​Kiai Achmad Siddiq, Tokoh Pemadu Islam dan Pancasila (1)

​Kiai Achmad Siddiq, Tokoh Pemadu Islam dan Pancasila (1)

Oleh: Salahuddin Wahid

Universitas Jember (Unej) Jawa Timur menggelar Lokakarya Penyusunan Naskah Akademik “Pengusulan KH Achmad Siddiq sebagai Pahlawan Nasional”. Pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng KH Ir Salahuddin Wahid (Gus Solah) diundang sebagai pembicara, disamping KH Muchith Muzadi dan KH Afiuddin Muhajir. Inilah tulisan Gus Solah yang disajikan dalam lokakarya tersebut.

BANGSAONLINE.com - Sering sekali kita mendengar ucapan Bung Karno bahwa bangsa yang besar menghormati pahlawannya. Perhatian serius Bung Karno terhadap pemunculan Pahlawan Nasional sebagai lambang nasional sesungguhnya baru dimulai pada 1959 ketika tiga orang teman seperjuangan BK yaitu Abdoel Moeis, Ki Hajar Dewantara, dan RM Soeryopranoto wafat. Saat itu BK tengah mencari berbagai cara untuk memperkuat persatuan nasional dan menanamkan elan revolusi. Upaya itu dilakukan melalui Direktorat Urusan Kepahlawanan Nasional Departemen Sosial. Sampai 1965 ada 33 nama yang dikukuhkan sebagai Pahlawan Nasional. Kini sudah melebihi angka 160.

Sampai jumlah berapa banyak kita membutuhkan Pahlawan Nasional? Siapa yang berhak mendapat kehormatan sebagai Pahlawan Nasional? Kalau kita mau jujur, banyak yang beranggapan bahwa sejumlah Pahlawan Nasional belum atau tidak layak dan sejumlah tokoh layak menjadi Pahlawan Nasional tetapi tidak atau belum diangkat.

Pahlawan mempunyai beberapa kriteria: 1. Hampir tanpa pamrih, meletakkan kepentingan masyarakat dan bangsa diatas kepentingan pribadi, keluarga dan kelompok. 2. Punya keberanian tinggi untuk bersikap dan memperjuangkan keyakinannya. 3. Punya integritas tinggi. 4. Punya kemampuan dan prestasi tinggi dalam bidangnya. 5. Tidak mudah menyerah, punya keyakinan diri yang kuat dan optimisme tinggi. 6. Bukan pengkhianat bangsa dan negara.

Apa yang membuat KH Achmad Siddiq layak dianugerahi gelar Pahlawan Nasional? Karena beliau telah memberi sumbangsih bagi bangsa dan negara Indonesia, yang telah mewarnai dan menentukan arah perjalanan Republik Indonesia.

Beliaulah yang berperan dalam menyusun kajian yang disajikan dalam Munas Alim Ulama NU pada 1983 untuk menjadi acuan dan landasan bagi NU dalam menentukan sikap terhadap rencana Pemerintah untuk menerapkan aturan yang mengharuskan seluruh ormas dan parpol untuk memakai Pancasila sebagai asas. Kajian beliau itu bisa meyakinkan peserta Munas Ulama NU untuk menyetujui Dokumen Hubungan Islam Dan Pancasila. Beliau tidak pernah berpikir dan berharap akan diberi gelar Pahlawan Nasional, tetapi bangsa Indonesia terutama warga Nahdlatul Ulama yang harus dan wajib memperjuangkan pemberian penghargaan itu kepada beliau.

***

Sejak awal abad 20 memang sudah terdapat tiga kelompok dalam dunia politik: kelompok kebangsaan tanpa memandang agama, suku, etnik; kelompok kebangsaan berdasar Islam, dan kelompok komunis. Gagasan dari tiga kelompok ini muncul dalam dunia politik menjelang kemerdekaan dan berdirilah partai-partai yang menjadi perwakilan ketiga kelompok itu.

Sejak ratusan tahun lalu hukum Islam telah diberlakukan di berbagai kerajaan Islam di banyak daerah di wilayah Nusantara, terutama hukum keluarga. Atas usul van Vollenhoven, ahli hukum adat, Pemerintah Hindia Belanda pernah membuat aturan bahwa pembagian waris di wilayah Hindia Belanda harus dilakukan dengan menggunakan hukum adat. PBNU langsung melakukan protes dengan hujjah bahwa sejak ratusan tahun pembagian waris didalam kerajaan Islam di seluruh wilayah Hindia Belanda menggunakan hukum Islam. Akhirnya protes tersebut diterima. (bersambung)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO