JAKARTA, BANGSAONLINE.com – Problem manajemen Rumah Sakit ternyata cukup rumit. Tapi benarkah direktur kalah wibawa dengan dokter? Lalu bagaimana sikap Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin?
Nah, silakan ikuti tulisan wartawan kawakan, Dahlan Iskan, di HARIAN BANGSA hari ini, Selasa 27 Desember 2022. Atau di BANGSAONLINE di bawah ini. Selamat mengikuti:
Baca Juga: Petrokimia Gresik Kirim Bantuan untuk Korban Erupsi Gunung Lewotobi Laki-Laki
TIDAK semua direktur rumah sakit berfungsi dengan baik. Terutama di rumah sakit pemerintah. Pusat dan terutama daerah.
Beda dengan di rumah sakit swasta.
Salah satunya: dalam hal wewenang penggunaan alat-alat modern di rumah sakit. Semacam ada rebutan wewenang di situ. Akibatnya, pasien harus antre panjang. Sampai ada yang tidak sempat tertangani.
Baca Juga: Bantu Rapikan Aset, AHY Teken MoU dengan Menkes
Karena itu, reaksi pun muncul ketika Menkes menyatakan akan melengkapi peralatan di banyak rumah sakit. Dikira persoalannya hanya rumah sakit kekurangan alat.
Padahal, ada juga masalah manajemen di dalamnya. ”Jangan sampai alat mahal-mahal yang akan dibeli itu nanti mubazir,” ujar sahabat Disway di bidang itu. ”Lebih baik Menkes mengatur dulu siapa saja yang akan boleh menggunakan alat mahal itu. Agar tidak jadi rebutan antardisiplin ilmu,” ujarnya.
Selama ini penggunaan alat-alat tersebut diatur oleh keputusan direksi. Ini soal internal. Soal manajemen murni. Tapi, ada direksi yang kalah wibawa dengan sekelompok dokter di keahlian tertentu.
Baca Juga: Pencopotan Dekan FK Unair, Prof. Budi Masih Aktif Mengajar dan Tangani Pasien di RSUD dr. Soetomo
Ada juga direksi rumah sakit yang takut pada ancaman sekelompok dokter. Misalnya: mereka akan meninggalkan rumah sakit tersebut kalau keinginan mereka tidak dipenuhi.
Alat-alat mahal yang sering jadi ”korban” rebutan itu, misalnya, cathlab. Yakni, alat mahal untuk kateterisasi jantung.
Di beberapa rumah sakit, alat itu jadi rebutan antara departemen spesialis jantung dan pembuluh darah (SpJP) versus departemen spesialis penyakit dalam konsultan kardiovaskular (SpPD-KKV).
Baca Juga: Soal Pemecatan Dekan FK Unair, Prof. Puruhito: Dokter Kita Mampu Bersaing dengan Dokter Asing
Bergantung kelompok mana yang kuat. Bisa jadi kelompok SpJP yang kuat sehingga alat tersebut di bawah kekuasaan SpJP. Akibatnya, departemen satunya tidak bisa ikut menggunakan. Atau sebaliknya.
Alat itu pun tidak bisa dipergunakan secara maksimal. Kalau di swasta, yang demikian bisa berbahaya. Investasi untuk membeli alat tersebut tidak bisa kembali.
Alat mahal lain yang nasibnya sama adalah MRI. Yang biasa jadi rebutan antara departemen spesialis anak (SpA) dan departemen spesialis radiologi (SpR).
Baca Juga: Dekan FK Unair Diberhentikan, Ada Apa?
Ada juga alat yang jadi rebutan antara departemen spesialis bedah toraks kardiovaskular (SpBTKV) dan departemen spesialis anak.
Ada lagi rebutan antara departemen spesialis penyakit dalam hematologi dan onkologi medik (SpKHOM) lawan departemen spesialis bedah onkologi (SpBOnk). Yakni, alat untuk kemoterapi.
