SURABAYA, BANGSAONLINE com - Rakyat Indonesia sudah lama menunggu karya anak bangsa. Dalam segala bidang. Termasuk vaksin. Agar tak selalu tergantung pada bangsa lain.
Nah, saat semua negara panik karena pandemi Covid-19, lahir vaksin nusantara, karya anak bangsa, di samping vaksin-vaksin lain dari negara lain.
Namun vaksin nusantara yang lahir dari ide dr Terawan itu memantik kontroversi. Bahkan misinformasi. Muncul istilah vaksin seumur hidup. Padahal dr Terawan hanya menyebut awet.
Tulisan Dahlan Iskan kali ini lagi-lagi mencari jalan tengah. Wartawan kawakan yang mantan menteri BUMN itu menjelaskan dua hal penting. Apa saja?
Silakan simak tulisan wartawan cerdas itu di Disway dan HARIAN BANGSA hari ini, Ahad, 28 Februari 2021. Pembaca BANGSAONLINE.com juga bisa menikmati tulisan penting itu di bawah ini. Selamat membaca:
Ilmuwan Universitas Indonesia (UI) ini tidak keberatan dengan Vaksin Nusantara asal itu tidak disebut vaksin. "Vaksin itu punya definisinya sendiri," ujar Prof Dr Tri Yunis Miko Wahyono, ahli epidemiologi dari UI tersebut.
Beliau jadi pembicara seminar Zoom yang membahas Vaksin Nusantara kemarin. Penyelenggara forum itu para wartawan yang tergabung dalam Beranda Ruang Diskusi.
"Kalau disebut terapi saya tidak keberatan. Asal tidak disebut vaksin," ujar Prof Tri. Beliau meraih S-1 dan S-2 di UI –mengambil ilmu kesehatan masyarakat. Lalu meneruskan S-3 di Filipina di bidang epidemiologi.
Berarti sebenarnya praktik melahirkan imunitas lewat sel dendritic bisa diterima. Seperti yang terjadi di Vaksin Nusantara itu: sel dendritic diambil dari tubuh kita masing-masing. Caranya: darah kita diambil sebanyak 40 cc. Darah itu diberi serum tertentu. Lahirlah imunitas. Lalu darah yang sudah mengandung imunitas itu dimasukkan kembali ke tubuh kita.
Di dalam tubuh kita, sel dendritic yang sudah punya anti virus Covid-19 itu berfungsi jadi guru. Mereka mendidik sel darah kita lainnya bagaimana cara memproduksi anti virus Covid-19.
"Itu ok. Tapi yang seperti itu tidak memenuhi definisi vaksin," ujar Prof Tri.
Saya, yang juga jadi pembicara di forum itu, lantas merasa lega. Ternyata persoalannya pada definisi. Bukan pada bisa atau tidak. Juga bukan pada efektif atau tidaknya metode melahirkan imunitas lewat sel dendritic itu.
Sebagai orang yang pernah belajar ilmu mantiq dan ushul fiqh saya pun berpikir: bisakah definisi itu diubah? Bukankah yang membuat definisi juga manusia?
Atau, kalau sulit mengubah definisi, mengapa tidak Vaksin Nusantara saja yang berubah? Misalnya –kata saya di forum itu– diubah dari Vaksin Nusantara menjadi Vaksinta Nusantara? "Ta" di situ bisa diartikan Terawan. Atau Cinta. Terserah saja. Yang penting metode membuat imunitas lewat sel dendritic itu bisa diterima.
Bukankah yang penting hasilnya?
Tentu juga tidak mudah menerima istilah Vaksinta Nusantara. Misalnya, berarti pemerintah harus punya dua macam program pencegahan Covid-19: lewat vaksinasi dan vaksintanisasi.