​Pemerintahan Jokowi Bangkitkan Kecintaan pada Soeharto?

​Pemerintahan Jokowi Bangkitkan Kecintaan pada Soeharto? M Mas'ud Adnan. Foto: bangsaonline.com

Gilanya, kini ada buzzer dan influencer. Hasil penelitian Center for Media and Democrazy Lembaga Penelitian Pendidikan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) menunjukkan bahwa para buzzer dan influenzer itu adalah “kaki tangan” politikus yang selama ini telah berhasil “memanipulasi opini publik”.

Di antaranya dalam kasus revisi UU KPK. Mereka menciptakan tagar #KPKdanTaliban. Tujuannya untuk memberikan citra buruk bahwa di dalam KPK ada ekstremis dan radikalis. Citra buruk itu sengaja mereka cipta agar dalam jajak pendapat mereka bisa unggul.

Salah satu kepiawaian politik adalah menjinakkan para politisi. Terutama para pimpinan parpol. Pada era parpol dibonsai menjadi tiga kekuatan politik. Golkar, PDI dan PPP. Golkar bahkan tak disebut sebagai partai. Tapi golongan karya.

Golkar adalah partai pemerintah. Otomatis menjadi penyangga utama kekuasaan . Tapi, PDI dan PPP justru lebih Golkar daripada Golkar. Terutama saat PPP dipimpin oleh J Naro dan Ismail Hasan Metareum. Banyak tokoh-tokoh PPP yang kritis dan vokal disingkirkan. Kebetulan tokoh-tokoh vokal saat itu berasal dari NU. Diantaranya KH M Yusuf Hasyim, pengasuh Pesantren Tebuireng.

Para ketua umum parpol Orde Baru hampir seratus persen terkooptasi . Mereka lebih suka menikmati kekuasaan dengan cara menjadi “pelayan politik” yang hegemonik ketimbang berpikir cerdas untuk berkhidmat pada rakyat atau umat.

Sialnya, kini kita menyaksikan indikator politik yang nyaris sama. Ketua Umum PKB, Muhaimin Iskandar (Cak Imin), Ketua Umum PAN Zulkifili Hasan, dan Ketua Umum Golkar Airlangga Hartarto, kompak mengusulkan penundaan pemilu. Pengusul awal Cak Imin. Lalu diikuti Zulhas – panggilan Zulkifli Hasan dan Airlangga.

Banyak sekali tokoh nasional yang mencibir. Mereka menganggap usul itu sebagai politik “cari muka”. Tapi mereka jalan terus. Padahal Jokowi sebelumnya telah memberikan pernyataan tegas dan vulgar. Mantan Gubernur DKI Jakarta itu mengatakan bahwa usul masa jabatan presiden tiga periode justru menjerumuskan dirinya. Menurut dia, orang yang mengusulkan dirinya menjabat tiga periode itu hanya orang cari muka pada dirinya.

"Ada yang ngomong presiden dipilih tiga periode, itu ada tiga. Ingin menampar muka saya, ingin cari muka, padahal saya sudah punya muka. Ketiga, ingin menjerumuskan. Itu saja, sudah saya sampaikan," kata Jokowi dalam video yang beredar luas.

Tapi – seperti kita cermati - dalam politik fundamental - terutama untuk kepentingan demokrasi - Jokowi sering tak konsisten dengan pernyataannya. Karena itu masih kita tunggu realitasnya.

Manuver politik Cak Imin, Zulhas dan Airlangga persis gerakan politik Orde Baru, era . Rubrik Jati Diri Jawa Pos (8/3/2022) menulis, pada politik Orde Baru ada istilah “kebulatan tekad”. Para elit politik Orde Baru saat itu membual bahwa rakyat masih sangat mencintai .

Saya masih ingat. Salah satu tokoh politiknya adalah Harmoko. Mantan menteri penerangan itu mengaku sudah berkeling Indonesia. Hasilnya, menurut dia, rakyat ingin Pak Harto memimpin Indonesia lima tahun lagi.

Untuk memperkuat kesan publik, para politisi Orde Baru itu mengumpulkan tokoh masyarakat, termasuk para kiai. Para tokoh itulah yang kemudian memdeklarasikan “kebulatan tekad” mendukung dengan alasan rakyat masih membutuhkan.

Namun – seperti kita saksikan – tumbang karena ulah para politisi penjilat itu. yang dikenal sebagai tokoh politik sangat hati-hati dan penuh perhitungan dalam mengambil keputusan justru gagal memahami eksistensi dirinya. Akibatnya, ia terjungkal oleh gerakan massa, terutama para mahasiswa. alpa bahwa rakyat sudah muak sehingga harus lengser secara tidak terhormat. pun mengakhiri kepemimpinannya dengan suul khotimah (berakhir jelek).

Lebih ironis lagi, Harmoko yang semula getol mendukung jadi presiden lagi, dua bulan kemudian justru minta lengser karena tekanan mahasiswa. Saat itu Harmoko menjabat Ketua DPR/MPR RI.

Kini kita juga menyaksikan fenomena politik lain. Yaitu tentang indikator De-isasi. Ini bisa kita lihat pada keputusan Presiden Jokowi yang menetapkan 1 Maret sebagai Hari Penegakan Kedaulatan Negara tanpa menyebut sebagai tokoh sentral. Kepres Presiden Jokowi itu justru memasang Presiden Soekarno dan PM Hatta sebagai tokoh penggagas , disamping Panglima Besar Soedirman dan Sri Sulta Hamengkubuwono IX sebagai kepala daerah Jogjakarta, yang waktu itu menjadi ibu kota negara dan diduduki tentara Belanda (Pradipto Niwandhono, Jawa Pos (8/3/2022).

Keputusan sejarah memang sering identik dengan penguasa. Itu juga yang dilakukan ketika berkuasa. Semua peran dan jejak Bung Karno dihabisi. Terjadilah De-Soekarnoisasi besar-besaran. Tapi mata batin bangsa tak bisa dikelabuhi. Publik justru penasaran. Konsekuensinya, semua yang bernuansa Soekarno diburu. Terutama buku-buku tentang Bung Karno.

Bahkan munculnya Megawati sebagai tokoh nasional tak lepas dari pendzalimam politik atau “politik aniaya” terhadap Bung Karno. Kharisma Mega – diakui atau tidak – karena faktor Bung Karno yang didzalimi .

Demikianlah, jika pemerintahan Jokowi melakukan De-Soerhartoisasi, maka sama saja dengan membangkitkan kecintaan pada . Ingat, generasi kita– terutama milenial - tak pernah mengalami represivitas politik saat berkuasa. Sehingga mereka bisa saja langsung simpati ketika menyaksikan pengusa melakukan pendzaliman politik terhadap .

Itulah yang disebut efek tak terkontrol. Niatnya menghabisi peran dan jejak serta simpati publik pada , namun yang terjadi sebaliknya. Publik justru simpati terhadap penguasa Orba yang sangat otoriter dan represif itu karena terkesan terdzalimi. Wallahu’alam bisshawab.

M Mas’ud Adnan, alumnus Pascasarjana Unair dan Pesantren Tebuireng Jombang Jawa Timur

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Lihat juga video 'Presiden Jokowi Unboxing Sirkuit Mandalika, Ini Motor yang Dipakai':


Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO