​Waktu Siang di Negara Tertentu 20 Jam, Bagaimana Cara Puasanya, Boleh Tak Puasa?

​Waktu Siang di Negara Tertentu 20 Jam, Bagaimana Cara Puasanya, Boleh Tak Puasa? KH Afifuddin Muhajir. foto: ist

SURABAYA, BANGSAONLINE.com - Di negara-negara Asia -termasuk Indonesia- umat Islam berpuasa secara normal. Maklum, siklus waktunya normal. Yaitu berkisar 13 jam. Di Malaysia waktu siangnya 13,5 jam. Thailand 14 jam. Sedang di China 16,5 jam. Praktis umat Islam di negara-negara ini berpuasa antara 13 jam hingga 16,5 jam.

Tapi di beberapa Negara Eropa, siklus waktunya sangat ekstrem. Misalnya Spanyol, Prancis, dan Italia. Waktu siangnya sampai 16,5 hingga 18 jam. Bahkan di Negara Norwegia, Greenland, dan Finlandia waktu siangnya mencapai 20 jam.

Lalu bagaimana cara puasanya? Untuk menjelaskan masalah ini, BANGSAONLINE.com mewawancarai ahli fiqh, KH Afifuddin Muhajir yang sehari-harinya wakil pengasuh Pondok Pesantren Salafiyah Syafiiyah Sukorejo Situbondo Jawa Timur.

Kiai Afifuddin yang juga Wakil Rais Syruiah PBNU ini mengakui bahwa yang sering dipermasalahkan adalah puasa kaum muslimin yang hidup di daerah yang waktu siangnya cukup panjang sampai 20 jam.

Apakah mereka boleh tidak puasa? “Tergantung individu-individu. Bagi mereka yang mampu puasa, maka wajib puasa. Tapi bagi mereka yang tak sanggup puasa, tidak wajib puasa,” kata Kiai Afifuddin Muhajir.

"Artinya, pada waktu malam hari semua orang wajib berniat pusa. Tapi pada saat siang tergantung masing-masing orang. Bagi yang mampu berpuasa maka diwajibkan melanjutkan puasa. Tapi bagi yang tak sanggup berpuasa boleh berbuka," katanya.

Kiai Afifuddin Muhajir mengutip Surat Al-Baqarah ayat 184: wa’alalladzina yuthiqunahu fidyatun tho’amu miskinin (Dan wajib bagi orang yang berat melaksanakan puasa membayar fidyah memberi makan orang miskin).

Kiai Afifuddin menjelaskan bahwa sebagian ulama mengatakan bahwa ayat ini mengandung pengertian bahwa orang-orang yang mampu melaksanakan puasa boleh memilih: puasa atau mengganti dengan bayar fidyah. “Tapi ‘pilihan’ yang tertuang dalam ayat ini kemudian di-manshuh, sudah dianulir dengan firman Allah Ta'ala yang lain yaitu: faman syahida minkumus-syahra fal-ayasumhu. Ayat ini mengandung pengertian, tidak ada pilihan lain bagi orang yang hadir dalam bulan Ramadan kecuali harus puasa. Tentu bagi mereka yang mampu,” katanya.

Sebagian ulama lain, kata Kiai Afifuddin Muhajir, berpendapat bahwa dalam ayat waalalladzina yuthiqunahu fidyatun tho’amu miskinin itu ada huruf laa yang dibuang. “Aslinya waalalladzina laa-yuthiqunahu fidyatun tho’amu miskinin. Artinya: Dan wajib bagi orang yang tidak bisa melaksanakan puasa untuk membayar fidyah, memberi makan orang miskin,” kata Kiai Afifuddin Muhajir.

Lalu bagaimana dengan usulan boleh tak puasa tapi bayar fidyah agar bisa terkumpul dana banyak untuk menangani Covid-19? “Silakan pengumpulan dana dilakukan, tapi bukan sebagai fidyah yang menggantikan puasa. Santunan untuk mencukupi kebutuhan kaum papa menjadi tanggungjawab orang-orang kaya. Dan negara harus menjadi fasilitator yang mengayomi,” kata Kiai Afifuddin Muhajir. (MA)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Lihat juga video 'H Muhammad Faiz Abdul Rozzaq, Penulis Kaligrafi Kiswah Ka'bah Asal Pasuruan':


Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO