​Presiden Rakyat atau Presiden Partai?

​Presiden Rakyat  atau Presiden Partai? Em Mas'ud Adnan. foto: BANGSAONLINE.com

Oleh: Em Mas’ud Adnan

Joko Widodo (Jokowi) sedang menghadapi dilema besar. Pada satu sisi rakyat Indonesia – atau lebih tepatnya sebagian besar bangsa - menuntut sang presiden menerbitkan Perppu karena UU yang diputuskan DPR melemahkan kewenangan komisi anti rusuah itu. Pada sisi lain Jokowi mendapat tekanan para elit partai politik, terutama partai koalisi pendukung Jokowi. Maklum, mereka inilah yang jadi inisiator RUU itu lewat para kadernya di DPR.

Seperti diakui Masinton Pasaribu, politikus PDIP yang anggota Komisi III DPR. Ia terang-terangan menyatakan bahwa dirinyalah yang menjadi pengusul revisi UU bersama rekannya Risa Mariska dari PDIP, Achmad Baidowi (anggota Komisi II dari Fraksi PPP), Ibnu Multazam (anggota Komisi IV dari Fraksi PKB), Saiful Bahri Ruray (anggota Komisi III dari Fraksi Golkar), dan Teuku Taufiqulhadi (anggota Komisi III dari Fraksi NasDem). 

Hanya saja Surya Paloh, ketua umum Partai Nasdem, kini mengaku siap salah jika UU itu bertentangan dengan aspirasi rakyat. Ia tampaknya realistis melihat gelombang penolakan yang semakin besar dari rakyat Indonesia terhadap UU yang jelas melemahkan itu.

Kini Jokowi tinggal memilih, apakah ia presiden rakyat atau presiden partai (koalisi)? Jika presiden rakyat ia harus menebitkan Perppu atau cara lain yang intinya mengubur UU yang mengebiri . Sebaliknya, jika presiden partai ia harus patuh kepada elit partai koalisi dengan mengabaikan aspirasi rakyat.

Apakah elit partai bukan rakyat atau respresentasi rakyat? Bukankah partai punya konstituen yang jumlahnya puluhan juta orang? Benar. Tapi ingat elit partai tak selalu identik dengan konstituen, apalagi DPR. Bahkan dalam realitas politik, aspirasi konstituen – apalagi rakyat – justeru lebih banyak bertentangan dengan prilaku elit partai.

Sejarah mencatat, sejak Orde Baru, parpol – terutama para pimpinannya - tak selalu identik konstituen, apalagi rakyat. Rata-rata parpol gagal – atau enggan - mengagregasi dan mengartikulasikan kepentingan rakyat. Jangankan kepentingan rakyat, mengagregasi dan mengartikulasikan kepentingan para pengurus parpol sendiri – terutama pengurus pada level di bawah pimpinan pusat – rata-rata tak mampu. Prilaku para elit parpol – terutama di tingkat pusat –sangat oligarkis, tidak demokratis.

Fenomena politik oligarkis itu kian kentara pada 15 tahun terakhir. Indikatornya bisa kita lihat pada budaya politik pengambilan keputusan di internal parpol itu sendiri. Yang paling gampang diamati adalah mekanisme atau prosedur pemilihan ketua parpol tingkat provinsi, kota, kabupaten dan tingkat dibawahnya. Jika 15 tahun lalu ketua parpol tingkat propinsi (dewan pengurus wilayah atau dewan pengurus daerah) dipilih oleh para ketua partai tingkat cabang dan kota,(ketua DPC atau DPD), kini ketua wilayah ditunjuk langsung oleh ketua umum (ketum) Dewan Pengurus Pusat atau Dewan Pimpinan Pusat (DPP).

Jadi tidak ada mekanisme atau prosedur demokratis seperti 15 tahun sebelumnya. Cukup secarik kertas bernama Surat Keputusan (SK) seseorang bisa langsung jadi ketua dewan pengurus wilayah atau ketua dewan pimpinan daerah partai politik. Tak penting, apakah dia punya jiwa kepemimpinan atau tidak, punya kompetensi atau tidak. Yang penting dia memiliki koneksitas politik dengan sang ketua umum, disamping patuh tentunya. Karena itu tak aneh, jika ketua wilayah dan ketua cabang kadang masih kerabat sang ketua umum bahkan kakak-adik, ayah-anak, menantu dan seterusnya.

Lihat juga video 'Presiden Jokowi Unboxing Sirkuit Mandalika, Ini Motor yang Dipakai':


Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO