​Post Power Syndrome

​Post Power Syndrome Prof. Dr. Rochmat Wahab. foto: ist

Oleh: Prof Dr Rochmat Wahab

Pada hakekatnya manusia bermula dari lahir, tumbuh dan berkembang mencapai puncak, menurun dan berakhir dengan wafat. Inilah sunnatullah, normalnya manusia, walau pada prakteknya ada juga yang dipanggil Allah SWT, sejak lahir, usia anak dan remaja, dewasa, dan di usia senja. Semuanya itu tidak lepas dari taqdir-Nya. Di antara proses kehidupan ini yang menarik adalah tidak semua orang yang turun dari puncak karir memiliki kesiapan yang cukup dan sehat, sehingga menjadi post-power syndrom.

Post-power syndrome adalah gejala yang terjadi yang mana penderita hidup dalam bayang-bayang kebesaran masa lalunya (pangkat, jabatan, kesuksesannya, kecantikannya, ketampanannya, atau hal yang lain), dan seakan-akan tidak bisa menerima realita yang ada saat ini. Pada masa lalu dan sebelumnya mendapatkan posisi yang membanggakan, tetapi saat ini posisi itu lepas dan dalam keadaan yang tidak ada yang dibanggakan. Hidup biasa seperti orang kebanyakan. Namun kadang-kadang tampilannya seperti pada saat berada pada posisi sebelumnya.

Post-power syndromes tidaklah datang tiba-tiba, melainkan disebabkan oleh sejumlah faktor. Yaitu faktor stressor fisik, faktor stressor psikologis, dan faktos usia. Namun yang lebih umum dapat dilihat bahwa penyebab post-power syndromes adalah datangnya usia pensiun, di samping turunnya dari jabatan tertentu.

Walaupun secara luas bisa dimaklumi bahwa orang yang biasanya memiliki aktivitas penting, tiba-tiba berhenti, apakah karena sakit atau dihentikan dari aktivitas, tetapi tidak siap menjadi orang biasa. Memang post-power syndromes itu bisa dari faktor eksternal dan internal. Tetapi yang lebih berat itu faktor internal yang disebabkan oleh ketidaksiapannya menerima kenyataannya.

Kehadiran post-power syndromes itu tidak bisa dilepaskan dari cara pandang terhadap jabatan, pangkat, atau apapun yang membuat berada pada posisi terhormat. Jika posisi ini dianggap sebagai suatu keagungan atau kebesaran atau kehormatan, sehingga bisa dijadikan claim sesuatu untuk bisa disombongkan atau sebagai alasan untuk takabbur, maka sehabis turun dari posisi tersebut cenderung memiliki potensi post-power syndromes.

Namun jika posisi atau jabatan itu sebagai amanah yang harus dipertanggungjawabkan, maka orang itu akan bekerja dengan adil dan selalu melayani, yang pada akhirnya akan siap sekali menjadi orang biasa dan insya Allah terjauhkan dari post-power syndromes. Dengan begitu bahwa post power syndromes itu cenderung diciptakan sendiri.

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO