Sumamburat: “Ana Shooimun”

Sumamburat: “Ana Shooimun” Suparto Wijoyo

Oleh: Suparto Wijoyo *

Baca Juga: Pengkhianat, Waktumu Sudah Habis

INI bulan yang dinanti karena banyak memberi rezeki. Demikian tinggi yakinku terhadap bulan ini mengingat beragam kegiatan dihelat penuh semarak di seantero negeri. Santri-santri kecil di pedesaan wilayah Lamongan atau Gresik meski kebanjiran terus saja melangkah.

Makam-makam Islam penuh dengan taburan bunga, apalagi doa yang ditebar oleh jiwa-jiwa beriman yang rindu kepada leluhurnya. Doa dipanjatkan tanpa tahu etape tangganya yang tiada akhir. Ramainya kampung halaman dengan anak-anak yang bermain di Masjid sebagai penanda datangnya pengharapan yang penuh berkah atasnya.

Saya menyaksikan seluruh kelebat umat yang mempersiapkan segalanya dalam menyambut bulan ini lebih dari makna di hari pencoblosan pemilu 17 April 2019 lalu. Kini, saat yang dinanti telah tiba dengan selamat. 1 Ramadhan 1440 Hijriyah, para pengiman dalam ruang Islam beribadah puasa untuk meningkatkan ketakwaan. Begitulah diajarkan dalam Kalam Suci yang dihafalkan setiap mengawali puasa. Sungguh Ramadhan meluaskan areal jelajah pengabdian yang tiada tepi dan garis demarkasi, antara hamba dengan Rabbnya.

Baca Juga: Kejam dan Rakus, Pengusaha Sarang Burung Walet Rampok Rumah Pasangan Mau Kawin

Bulan yang kepadanya segala hikmah dipersembahkan. Pintu-pintu keberkahan dibuka dalam rentang melantingkan pertobatan dengan daya lenting yang gemahnya sepanjang hayat pemanggul tauhid-Nya. Pengampunan, rahmat dan kemuliaan digelar dengan segala ornamen istimewa yang melekat pada “pengembara” Ramadhan.

Secara seloroh saya meyakini bahwa bulan ini juga penuh rejeki yang akhirnya saja undangan buka bersama terus terjadi setiap hari. Lantas THR mengikuti dengan kelindan bersama kaum buruh tanpa perlu demonstrasi. Bulan puasa ini justru berkesejatian amat sangat ngrejekeni. Bahkan tidurnya orang yang berpuasa menyemaikan berberkas kebaikan dengan limpahan pahala, apalagi yang terjaga dengan lentera pemandu memberi teladan, pastilah Allah swt melipatgandakan derajatnya.

Tidak ada yang sia-sia dalam setiap detak langkah dan pijaran sinyal berpuasa di mongso Ramadhan. Tidakkah jiwa pemuasa mengerti betul betapa diwulan poso itu segala keagungan dibeber dalam persembahan tunggal untuk keunggulan manusia dalam mencapai maqom takwa.

Baca Juga: Angka Vaksinasi: Jakarta 120 Persen, Surabaya 89,24 Persen, Jatim Kalahkan Jateng dan Jabar

Takwa adalah supremasi paling terhormat yang ditanam sekaligus dipanen siapa saja yang berpuasa. Puasamerupakan peribadatan yang sangat “tidak terjamah” karena secara anatomis maupun “bahasa tubuh” amatlah rahasia. Eksistensi dan fungsi puasa memiliki frekuensi khusus terhadap jejaring Tuhan. Inilah ibadah yang sejatinya tidak dapat dideteksi manusia melalui kelekatan ekspresinya, selain Allah swt sendiri.

Untuk memberikan bonus amaliah puasa,ternyata Allah swttidak dibantu “ajudan” sebagaimana pemberian “wahyu” maupun piranti takdir lainnya. Allah swt sangat sungguh-sungguh dalam mengambil kendali langsung atas “tanda jasa” yang hendak diberikan-Nya kepada pribadi pemuasa.

Puasamu-puasaku-puasa kita niscaya menjadi media komunikasi yang paling terang tanpa gangguan “android ragawi” karena Allah swt hadir pada setiap deret kegiatan pelaku puasa. Maka tidaklah elok kalau kita main-main terhadap keajaiban menjalankan ibadah puasa ini. Tekadkan secara sempurna untuk berpuasa dengan deklarasi lelaku yang sudah sangat umum: berniat.

Baca Juga: ​Tiga Tipe Ulama Era Jokowi: Oposan, Pragmatis, dan Idealis

Puasa pasti digerakkan dengan niat sebagai inti keberangkatan penjelajahan jiwa-raga para pemuasa. Ucapkan dan laksanakanseluruh sendi peribadan untuk memasuki gerbang terhormat bulan Ramadhan 1440 H. Niat Ingsun Poso adalah penanda untuk terselenggarakannya panggung puasa Ramadhan yang memiliki beragam fenomena syariat yang sangat fenomenal: bertadarus, nderesKitab Suci, tiada henti untuk melantunkan ayat-ayat Illahi yang ternarasikan dalam Alquran.

Niat Ingsun Poso merefleksikan ujaran perjanjian yang sangat kontraktual dalam bingkai menjalankan ajaran-Nya bagi umat yang menyadari bahwa puasa memang harus digerakkan dari niat selaku fundamen keabsahannya.

Kata ingsun berkelindan dalam titik-titik ruhani untuk memaujudkan diri ini dalam telungkup kuasa Allah swt. Hamba mengerdilkan diri di haribaan-Mu yang hanya dapat dinalar dari kelambu semesta yang tengah terbentang. Betapa agung dan dahsyatnya kuasa-Nya dan manusia dengan puasa “mengikuti rute Illahiyah”. Beribadahlah, berpuasalah tanpa berpikir tentang bonus, melainkan hanya atas nama keimanan.

Baca Juga: ​Buzzer, Radikalis Kristen vs Radikalis Islam

Inilah segmen harian selama setahun yang “dikurikulumkan” khusus untuk manusia beriman melalui mekanisme penyambutan bulan Ramadhan yang penuh suka cita. Berpuasa berarti menahan diri terhadap segala hal, bukan sekadar makan minum, haus dan dahaga, tetapi “mepes rogo njelentreh sukmo”, menahan nafsu untuk nendapatkan jalan kesempurnaan. Berpuasa itu ber-“ihdinashshiratal mustaqim”.

Berpuasa itu “bersahutan” dengan “rotasi penyadaran diri” yang hanya diutamakanbagi penjelajah yang tahu posisi. Mari terus menerus belajar berpuasa dari setiap “daun yang melambai”, sebelum puasa diubah selaksa guguran bungasaat “saur tengah malam”. Sampai di sini saya belum berkenan ngudoroso soal kecurangan pemilu yang semakin dahsyat terpanggungkan karena saya menyadarinya: Inni-shooimun – Ana Shooimun. SELAMAT BERAMADHAN.

*Dr. H. Suparto Wijoyo, Coordinator of Law and Development Master Program Post Graduate School Universitas Airlangga, Sekretaris Badan Pertimbangan Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Ketua Pusat Kajian Mitra Otonomi Daerah Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Pengasuh Pondok Pesantren Darul Hikmah Lamongan.

Baca Juga: Kiai Manteb “Dalang Setan”, Ki Kanko “Setan Besar”

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO