Sumamburat: Puasa Pembuka Hidayah?

Sumamburat: Puasa Pembuka Hidayah? Suparto Wijoyo

Oleh: Suparto Wijoyo*

RAMADHAN memang penuh segalanya secara apik, termasuk berderet karunia dengan segenap undangan berbuka puasa secara bersama-sama. Ini sangat fenomenal bagi saya yang sejak semula berpuasa bukan untuk meminimalisir perbelanjaan, tetapi memaksimalisir kemampuan agar dapat loman sedekah sebanyak-banyaknya, sehingga segala kebutuhan ramadhan bersinggungan dengan “berbuka secara total melalui agenda berbagi untuk sesama”.

Baca Juga: Pengkhianat, Waktumu Sudah Habis

Hari ini tidak ada yang kekurangan makanan asal mau sobo masjid ataupun mushalla. Takjil gratis di mana-mana tempat, lorong kampung ataupun perkantoran. Belum lagi areal perbankan, semua menyediakan takjil yang mengundang kerumunan orang untuk berbuka. Ini sangat fenomenal, sesuatu banget dan saya bersyukur atas itu semua yang menggambarkan ada gairah di lubuk umat tentang makna kebersamaan guna merasakan indahnya ramadhan sebagai peribadatan yang menjadi areal festival amal yang amat kolosal ini.

Tentu, setiap fenomena bukanlah ketunggalan yang tidak terjamah. Apa yang ada tidak imun dari perspektif yang menghentakkan daya pikir untuk meningkatkan iman. Sepercik air dapat menggumpalkan keterpanggilan akan hadirnya perubahan. Islam adalah semesta yang meneguh dengan akal-pikir yang jujur serta berkewarasan. Agama ini berkembang karena masuk akal. Apabila ada yang belum mampu menjangkau pesan paripurnanya, janganlah tergesa-gesa mengatakan ada yang irrasional dalam iman Islam. Bacalah segenap karya cipta-Nya dengan mengatasnamakan Rabbnya, maka keajaiban-keajaiban Islam kian menyerta. Agama ini sungguh sempurna memberikan panduan kepada manusia sejak dari kandungan hingga di titian berbela tujuh menuju surga.

Islam mengajarkan bersesuci. Urusan masuk WC (apalagi menata negeri) diberi perangkat normatif yang aduhai. Kalaulah sekadar untuk beristinjak, gunakan air yang bersih, kodrati maupun artifisial, tetapi untuk berwudhu, gunakanlah air yang suci lagi menyucikan, bukan sekadar air yang bersih. Al-Imam Abul Hamid Al-Ghazali dalam kitab agungnya Ihya Ulum Al-Din secara khusus membahas aspek ini: Al-Thaharah. Tahulah semua umat tentang buka induk yang sangat membekas dalam ingatan setiap santri.

Baca Juga: Kejam dan Rakus, Pengusaha Sarang Burung Walet Rampok Rumah Pasangan Mau Kawin

Akhirnya. Kata suci merupakan bentuk yang bukan hanya penyifatan tetapi tindakan yang maujud adanya. Gerakan-gerakan shalat sudah diteliti banyak ilmuwan sebagai gerakan yang tidak sembarangan. Shalat bermakna spiritual sekaligus kesehatan. Gerakan yang kualitasnya melebihi dari gerakan olah raga manapun untuk ukuran ibadah. Intinya, mau sehat, shalatlah.

Belum lagi soal shalat berjamaah dengan kerapian dan kesejajarannya tanpa sekat pangkat-jabatan. Inilah langgam kebersamaan yang berderajat tinggi. Shalat menempatkan manusia dalam jejaring yang sangat egaliter. Tidak ada peribadatan yang sedemikian “demokratis” sebagaimana shalat. Dari kisah melihat orang shalat berjamaah dan kemudian “buang angin” tanpa sengaja, si pembuang angin itu langsung menghentikan shalatnya untuk segera mengambil wudhu menyucikan dirinya. Padahal “kentut” itu tadi tidak ada manusia yang tahu. Tetapi pejalan shalat menyadari bahwa shalat dalam kondisi “mensyukuri kentut” itu memang batal.

Ia benar-benar tahu diri bahwa untuk beraudiens dengan Allah yang Maha Suci itu, seorang hamba diperelokkan kesuciannya. Kejujuran dalam penyelenggaraan shalat adalah mutlak adanya. Dan atas frakmen faktual inilah,banyak orang terpanggil mendapatkan hidayah menjadi mualaf. Berislam.

Baca Juga: Angka Vaksinasi: Jakarta 120 Persen, Surabaya 89,24 Persen, Jatim Kalahkan Jateng dan Jabar

Agenda shalat jumat berjamaah pun telah pula “menyapa hati orang” untuk berislam. Beberapa hari lalu ada saudara sesama manusia terpukau dengan “nikmatnya suasana berbuka puasa”. Keindahan puasa dan “sakralnya waktu menjelang berbuka” di helatan Ramadhan ternyata menyentuh nurani terdalam seseorang untuk menjadi muslim. Suasana berbuka selaksa “gumparan indah” yang terkurikulumkan oleh Islam. Hikmat sekali katanya. Inilah agama yang ajaran-ajarannya memikat siapa saja yang berkenan menjemput hidayah, bukan yang menampik petunjuk, apalagi curiga dan gagap menyadari untuk selanjutnya hengkang sambil mencibir “Islam itu sarang teroris”.

Saya percaya, semakin Islam diolok dengan “kebenciannya” yang terus disulam dalam hatinya, berjuta muslim akan menghadirkan bukti betapa mempesonanya agama yang direstui Allah swt ini. Pun saat nulis ini saya membaca Q.S. Al-An’am ayat 125: fa may yuridillaahu ay yahdiyahu yasyroh shodrohuu lil-islaam, wa may yurid ay yudhillahuu yaj’al shodrohuu dhoyyiqon harojang ka’annamaa yashsho’adu fis-samaaa’, kazaalika yaj’alullohur-rijsa ‘alallazina laa yu’minuun. Memang, siapa yang dikehandaki-Nya mendapat hidayah, dadanya akan terbuka menerima Islam, dan barang siapa dikehendaki-Nya tersesat, dadanya terasa sempit nan sesak, seakan-akan dia sedang mendaki ke tanjakan (langit).

Demikianlah Allah menimpakan siksa kepada orang-orang yang tidak beriman. Kini jagalah imanmu dan berikhtiarlah menjemput hidayah selalu sambil berbuka puasa. Dengan hidayah penyelenggara helatan demokrasi dituntun untuk tetap jurdil, apabila tidak, sungguh kemana hidayah hendak dicari. Jujurlah berpemilu. Bersesucilah dalam hidup dengan kesucian menghelat pesta demokrasi jua. Paham. 

Baca Juga: ​Tiga Tipe Ulama Era Jokowi: Oposan, Pragmatis, dan Idealis

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO