Gara-gara Tiongkok, Kapal Dibeli Rp 37 Miliar untuk Dihancurkan

Gara-gara Tiongkok, Kapal Dibeli Rp 37 Miliar untuk Dihancurkan Dahlan Iskan

SURABAYA, BANGSAONLINE.comPandemi Covid-19 benar-benar melumpuhkan . Akibatnya, satu per satu dihancurkan. Padahal harga kapal mewah itu bisa mencapai ratusan miliar rupiah. Tapi pada sisi lain, harga besi tua meroket luar biasa.

Loh, apa hubungannya antara kapal-kapal mewah itu dengan harga baja dan Tiongkok? Simak tulisan Dahlan Iskan, wartawan terkemuka itu, di HARIAN BANGSA, dan BANGSAONLINE.com hari ini, Kamis 20 Mei 2021. Selamat membaca:

Baca Juga: Pemilu Dungu, Pengusaha Wait and See, Ekonomi Tak Menentu


KAPAL- yang mewah itu terlihat lagi antre di pinggir laut. Untuk dihancurkan. Dijadikan besi tua.

Orang seperti saya bisa menitikkan air liur. Atau air mata. Kapal yang begitu mahal dan indah harus dihancurkan.

Baca Juga: Tiongkok Banjir Mobil Listrik

Tapi itulah bisnis. Perhitungan untung-rugi lebih dipentingkan.

Memang sayang sekali. Tapi pengusaha tidak boleh terlalu terbawa perasaan romantisme. Atau emosional.

Para pemilik kapal itu harus lebih tergiur oleh hitungan bisnis daripada emosi.

Baca Juga: Hati Rakyat Sulit Dibeli, Partai Penguasa Gagal Menang

Pertama, kapal itu bisa saja tetap dioperasikan. Yakni mengangkut turis kelas atas ke mana saja. Tapi turis lagi lenyap dari muka bumi. Ditelan Covid. Kapal menganggur berbulan-bulan. Bahkan sudah lebih satu tahun.

Bunga pinjaman jalan terus. Biaya perawatan, sandar, dan awak kapal tidak bisa dihentikan. Sedang pendapatannya nol besar. Rugi besar. Terus-menerus.

Baca Juga: Anak Muda Israel Full Stress

Kedua, lebih baik kapal itu dijual. Hanya saja, di masa seperti ini, tidak ada orang yang mau beli .

Ups... yang mau membeli kapal ternyata ada. Bukan untuk dijalankan. Tapi untuk dihancurkan. Dijadikan besi tua. Besinya dijual ke pabrik baja.

Setelah dihitung dengan kepala yang dingin ternyata itu lebih menguntungkan.

Baca Juga: Doni Monardo Bekerja Habis-habisan

Dan ternyata itu tidak hanya terjadi di . Teman saya, di Indonesia, juga baru saja menjual kapal. Harga jualnya bagus sekali. Panjang kapalnya 200 meter. Cukup besar.

Enam bulan lalu ada pembeli kapal yang berminat. Untuk dipergunakan mengangkut hasil tambang. Penawarannya pun cukup baik: Rp 30 miliar.

Hampir saja teman saya itu melepaskannya. Tapi ia harus memperbaiki dulu kapalnya. Buatan Jepang. Tahun 2000. Baru berumur 20 tahun.

Baca Juga: Masjid Tertua di China Tak Ditempati Salat, Kenapa? Laporan M Mas'ud Adnan dari Tiongkok (3)

Awal bulan Mei lalu tiba-tiba ada orang mencari kapal. Teman saya itu menawarkan kapalnya. Langsung direspons. Pembeli itu mau dengan harga Rp 37 miliar.

Yang bikin kaget: pembeli berterus terang. Kapal itu akan dihancurkan. Dijadikan besi tua. Dijual ke pabrik baja.

