Lewat Gang Sempit, Paus-Ayatollah Bertemu: Akhiri Kekerasan Atas Nama Agama | BANGSAONLINE.com - Berita Terkini - Cepat, Lugas dan Akurat

Lewat Gang Sempit, Paus-Ayatollah Bertemu: Akhiri Kekerasan Atas Nama Agama

Editor: MMA
Rabu, 10 Maret 2021 06:06 WIB

Dahlan Iskan. Foto: istimewa

SURABAYA, .comTulisan Dahlan Iskan ini bukan saja berkelas, tapi juga sangat mencerahkan. Wartawan kawakan yang memiliki Pesantren Sabilul Muttaqin (PSM), di Takeran Magetan, dengan 150 madrasah tersebar di berbagai kota dan kabupaten itu, menulis tentang pertemuan dua tokoh agama berpengaruh yang sangat menyejukkan. Ayatollah al-Sistani dan Paus Francis.

Sangat menyentuh hati, ketika Dahlan Iskan - yang lulusan Madrasah Aliyah dan pernah kuliah di IAIN - mengungkap kehidupan Al-Sistani. Tokoh Islam yang pernah diusulkan dapat hadiah Nobel itu ternyata sangat sederhana. Ia tinggal di di rumah kecil ukuran 70 m2. Bukan rumah sendiri, tapi rumah kontrakan.

Namun yang lebih mengharukan lagi, dua tokoh agama itu punya kepedulian sama: hentikan kekerasan atas nama agama!

Nah, tulisan mantan menteri BUMN yang hari ini, Rabu, 10 Maret 2021, dimuat Disway dan , kami turunkan di .com yang pembacanya terus meluas ke seluruh Indonesia dan luar negeri. Selamat membaca:

PAUS Francis berusia 84 tahun. Ayatollah Ali al-Sistani berumur 90 tahun. Keduanya bertemu, Sabtu lalu. Selama 40 menit. Yang dibicarakan: kekerasan atas nama agama harus diakhiri.

Pertemuan bersejarah itu terjadi di rumah Ali al-Sistani –Grand Ayatollah di Iraq. Di kota Najaf. Iraq bagian selatan. Sudah dekat dengan Iran.

Rumah Sistani berada di dalam sebuah gang yang sempit. Rumah itu sendiri luasnya hanya 70 m2 –sedikit di atas rumah sederhana untuk ukuran Indonesia. Pun itu bukan rumah sang imam sendiri. Itu rumah kontrakan –600.000 dinar Iraq/bulan. Atau sekitar Rp 200.000/bulan.

Paus terbang dari Baghdad –ibu kota Iraq– menuju Najaf. Hanya sekitar 30 menit. Saya pernah jalan darat dari Baghdad ke Najaf: sekitar 2 jam. Bersama istri, anak wedok Isna Iskan, suaminyi, dan cucu pertama Icha.

Saya sampai berkali-kali memutar video berita kunjungan pemimpin tertinggi dunia Katolik ke Najaf itu. Terutama video bagaimana Paus harus turun dari mobil di mulut gang. Lalu harus berjalan menyusuri gang dengan langkah khas orang tua.

Tempat pertemuan itu sendiri memang terlihat sangat sederhana. Ayatollah al-Sistani mengenakan jubah ''kebesaran'' seorang imam besar aliran Syiah: serbahitam. Paus mengenakan jubah kepausan: serbaputih.

Kita tidak tahu pembicaraan dua pemimpin agama itu. Semuanya tertutup. Kita hanya tahu dari siaran pers –satu dari Sistani dan satunya dari Paus Francis. Tapi isinya sama: perlunya kekerasan atas nama agama diakhiri.

Dari Sistani ada tambahan yang lebih mencerminkan keadaan di Iraq: orang Kristen Iraq berhak hidup aman dan damai seperti warga Iraq lainnya. "Itu dijamin oleh konstitusi Iraq," ujar siaran pers dari Sistani.

Sikap Sistani itu sudah bisa dibaca jauh-jauh hari. Sikap itulah yang membuat kunjungan Paus ke rumahnya menjadi mungkin.

Berbulan-bulan staf kedua belah pihak membahas kunjungan itu. Ada saja hambatannya. Bukan soal perbedaan iman, tapi soal keamanan. Iraq masih belum aman. Maka pengamanan di sepanjang gang itu menjadi faktor yang paling sulit.

Terakhir ada faktor tambahan: Covid-19.

Tapi tekad Paus sangat kuat untuk ke Iraq. Belum ada Paus sebelumnya berani ke Iraq. Paus Francis adalah yang pertama. Yang saat kunjungan dilakukan sudah menjalani vaksinasi suntikan kedua.

Di depan gang rumah Sistani terbentang satu spanduk. Isinya sangat damai dan menyejukkan. Kalimat di spanduk itu diambil dari kata-kata Sayyidina Ali bin Abi Thalib –panutan utama pengikut Syiah. Ali adalah salah satu dari empat sahabat tepercaya Nabi Muhammad. Yang juga menantu Nabi: ayah dari Sayyidina Hassan dan Hussein –cucu kesayangan Nabi.

"Kita ini bersaudara, kalau bukan saudara seiman adalah saudara sesama manusia," bunyi kalimat di spanduk itu.

Simak berita selengkapnya ...

1 2

 

Berita Terkait

Bangsaonline Video