Di rumah sakit swasta, problem kekuasaan pada alat seperti itu pasti tidak ada. Alat itu mahal. Biasanya dibeli dengam cara kredit. Berarti, alat tersebut harus menghasilkan uang yang cukup. Tidak boleh menganggur. Harus selalu dipakai.
Baca Juga: Polsek Sukolilo Tangkap 3 Pelaku dan Penadah Motor Curian Jaringan Surabaya-NTT
Pemikiran seperti itu tidak ada di rumah sakit pemerintah. Alatnya dibeli dengan uang negara. Tidak perlu mencicil. Tidak ada ancaman disita.
Paling-paling pasien yang jadi korban. Terutama pasien dari kelompok dokter-spesialis" rel="tag">dokter spesialis yang ”kalah” dalam penguasaan alat mahal tersebut. ”Kalau pasiennya kaya bisa kita sarankan periksa di RS swasta. Tapi, kasihan pasien yang miskin,” ujar sahabat Disway itu.
Bagaimana sikap Menkes?
Baca Juga: Bentrok Antar Pemuda NTT dengan Warga Keputih Surabaya Berakhir Damai
”Minggu ini akan kita keluarkan permenkes penggunaan alat-alat itu,” ujar Menkes Budi Sadikin kepada Disway. ”Prinsipnya, siapa pun yang punya kompetensi harus boleh menggunakan alat tersebut,” tambahnya.
Dengan keluarnya permenkes itu nanti, beban direktur rumah sakit pemerintah jadi ringan. Tidak perlu lagi takut pada satu departemen spesialis. Apalagi sungkan. Toh, tinggal ikut aturan menteri.
Menkes baru saja meresmikan rumah sakit pusat terbesar di Indonesia Timur. Di Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT). Luasnya 18 hektare. Di pinggiran selatan Kota Kupang. Sekitar 15 menit dari RS Katolik St Carolus Borromeus. Atau setengah jam dari RS Siloam yang di pusat Kota Kupang. Hanya sekitar 20 menit dari RSUD W.Z. Johannes, Kupang.
Baca Juga: Kukuhkan PW IKA Unair NTT, Khofifah: Harus Hebat dan Kuasai Dunia
Selama ini RSUD W.Z. Johannes yang terbesar. Terlengkap. Tapi, belum punya kemampuan pasang ring di jantung. Atau menghancurkan batu ginjal. Ahlinya sudah ada. Tapi, alatnya yang belum. Demikian juga bedah saraf untuk penderita stroke. Ahlinya sudah ada, alatnya belum ada.
Maka, RSUP yang baru itu andalannya. Akan dilengkapi semua alat modern. Setingkat dengan RS tipe A. Bisa sebagai rujukan untuk seluruh NTT.
Di pulau sebesar Flores pun belum bisa dilakukan tiga jenis pengobatan tadi. Selama ini rujukannya ke Surabaya. Maka, setelah ini mereka cukup ke Kupang. Meski tetap juga harus naik pesawat terbang.
RSUP baru itu diberi nama Ben Mboi. Seorang dokter. Tokoh nasional asal Flores. Pernah jadi gubernur NTT dua periode. Istrinya, dr Nafsiah Mboi, pernah jadi menteri kesehatan. Masih sehat sekarang.
Almarhum W.Z. Johannes juga tokoh nasional asal NTT: lahir di Pulau Rote. Ia ahli radiologi pertama Indonesia. Ia adik Herman Johannes yang pernah jadi rektor Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
Satu tokoh itu dari Rote. Satu lagi dari Flores. Nama mereka kini abadi di Kupang. Mereka tentu tidak pernah rebutan alat kesehatan. Waktu itu memang belum ada alat yang bisa diperebutkan. (Dahlan Iskan).
Anda bisa menanggapi tulisan Dahlan Iskan dengan berkomentar http://disway.id/. Setiap hari Dahlan Iskan akan meilih langsung komentar terbaik untuk ditampilkan di Disway.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News