Tafsir Al-Isra 103-104: Antara Nabi Musa, Fir’aun, Jokowi, dan Pak Harto | BANGSAONLINE.com - Berita Terkini - Cepat, Lugas dan Akurat

Tafsir Al-Isra 103-104: Antara Nabi Musa, Fir’aun, Jokowi, dan Pak Harto

Editor: Redaksi
Senin, 27 April 2020 22:58 WIB

Ilustrasi. foto: NU Online

Oleh: Dr. KH. A Musta'in Syafi'ie M.Ag*

103. Fa-araada an yastafizzahum mina al-ardhi fa-aghraqnaahu waman ma’ahu jamii’aan.

Kemudian dia (Fir‘aun) hendak mengusir mereka (Musa dan pengikutnya) dari bumi (Mesir), maka Kami tenggelamkan dia (Fir‘aun) beserta orang yang bersama dia seluruhnya.

104. Waqulnaa min ba’dihi libanii israa-iila uskunuu al-ardha fa-idzaa jaa-a wa’du al-aakhirati ji’naa bikum lafiifaan.

Dan setelah itu Kami berfirman kepada Bani Israil, “Tinggallah di negeri ini, tetapi apabila masa berbangkit datang, niscaya Kami kumpulkan kamu dalam keadaan bercampur baur.”

TAFSIR AKTUAL

Ayat sebelumnya mengangkat dialog nabi Musa A.S. dan raja Fir'aun, penguasa Mesir. Nabi Musa yang sudah dibekali Tuhan kedigdayan, asalnya minder, tapi akhirnya sangat pemberani. Musa bertindak dengan bijak dan perhitungan. Debat dengan Fir'aun tentang Tuhan sudah dilakukan, dan Fir'aun tersudut, lalu memaki-maki Musa sebagai tukang sihir.

Memang Fir'aun sangat berkuasa di negerinya, bahkan diberi sehat terus tanpa pernah flu sekalipun. Para dukun dan penyihir, apalagi pejabat dan pengawal, sangat mengelu-elukan Fir'aun, dan bahkan rela menyembahnya sebagai Tuhan kelas atas. Meski mereka melihat kejanggalan, arogansi, kebiadaban, tapi tetap saja berucap positif di hadapan Fir'aun.

Lalu ayat ini menuturkan, bahwa Fir'aun punya niat jahat hendak mengusir Musa dan semua pengikutnya dari bumi Mesir atau melenyapkan mereka. "Fa arad an yastafizzhum min al-ardl". Sayang, rencana tinggal rencana, Tuhan lebih cepat bertindak. Mereka ditenggelankan di laut Merah, semuanya. "fa aghraqnah wa man ma'ah jami'a".

Dari sisi sikap para pendukung Fir'aun, kita bisa ambil pelajaran, bahwa kita dituntut selalu punya pandangan obyektif. Memuji seseorang boleh, asal proporsional dan tidak berlebihan. Terlalu memuji itu bisa membutakan seseorang dari kejujuran, sama dengan terlalu membenci.

Apalagi pujian itu terkesan mengesampingkan kelebihan presiden pendahulu. Itu reporter penjilat dan tidak bermoral obyektif. Bayangkan, sampai gaya duduknya dipuji sebagai kaki lentur, sehat dll. Jokowi itu umur berapa, belum tentu bisa hidup seumur kiai Makruf. Pepatah agama mengatakan "Fa al-hayy la yu'man 'anh fitan" Orang yang masih hidup itu tidak ada jaminan aman dari ujian-ujian. Kadang lulus, kadang nyungsep.

Bal'am ibn Ba'ura, seorang sufi besar zaman Bani Israel dengan kesalihan tingkat tinggi. Na'udz bi Allah, akhir hayatnya lidahnya menjujur kayak anjing karena durhaka. Umar ibn al-Khttab, seorang kafir super beringas yang kurang selangkah saja hendak membunuh Nabi Muhammad SAW. Tiba-tiba menjadi muslim hebat dan bahkan pengganti Nabi.

Makanya, dalam penelitian ilmiah terkait studi tokoh yang masih hidup, perlu ada batasan waktu. Misalnya sampai tahun sekian, sampai tulisan ini diturunkan. Bisa jadi, seseorang sangat bagus, salih, tiba-tiba nyungsep karena sesuatu hal. Na'udzu bi Allah. Kayak zaman pak Soeharto dulu, para antek sangat loyal, memuji dan ikut menikmati. Begitu jatuh, mereka pura-pura lupa dan tidak merasa ikut berdosa. Pak Harto memang banyak jasa, tapi juga banyak dosa. Semoga diampuni oleh yang Mahakuasa.

Simak berita selengkapnya ...

1 2

 

Berita Terkait

Bangsaonline Video