Oleh: M. Mas’ud Adnan---Peristiwa 10 November 1945 adalah tonggak sejarah sangat penting bagi bangsa | BANGSAONLINE.com - Berita Terkini - Cepat, Lugas dan Akurat

Resolusi Jihad dalam Pertempuran 10 Nopember

Editor: MMA
Selasa, 10 November 2020 09:44 WIB

M. Mas'ud Adnan. foto: bangsaonline.com

Oleh: M. Mas’ud Adnan --- Peristiwa 10 November 1945 adalah tonggak sejarah sangat penting bagi bangsa Indonesia, terutama umat Islam. Sebab, pada momentum 10 November itulah, nasionalisme mendapat pemaknaan sangat signifikan dalam paradigma keagamaan. Nasionalisme yang semula dipahami sebagai wilayah di luar agama, ternyata bagian dari kewajiban syar’i yang harus diperjuangkan.

Tampaknya, kerangka pemikiran itulah yang kemudian menjadi salah satu dasar umat Islam untuk terus merawat Pancasila dan UUD ’45, terutama NU yang memang punya saham besar bagi lahirnya negeri ini.

Sejarah mencatat, meski bangsa Indonesia telah memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, 53 hari kemudian NICA (Netherlands Indies Civil Administration) nyaris mencaplok kedaulatan RI. Pada 25 Oktober 1945, 6.000 tentara Inggris tiba di Pelabuhan Tanjung Perak, . Pasukan itu dipimpin Brigadir Jenderal Mallaby, panglima brigade ke-49 (India). Penjajah Belanda yang sudah hengkang pun membonceng tentara sekutu itu.

Praktis, genting. Untung, sebelum NICA datang, Soekarno sempat mengirim utusan menghadap KHM Hasyim Asy’ari di Pesantren , Jombang, Jawa Timur. Melalui utusannya, Soekarno bertanya kepada : 

“Apakah hukumnya membela tanah air? Bukan membela Allah, membela Islam, atau membela Alquran. Sekali lagi, membela tanah air?”

yang sebelumnya sudah punya fatwa jihad kemerdekaan bertindak cepat. Dia memerintahkan KH Wahab Chasbullah, KH Bisri Syamsuri, dan kiai lain untuk mengumpulkan kiai se-Jawa dan Madura. Para kiai dari Jawa dan Madura itu lantas rapat di Kantor PB Ansor Nahdlatoel Oelama (ANO), Jalan Bubutan VI/2, , dipimpin Kiai Wahab Chasbullah pada 22 Oktober 1945.

( KHM Hasyim Asy'ari saat menerima utusan Jepang. foto: Dok. Pesantren )

Pada 23 Oktober 1945, atas nama Pengurus Besar Nahdlatul Ulama mendeklarasikan seruan jihad fi sabilillah, yang kemudian dikenal dengan . Ada tiga poin penting dalam itu. Pertama, setiap muslim – tua, muda, dan miskin sekalipun- wajib memerangi orang kafir yang merintangi kemerdekaan Indonesia.

Kedua, pejuang yang mati dalam perang kemerdekaan layak disebut syuhada. Ketiga, warga Indonesia yang memihak penjajah dianggap sebagai pemecah belah persatuan nasional, maka harus dihukum mati.

Jadi, umat Islam wajib hukumnya membela tanah air. Bahkan, haram hukumnya mundur ketika kita berhadapan dengan penjajah dalam radius 94 km (jarak ini disesuaikan dengan dibolehkannya qashar salat). Di luar radius itu dianggap fardu kifayah (kewajiban kolektif, bukan fardu ain, kewajiban individu).

Fatwa jihad yang ditulis dengan huruf pegon itu kemudian digelorakan Bung Tomo lewat radio. Karuan saja, warga dan masyarakat Jawa Timur yang keberagamaannya kuat dan mayoritas NU merasa terbakar semangatnya. Ribuan kiai dan santri dari berbagai daerah -seperti ditulis M.C. Ricklefs (1991), mengalir ke . Perang tak terelakkan. Bahkan Jenderal Mallaby tewas.

Sedemikian dahsyat perlawanan umat Islam, sampai salah seorang komandan pasukan India Zia-ul-Haq (kelak menjadi presiden Republik Islam Pakistan) heran menyaksikan kiai dan santri bertakbir sambil mengacungkan senjata. Sebagai muslim, hati Zia-ul-Haq trenyuh, dia pun menarik diri dari medan perang. Sikap Zia-ul-Haq itu membuat pasukan Inggris kacau.

Simak berita selengkapnya ...

1 2

 

Berita Terkait

Bangsaonline Video