Tafsir Al-Isra 110: Wiridan dengan Suara Keras, Bid'ah? | BANGSAONLINE.com - Berita Terkini - Cepat, Lugas dan Akurat

Tafsir Al-Isra 110: Wiridan dengan Suara Keras, Bid'ah?

Editor: Redaksi
Jumat, 01 Mei 2020 21:57 WIB

Ilustrasi dzikir bersama. foto: Republika

Oleh: Dr. KH. A Musta'in Syafi'ie M.Ag*

110. Quli ud’uu allaaha awi ud’uu alrrahmaana ayyan maa tad’uu falahu al-asmaau alhusnaa walaa tajhar bishalaatika walaa tukhaafit bihaa waibtaghi bayna dzaalika sabiilaan

Katakanlah (Muhammad), “Serulah Allah atau serulah Ar-Rahman. Dengan nama yang mana saja kamu dapat menyeru, karena Dia mempunyai nama-nama yang terbaik (Asma‘ul husna) dan janganlah engkau mengeraskan suaramu dalam salat dan janganlah (pula) merendahkannya dan usahakan jalan tengah di antara kedua itu.”

TAFSIR AKTUAL

' ... Wa la tajhar bi shalatik wa la tukhafit biha wa ibtaghi bain dzalik sabila". Saat shalat, bacaannya jangan keras-keras, tapi jangan terlalu lirih. Ya, yang sedang-sedang saja. Suara keras memang membuat semangat, tapi mengganggu lingkungan. Suara lirih, memang mendorong khusyu', tapi juga penyebab ngantuk.

Sabab nuzul ayat ini banyak versi, namun semua bermuara pada ibadah shalat atau berdoa dengan suara keras. Sesuai sifat surah yang Makkiyah, ayat ini turun ketika Rasulullah SAW melakukan ibadah shalat sendirian sambil umpetan, menyendiri dan di tempat sepi. Hal itu mengingat kondisi Makkah yang belum ramah terhadap Islam.

Tapi, ketika sebagian sahabat yang sudah memeluk Islam ikut bergabung atau shalat berjamaah, maka Nabi mengeraskan bacaannya. Saking semangatnya, hingga orang-orang kafir mendengar dan terganggu. Merasa kesal, para musuh Allah itu ngeluruk dan marah-marah. Nabi diumpat dan dicaci sebagai pengganggu ketenangan. Ayat ini turun menasihati nabi, agar bacaannya sedang-sedang saja atau kondisional.

Ayat ini sejatinya lebih fokus pada perkara etika, kepantasan, dan kepatutan. Bukan aturan mati, baku, dan kaku. Makanya, ketika Tuhan melarang bersuara keras (la tajhar) dan melarang juga bersuara sangat lirih (la tukhafit), Tuhan segera menyertakan perintah bersedang-sedang, sak madyo ae, (wa ibtaghi bain dzalik sabila).

Ini adalah perintah cerdas, di mana seorang muslim mesti pandai membaca situasi. Kapan beribadah dengan suara keras dan kapan beribadah dengan suara lirih. Dari sabab nuzul tersebut bisa diteladani, baik sisi situasinya maupun gaya tegurannya. Itulah, maka para ulama' terdahulu memandang bagus, apabila kita sedang beribadah bareng, maka sang imam diperintah mengeraskan bacaan sewajarnya, yang kemudian diikuti oleh para makmum.

Tapi kalau sedang beribadah sendiri, maka cukup dengan suara lirih saja. Memimpin doa, harusnya dengan suara yang sekiranya bisa didengar oleh makmum. Jangan nggeremeng sendiri. Memang Tuhan maha mendengar, tapi jangan lupa anda sedang memimpin doa yang di-amin-i oleh orang bnayak. Mereka lega karena bisa mengikuti sekaligus mengontrol doa anda.

Dialah Abu Bakr al-Shiddiq, pribadi yang lembut dan berperangai sangat halus. Hal itu nular ke gaya ibadahnya. Abu Bakr suka sekali beribadah dengan suara lirih, bahkan sangat lirih. Seseorang bertanya: "Tuan kok lirih sekali kala beribadah?"

Simak berita selengkapnya ...

1 2

 

Berita Terkait

Bangsaonline Video