Jangan Pilih Mafia Lingkungan | BANGSAONLINE.com - Berita Terkini - Cepat, Lugas dan Akurat

Jangan Pilih Mafia Lingkungan

Editor: MMA
Kamis, 13 Agustus 2020 16:50 WIB

Suparto Wijoyo. foto: ist

Oleh: Suparto Wijoyo

---Ketika HARIAN BANGSA mengontak untuk membahas pilkada 9 Desember 2020, saya sedang bersungguh-sungguh untuk menyuguhkan argumentasi mengenai krisis pangan yang akan mengancam, apabila negeri ini tidak mampu membangun dengan basis iklimnya. Teorinya adalah pembangunan yang klimatopolis.

Pemanasan global dan ketahanan pangan menuju kedaulatan yang memperkuat negara memang tengah menjadi salah satu bincangan dan program kerja Pemerintah. Lahan pangan di Kalimantan pun dibuka. Kebutuhan pangan dan ketersediaan pangan sangat bersinggungan dengan problem kekeringan dan kebanjiran yang acapkali melanda negara kepulauan beriklim tropis ini.

NKRI pernah mencatatkan diri sebagai negara swasembada beras dalam kancah internasional, maka merupakan labirin apabila harus impor besar, jagung, kedelai, garam, termasuk dari Vietnam. Untunglah Jawa Timur dalam kepemimpinan Bunda Khofifah Indar Parawansa telah memperhatikan kepentingan petani dengan beragam instrumen, mulai penyediaan pertanian mekanis (modernisasi pertanian), fasilitasi pembiayaan yang dirintis sejak era Pakde Karwo dan subsidi alat angkut. Harga gabah dapat dikontrol melalui kebijakan dan kondisi kekeringan yang menjadi tradisi tahunan diantisipasinya melalui pembangunan embung-embung maupun penanggulan dan pengembangan waduk untuk mengerem laju air waktu hujan. Lumbung pangan juga dikawal untuk mengatasi dampak pandemic Covid-19.

Pada tataran itulah sejatinya masalah lingkungan itu berkaitan dengan masalah kemampuan pemimpin. Kekeringan ataupun kebanjiran menjadi bencana atau “berkah” untuk dimanfaatkan sebagai sarana bertani di lahan kering dan lahan basah, adalah soal kapasitas manajemen sang pemimpin dalam menata wilayahnya.

Terhadap hal ini, saya teringat ungkapan Leonardo DiCaprio sewaktu memenangi Piala Oscar atas perannya sebagai Hugh Glass pada film The Revenant dengan Pidato Kemenangan yang mengesankan. Dia angkat isu lingkungan dengan aksentuasi perubahan iklim yang tengah menjadi ancaman paling mendesak saat itu sebagaimana dilansir banyak media dunia di tanggal 1 Maret 2016.

Pidato di perhelatan Academy Awards 2016 di Dolby Theatre, Los Angles, itu sangat relevan dan aktual bagi dunia.Pun di Indonesia di 2020 ini, khususnya Jawa Timur. Kekeringan ataupun banjir biasa menyebar dan merayap di banyak wilayah di Indonesia. Beberapa wilayah Sulawesi dan Kalimantan baru saja kebanjiran, sementara daerah-daerah di Jawa Timur sedang “di pangku” kekeringan. Kota dan desa, pegunungan dan daratan, sawah dan ladang, hutan dan lahan seolah berbaris mengintip lakon yang menimpanya.

Kekeringan dan bencana alam terus bergulir menerpa dengan kerugian ekonomi, sosial budaya dan lingkungan pada tingkatan yang memilukan. Peristiwa ini semakin melengkapi deret luka kemanusiaan yang tertorehkan di negeri ini. Musim penghujan laksana penanda bahwa lonceng kebanjiran sedang dibunyikan untuk diterima sebagai lagu semesta.

Sementara dikala kemarau, kita semua diwanti untuk mafhum bahwa kekeringan adalah cobaan yang harus diterima dengan penuh tawakal. Maka kekeringan dan banjir yang terjadi rutin setiap tahun tampaklah dianggap sebagai ritual ekologis yang sudah senyatanya ditakdirkan. Belum lagi soal bahaya narkoba, terorisme, konflik antarkampung, tawuran supporter bola, radikalisme maupun LGBT yang semakin marak. Seluruh sendi negara ini sepertinya sedang bercerita begitu gamblang mengenai bencana (kekeringan, banjir maupun letusan gung termutama Gunung Sinabung dan Gunung Agung).

Negara bukanlah keledai yang dapat terantuk untuk kedua kalinya di lubang yang sama. Negara juga bukan tupai yang sepandai-pandainya melompat akan terjatuh jua. Negara dengan segala alat kelengkapannya memiliki sumber daya untuk menjaga rakyat dan wilayahnya. Dalam bahasa Pembukaan UUD 1945, negara diadakan untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah.

Adalah suatu ironi apabila ada kekeringan, ada banjir, ada penggusuran, ada konflik antarwilayah, ada penyerobotan hak-hak rakyat di sebuah negara yang memiliki pemimpin yang dipilih secara demokratis.

Apa artinya pemilu, pilkada, pilwali itu kalau soal kekeringan terus dilakonkan? Di banyak tempat di Indonesia mengalami kekeringan selagi musim kemarau? Orang lantas bermenung: bukankah setiap wilayah itu ada pemimpin yang dipilih untuk mampu mengatasi persoalan rakyatnya, bukan untuk berdalih karena lamanya musim kemarau atau derasnya curah hujan.

Atau jangan-jangan memang ada yang merayap di setiap jengkal tanah dengan penguasa hasil pilkada yang diam-diam menyetujuinya. Lihat saja penyalahgunaan tata ruang yang dilipat tata uang di wilayahmu. Maka hati-hati memilih kepala daerah, termasuk yang bergaya ramah lingkungan tetapi menjual asset rakyat kepada pengembang atas nama itu asset pemerintahnya.

Simak berita selengkapnya ...

1 2

 

Berita Terkait

Bangsaonline Video