Teman saya itu hampir menangis. Kapal yang ia sayangi itu akan dihancurkan begitu saja. Padahal kapal itu masih bagus. Dan lagi, untuk apa kapal itu ia perbaiki. Yang memakan biaya Rp 2 miliar. Toh akhirnya hanya akan dihancurkan.

Baca Juga: Teater Kolosal Impresi Teh Menakjubkan, Untung 1 Yuan Dapat 1 Miliar, Laporan dari Tiongkok (2)

Tapi hitung-hitungan bisnis tetap yang utama. Kalau bisa mendapat untung dengan cara menghancurkannya mengapa harus memeliharanya.

Akhirnya kapal itu dijual. Lima hari kemudian teman saya itu dikirimi foto oleh pembelinya. Kapalnya sudah ''duduk manis'' di sebuah dok. Siap digergaji –dengan gergaji las. Dihancurkan.

Hampir saja teman saya itu menjual pula kapalnya yang lebih besar lagi. Tapi ia masih terikat kontrak jangka panjang.

Baca Juga: CEO BANGSAONLINE Dicegat Pramugari dan Petugas Imigrasi di Bandara Fuzhou, Laporan dari Tiongkok

Maka ketika saya melihat video yang lagi beredar sekarang –kapal- yang antre untuk dihancurkan– saya tahu apa yang terjadi di balik itu. Kapal-kapal mewah tersebut lebih menghasilkan uang ketika dijadikan besi tua. Daripada dijalankannya.

Itulah dunia bisnis. Orang bikin kapal dari besi. Besi dibuat dari besi tua. Kini orang menghancurkan kapal. Untuk dijadikan besi tua.

Harga besi tua memang lagi mahal sekarang ini.

Penyebabnya adalah –siapa lagi kalau bukan– Tiongkok.

Anda sudah tahu: Tiongkok lagi marah ke Australia. Yang dinilai ikut campur urusan dalam negeri Tiongkok.

Sejak 2020 lalu Tiongkok tidak mau lagi membeli bijih besi dari Australia. Juga tidak mau membeli batu baranya. Padahal bijih besi dan batu bara adalah andalan ekspor Australia.

Akibatnya, pabrik-pabrik baja di Tiongkok kekurangan bahan baku. Tiongkok pun menyadari itu. Maka Tiongkok mengubah kebijakannya yang satu ini: tidak lagi melarang impor besi tua.

Sudah tiga tahun Tiongkok melarang impor sampah. Sampah apa pun. Termasuk kertas bekas dan besi tua.

Tiongkok akhirnya mengizinkan impor besi tua –setelah menghukum Australia tadi. Maka besi tua dari belahan dunia mana pun mengalir ke Tiongkok.

Sebagai ikutannya, harga besi di pasaran ikut naik. Para kontraktor sekarang ini pusing sekali. Pusing akibat Covid belum reda ditambah pusing akibat harga besi yang naik drastis.

Padahal para kontraktor itu, ketika menandatangani kontrak, masih pakai perhitungan harga besi yang lama.

"Bulan ini saja harga besi naik dua kali," ujar seorang kontraktor. Kenaikan harga besi itu mencapai hampir 50 persen. Dari Rp 13.000 ke Rp 18.500/kg. Untuk WF 600.

Pedagang besi juga bingung. Terutama mereka yang impor besi dari Tiongkok. "Pernah dalam satu hari harga besi berubah dua kali," ujar teman saya, seorang pedagang besi.

Pabrik baja sulit. Pedagang baja sulit. Kontraktor sulit. Satu-satunya yang untung adalah mereka yang selama ini menimbun besi.

Harga aluminium pun ikut naik. Sebesar 20 persen. Berarti usaha pemulihan ekonomi di sektor bangunan menghadapi kendala baru yang sangat besar. Akan banyak orang yang menunda proyek. Harus menunggu harga-harga stabil. Pabrik semen pun akan ikut terpukul. Terutama juga para tukang las dan buruh bangunan.

Maka jagalah pintu pagar Anda. Siapa tahu malam-malam mendadak hilang. Dikilokan orang. (*)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO