​75 Tahun Merdeka, Mengingatkan Janji Negara

​75 Tahun Merdeka, Mengingatkan Janji Negara Suparto Wijoyo

Oleh: Suparto Wijoyo --- TEMAN saya amat sibuk. Ya… dia sangat sibuk-sibuk amat di bulan ini. Bulan yang dinisbatkan sebagai Bulan Kemerdekaan. Dia ajak handai taulan dan tetangga memasang bendera dan umbul-umbul merah putih. Kemerdekaan ini harus dirayakan sebagai tanda syukur, bukan penanda hura-hura. Dia kondisikan di kampungnya untuk gerakan nderes Alquran bareng. Arek ndeso ini pun menentukan sikap, sebelum memekikkan kata “merdeka” dilantunkanlah dengan gelora spesial seruan Allahu Akbar. Kemudian doa untuk para pahlawan. Memang situasinya tetap meriah, meski pandemi Covid-19 masih mengganas. Seperti biasanya, di bulan Agustus ini selalu diteriakkan kata merdeka berkali-kali. Sebuah kata yang tingkat popularitasnya tidak tertandingi dan sambil mengepalkan tangan mengucap pula pekik heroik “sekali merdeka tetap merdeka”.

Mengenali Makna Merdeka

Merdeka pada sejarahnya adalah produk panjang ikhtiar pembebasan melalui tahapan perjuangan pergerakan kebangsaan. Tiada pernah ada kemerdekaan tanpa pergerakan rakyat. Soekarno dalam pidatonya di Sidang Pertama BPUPKI, 1 Juni 1945 di bawah wibawa Ketua Sidang KRT Radjiman Wedyodiningrat telah memformulasikan apa yang dinamakan merdeka. Kemerdakaan yang diidamkan oleh Soekarno dan diamini seluruh pendiri negara ini adalah politieke onafhankelijkheid alias political independence atau kemerdekaan politik. Kemerdekaan politik ini secara terminologis diposisikan sebagai jembatan emas yang disebarangnyalah “... kita sempurnakan kita punya masyarakat”. Demikian kata ini teralun lantang dari pidato yang menggelegar dari Sang Proklamator.

Dalam koridor ilmu hukum, proklamasi tersebut merupakan revolusi hukum yang melanggar tatanan hukum kolonial. Proklamasi menjadi tindakan politik tanpa dasar hukum, tetapi menjadi sumber hukum. Tahapan ini merupakan titik simpul yang paling menentukan, lahir dan berkembangnya sebuah negara bangsa (nation state) yang dinamakan Indonesia (NKRI). Dalam hal ini kita sehaluan dengan ungkapan Soekarno bahwa UUD 1945 yang ditetapkan tanggal 18 Agustus 1945 adalah wujud revolutie-grondwet (UUD produk revolusi).

Teringat Tan Malaka

UUD 1945 memberikan basis normatif mengenai fungsi negara untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah. Terhadap hal ini sebagai renungan saya sertakan persaksian Tan Malaka. Pada tanggal 17-24 November 1945, Tan Malaka menyaksikan dahsyatnya peperangan yang revolusioner di Surabaya dalam rangka mempertahankan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Pengamatan itu dituangkan dalam “naskah drama” yang mengemukakan celoteh tangkas rakyat yang diwakili tokoh rekaan bernama: Mr. Apal (mewakili para ilmuwan), Toke (wakil pedagang kelas menengah), Pacul (merepresentasikan nama lugas kaum tani), Denmas (si ningrat yang perlente), dan Godam (representasi kaum buruh).

Merdeka 100% adalah inti perjuangan yang dianggitkan Tan Malaka. Dalam Gerpolek (Gerilya-Politik-Ekonomi), Tan Malaka mengemukakan pikiran yang masih sangat relevan, bahkan nyaris sempurna menggambarkan kondisi sekarang ini. Sekilas dapat dicerna dalam nukilan tematis ini: “... Revolusi Indonesia mau tak mau terpaksa mengambil tindakan ekonomi dan sosial serentak dengan tindakan merebut dan membela kemerdekaan 100%. Revolusi Kemerdekaan Indonesia tidak bisa diselesaikan dengan dibungkus Revolusi Nasional saja. Perang Kemerdekaan Indonesia harus diisi dengan jaminan sosial dan ekonomi sekaligus ... Tetapi jika pemerintah Indonesia kembali dipegang oleh kaki tangan kapitalis asing – walaupun bangsa Indonesia sendiri, dan 100% perusahaan modern berada di tangan kapitalis asing, seperti di zaman Hindia Belanda, maka Revolusi Nasional itu berarti membatalkan Proklamasi dan Kemerdekaan Nasional dan mengembalikan kapitalisme dan imperialisme internasional ... pada tanggal 17 Agustus 1945, rakyat Indonesia sudah menetapkan hendak merdeka dan memutuskan semua macam belenggu yang diikatkan oleh bangsa asing kepadanya ...”.

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO