​Ketika para Mualaf Merasa Lebih Pintar Agama daripada Ulama

​Ketika para Mualaf Merasa Lebih Pintar Agama daripada Ulama M Mas'ud Adnan. foto: bangsaonline.com

Yahya Waloni memang pendukung Habib Riziq Shihab. Dalam kasus Ahok, Habib Riziq menjadi saksi yang memberatkan Ahok. Sedang Qurasy Shihab menjadi saksi yang meringankan Ahok.

Tapi pantaskah kita mendoakan besar, hafal al-Quran dan bahkan mufassir al-Quran, cepat mati hanya karena perbedaan pendapat?

Saya sendiri berbeda pendapat dengan Quraisy Shihab dalam kasus Ahok. Semula saya mengapresiasi Ahok karena tegas. Apresiasi saya itu saya tulis dalam rubrik opini di Jawa Pos. Tapi ketika tahu sepak terjang Ahok saat jadi Gubernur DKI Jakarta saya mulai kritis. Jadi saya obyektif saja.

Ternyata Ahok – setidaknya menurut pendapat saya kemudian - bukanlah tokoh Tionghoa yang plural dan negarawan seperti Kwik Kian Gie, Arif Budiman, dan tokoh Tionghoa yang punya integritas.  Ahok justru tokoh Tionghoa sektarian dan primordialistik yang lebih banyak mementingkan kelompoknya.

Faktanya banyak sekali pejabat Islam digeser dari jabatan strategis diganti pejabat seagama dengan dia saat menjadi Gubernur DKI Jakarta. Termasuk direktur utama sebuah Rumah Sakit di Jakarta. Belum lagi kasus-kasus yang merundungnya seperti kasus RS Sumber Waras.

Alhasil, Ahok bukanlah tokoh plural dan negarawan seperti yang saya duga pada awalnya atau seperti yang dicitrakan para pendukungnya, terutama para buzzer. Apalagi komunikasi politik Ahok sangat buruk. Selalu bikin gaduh dengan pernyataan-pernyataan kontroversial yang sering tidak substansial.

Tapi apakah gara-gara perbedaan pandangan soal Ahok lalu saya harus kurang ajar kepada sekaliber Quraish Shihab? Bukankah itu penerang dunia? Sementara orang sekelas saya hanyalah debu tak berarti di antara pasir yang menghampar luas.

Apalagi Quraish Shihab adalah profesor doktor bidang Ilmu Tafsir, hafal al-Quran, lulusan Universitas Al-Azhar Mesir, mantan Rektor IAIN Jakarta dan Menteri Agama? Tidakkah dunia semakin gelap jika banyak yang wafat? Sudahkan sedemikian gelap dan membatukah hati kita sehingga tega mendoakan mati seorang berilmu luas yang diakui masyarakat secara nasional?

Atau pertanyaan ekstrem, lebih bermanfaat mana kepada umat antara Yahya Waloni dan Quraish Shihab? Lebih dalam dan luas mana ilmu Yahya Waloni dan ilmu Qurasy Shihab?

Apalagi Qurasy Shibab juga keturunan Rasulullah SAW. Seperti Habib Riziq Shihab. Hanya saja Qurasy Shihab tak mau dipanggil Habib. Sebaliknya, pendukung Habib Riziq marah besar karena Menkopolhukam Mahfud MD tak memanggil habib saat konfrensi pers. Bahkan Mahfud MD sempat diancam bunuh gara-gara tak memanggil Habib kepada Habib Riziq. Dan seperti kita tahu, si pengancam itu kemudian ditangkap Polda Jawa Timur sehingga ia lalu minta maaf.

Nah dari sudut ini saja sudah sangat menarik. Kita perlu bertanya, kenapa Qurasy Shihab tak mau dipanggil Habib? Bukankah kakeknya adalah Habib Ali bin Abdurrahman Shihab, berasal dari Hadhramaut. Yang merupakan kerabat Nabi Muhammad (Bani Hasyim), terutama jika dinisbatkan pada keturunan Nabi Muhammad melalui Fatimah az-Zahra yang menikah dengan Ali bin Abi Thalib.

Habib berasal dari akar arti cinta. Yang berarti ‘Yang mencintai’, atau bisa juga ‘Yang dicintai’. Namun makna Habib berkembang menjadi teladan, orang berakhlak, orang baik berpengetahuan, dan punya nasab dengan Rasulullah.

Nah, Quraisy Shihab tak mau dipanggil Habib karena merasa belum bisa mempraktikkan akhlak Rasulullah SAW. Suatu sikap tawaddlu' (rendah hati) dan terpuji yang sulit dicari pada habib-habib yang ada sekarang.

Hebatnya lagi, ternyata bukan hanya Qurasy Shihab yang tak mau dipanggil Habib. Saudara Quraish Shihab yang lain juga sama. Saya pernah ngobrol lama dengan Alwi Shihab, saudara Quraish Shihab. Menteri Luar Negeri era Presiden Gus Dur itu juga menolak dipanggil Habib karena merasa belum bisa mempraktikkan akhlak seperti akhlak Rasulullah SAW.

Nah, orang seperti Yahya Waloni – maaf – tampaknya belum bisa menangkap atmosfir atau maqam akhlaqul karimah. Terutama karena tingkat keislamannya baru tahap awal. Tahap raja’ (berharap surga) dan khauf (takut neraka) dalam pengertian syariat dasar, belum sampai pada tingkat tasawuf yang fundamental. Yaitu taslim atau pasrah. Bahkan bisa jadi masih dalam beragama tahap nafsu, bukan berdasarkan ilmu. 

Karena itu ia belum bisa menangkap hakikat Hadits Nabi Muhammad, Innama buistu liutammima makarimal akhlaq. “Saya (Nabi Muhammad) diutus ke dunia ini untuk menyempurnakan akhlak”. Atau Hadits lain Man lam yarham syaghirana falaisa minna wa man lam yarham kabirana falaisa minna. “Barang siapa yang tidak menyayangi yang lebih muda maka ia bukan golongan saya, dan siapa yang tidak menyayangi atau menghormati yang lebih tua ia bukanlah golongan saya.”

Mari beragama dengan benar, berlandaskan ilmu, bukan nafsu. Wallahu a’lam bisshawab.

Penulis alumnus Pesantren Tebuireng, Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi-Almamater Wartawan Surabaya (Stikosa-AWS) dan Pascasarjana Universitas Airlangga (Unair). 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO