​In Memoriam Peter A Rohi: Saya Jurnalis Elang, Bukan Emprit

​In Memoriam Peter A Rohi: Saya Jurnalis Elang, Bukan Emprit Peter A Rohi dalam adegan film Jejak-jejak Bung Karno yang disutradarai Hari Nugroho. foto: ist.

Oleh: Hari Nugroho

Jakarta sangat terik saat itu. Angin musim panas menjatuhkan daun-daun kering di jalan dan trotoar. Beberapa daun jatuh juga di teras sebuah hotel di kawasan Senayan, tempat saya dan Pak Peter A. Rohi berdiri menungu jemputan. Kami baru saja bertemu Pak Panda Nababan, sahabat sekaligus atasan Pak Peter saat menjadi wartawan di Sinar Harapan.

Tiba-tiba, entah datang dari mana, belasan wartawan lengkap dengan segala peralatan liputan bergegas masuk lobi hotel. Sejurus kemudian, mereka mengerumuni seseorang untuk diwawancarai. Saya tidak bisa melihat siapa narasumber yang sedang mereka buru. Mereka, para pemburu berita itu, sedang melakukan ‘door stop’. Salah satu jurus andalan untuk bisa bertemu dan mewawancarai narasumber.

Tak ada yang salah dari kejadian itu. Meskipun sangat jarang, selama menjadi jurnalis, saya juga pernah melakukan door stop, meskipun saya kurang suka melakukannya. Persitiwa itu membuat Pak Peter tertawa kecil. “Industri media sekarang ini membuat mereka seperti itu,” ujar Pak Peter tak melepas senyumnya.

Sebenarnya saya tahu arah pembicaraan jurnalis senior ini. Saya sudah hafal jalan pikirannya. Tapi karena mobil jemputan belum datang, saya mencoba mengorek apa yang sedang dipikirkan jurnalis mantan anggota KKO (marinir) ini.

“Industrialisasi media mau tidak mau harus menciptakan wartawan seperti burung Emprit (pipit). Burung Emprit selalu terbang berbondong-bondong. Mencari makan juga bersama-sama. Memang harus ada Emprit, tapi harus ada Elang,” jelas Pak Peter.

Elang, lanjutnya, selalu terbang sendiri. Terbang jauh dan tinggi, matanya tajam menatap ke bawah untuk mencari mangsa. Setelah menemukan mangsa ia akan turun dan mengejar sasarannya hingga dapat. Setelah itu, ia akan kembali ke sarangnya. Elang makan secukupnya.

(Hari Nugroho memegang kamera (kiri). Foto: ist)

Perumpamaan Pak Peter sangat tepat. Mudah saya cerna. “Saya tidak bisa jadi jurnalis burung Emprit. Saya jurnalis Elang. Kita harus jadi Elang,” tambahnya.

Saat itu, kami sedang membuat film penelusuran jejak kehidupan Bung Karno. Tokoh yang sangat dikagumi dan dihormati Pak Peter. Ia memilih berhenti menjadi anggota KKO saat Laksamana TNI Sudomo yang saat itu menjadi Pangkopkamtib memberikan tawaran pensiun dini atau pemberhentian paksa kepada para Marinir. Merasa aneh dengan tawaran itu, Pak Peter memilih berhenti.

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO