu, 30 Juli 2014 14:03 WIB

foto:ilustrasi

Kang Saleh merasakan, usaha perdagangan yang dijalankan selama ini, mulai kembang-kempis. Dia menjadi tidak fokus mengaji. Sang Romo Kiai sempat menanyakan, apa gerangan yang menjadikan Kang Saleh seperti orang kebingungan. “Oh itu. Jika kita bersyukur kepada Allah, maka Allah akan memberikan kita berlebih-lebih. Saleh, upayamu belum seberapa dibanding dengan sosok lelaki, yang kini menjadi saudagar. Belajarlah kepada dia.”

KANG Saleh menelusuri ruas jalan di Sidoarjo. Dia kerap bertanya kepada orang-orang dan toko-toko yang menjual topi. Di manakah tempat produksi topi terbesar di Sidoarjo?

Jika sudah mendapat alamatnya, Kang Saleh bertamu kepada si pengusaha itu. Sudah tiga orang ditanya, tapi tak satupun masuk dalam ciri-ciri seperti yang disebutkan Romo Kiai.

Barulah pada pengusaha topi ke empat, Kang Saleh bisa mendapatkan ciri-ciri yang nyaris sama.

“Perkenalkan nama saya Saleh. Saya ingin belajar tentang hidup kepada bapak,” tutur Kang Saleh.

“Nama saya Tris. Silakan masuk dulu. Kita bisa obrol-obrol di dalam,” tutur Tris sambil mengajak Saleh masuk.

Rumahnya hanya biasa saja, meski terlihat sangat luas. Di setiap dinding rumah itu, berjajar mesin jahit, mesin obras, mesin bordir. Semua ada yang mengoperasikan. Sedangkan di lantai dari plesteran semen itu, teronggok kain menggunung. Ada yang memotong dengan mesin, ada yang memilah-milah kain perca, dan ada yang mengumpulkan kain pola.

Hari itu, semua tampak bekerja. Kadang para pekerja bercanda antar mereka. Sang juragan, Pak Tris juga sesekali menimpali guyonan mereka.

“Apa yang bisa saya bantu, Mas Saleh?”

“Begini Bapak Tris, kemarin saya mengaji ke Romo Kiai, dan Romo Kiai melihat bahwa kondisi mental saya saat itu sangat rapuh, pasalnya, usaha perdagangan saya sepi dan bisa dikatakan nyaris bangkrut. Mungkin karena terlalu sering saya tinggal, yang seperti ini. Yaitu belajar tentang hidup dari hamba-hamba yang disayangi Allah.”

“Lalu apa kaitannya dengan saya?”

“Romo Kiai menyebut, bahwa untuk belajar tentang hidup, qanaah, kerja keras, saya bisa belajar dari Bapak Tris.”

“Lho kok aneh. Saya tidak kenal kiai Mas Saleh. Kok yakin Mas Saleh disuruh belajar kepada saya?”

“Saya juga tidak tahu. Saya hanya meyakini dari hati, bahwa sosok yang disebut Romo Kiai adalah Bapak Tris. Bisakah Bapak mengajari saya tentang hidup?”

“Waduh. Kalau Mas Saleh ingin belajar membuat topi atau dasi, pasti akan saya ajari. Tetapi, untuk belajar tentang hidup? Apa yang bisa saya sampaikan? Saya ndak ngerti dan ndak tahu harus ngomong apa?”

“Mohon Bapak Tris menyeritakan tentang perjalanan hidup Bapak saja.”

“Ha ha ha. Kalau itu saya bisa cerita dengan lancar. Bisa saja Kiai Mas Saleh ini.”

***

Tubuh Tris semakin kurus. Dia pusing mencari penghasilan untuk menghidup tiga anak dan satu istrinya. Sepanjang menikah, Tris memang belum pernah merasakan bekerja tetap. Kerjanya hanya serabutan, dia tak punya keahlian khusus. Maklum, usai menamatkan pendidikan pesantren cukup ternama di Jawa Timur, Tris langsung dinikahkan oleh orangtuanya, dengan sosok anak modin dari Sidoarjo.

Tris memilih hidup bersama mertuanya. Karena tidak punya keahlian, Tris hanya mengandalkan permintaan tolong orang lain. Mulai dari mengisi bak mandi, menyapu, bahkan pergi memanen padi. Uang dari pekerjaan serabutan itu, digunakan untuk menghidupi istrinya.

Tak terasa, Tris sudah mempunyai anak tiga. Mertuanya memang selalu menyediakan masakan lebih, agar bisa dimakan tiga anak Tris. Tris akhirnya merasakan dalam posisi kepepet.

Setiap hari dia pusing tujuh keliling. Di rumah mertua, Tris sudah tidak nyaman sendiri, padahal semua tak ada yang memermasalahkan Tris.

“Bu, tidak bisa seperti ini terus. Saya tak mungkin mengemis pekerjaan kepada tetangga.”

“Lalu Bapak mau usaha apa?”

“Saya tidak tahu.”

“Sudahlah Pak, bapak-ibu tak keberatan kok. Yang penting Bapak sayang kepada kami semua, itu sudah cukup.”

“Tapi anak-anak pasti tambah besar, dan butuh biaya besar. Begini saja bu, setiap hari saya akan pergi, untuk mencari kerja. Tolong saya diikhlaskan.”

**

Sejak obrolan itu, maka setiap pagi. Tris memilih keluar rumah. Dia tak membawa uang samasekali. Biasanya, dia nggandol kereta api dan turun di Stasiun Kota Surabaya. Dia berjalan ke Pesarean Ampel, dan berwasilah.

Berhari-hari berwasilah, menjadikan Tris sampai hafal jadual kereta api yang melewati stasiun Sidoarjo. Benar adanya. Dalam perenungan di kawasan Pesarean Sunan Ampel ini, Tris mendapat maunah dari Allah.

Esoknya, Tris tak lagi nggandol kereta api, tapi dia memilih berjalan-jalan di sekitaran Sidoarjo.

“Assalamualaikum,”

“Waalaikum salam. Bisa saya bantu mas?”

“Ndak Mas, hanya numpang berteduh saja.”

“Oh silakan duduk mas.”

Ini biasanya percakapan Tris dengan para penjahit atau tailor, di kawasan Sidoarjo. Biasanya dilanjutkan dengan obrolan-demi obrolan.

Setiap hari, Tris bertamu dari satu penjahit ke penjahit di seantero Sidoarjo, hingga mereka mulai akrab. Tris berterus terang tenang keadaan keluarganya.

“Saya di sini, bukan meminta pekerjaan kepada Mas. Tidak. Tapi, bisakah mas mengizinkan saya untuk belajar menjahit? Bolehkan saya meminta benang, dan kain-kain yang tak kepakai untuk saya pakai untuk belajar?”

“Oh alah Tris, pakai aja mesin jahit yang menganggur. Belajarlah menjahit sesukamu. Kami adalah satu temanku. Ambil kain-kain perca yang kamu perlukan.”

Simak berita selengkapnya ...

1 2

 

 Tag:   cerpen

Berita Terkait

Bangsaonline Video