​Ketika para Mualaf Merasa Lebih Pintar Agama daripada Ulama

​Ketika para Mualaf Merasa Lebih Pintar Agama daripada Ulama M Mas'ud Adnan. foto: bangsaonline.com

Oleh: M Mas’ud Adnan - Saya ingat ketika sekolah madrasah di kampung. Nama sekolah saya Madrasah Miftahul Choir. Di Desa Patemon, Kecamatan Tanah Merah. Kabupaten Bangkalan Madura.

Ustadz Tasik, guru saya, selalu mengingatkan tentang dua kerusakan di muka bumi.

“Ada dua kerusakan di muka bumi ini,” kata Ustadz Tasik yang kini sudah almarhum.

“Pertama, orang bodoh yang tak mengerti kebodohannya (tak menyadari bahwa ia bodoh). Kedua, orang pintar (berilmu) tapi tak mau mengamalkan ilmunya,” katanya.

Ajaran itu sangat melekat dalam benak saya. Dan sekarang saya mulai melihat fenomena itu. Banyak sekali para yang tiba-tiba merasa lebih paham agama ketimbang yang sebenarnya. Ironisnya, mereka tanpa rasa malu berani mencaci yang alim allamah.

Padahal kualitas dan kapasitas keilmuan mereka sama sekali tak sebanding. Jangankan dari segi ilmu agama, baca al-Quran saja banyak di antara mereka yang masih blepotan. Tapi mereka sudah merasa sangat pintar agama, berani menyalahkan orang lain, termasuk . Terutama yang tak sepaham atau beda paham keagamaan.

Memang salah satu “penyakit hati” orang baru belajar agama adalah sok pintar, sok suci, dan sok paling benar. Terutama mereka yang “salah guru” atau “salah ustadz”. Yaitu yang diasuh ustadz parsial, tak punya pemahaman agama yang utuh dan komprehensif serta sanad ilmu yang jelas.

Ustadz parsial biasanya menganut paham penunggalan pendapat, otoriter, dan sibuk menyalahkan paham agama kelompok lain yang tak sealiran. Celakanya, ia menganggap dirinya paling benar. Padahal semua besar tak pernah memutlakkan kebenaran pendapat. 

Alhasil, pemahaman keagamaan ustadz parsial seperti kaca mata kuda, tak membuka khasanah keilmuan yang luas. Akibatnya muncul eksklusif, sok pintar, dan merasa paling benar sendiri seperti katak dalam tempurung.

Masih ingat artis Five Vi yang baru hijrah? Ia pernah menyerang masyarakat yang suka merayakan hari lahir Nabi Muhammad atau Maulid Nabi. Tak tanggung-tanggung. Dengan memposting video ceramah gurunya, Ustadz Sufyan Baswedan, artis yang sebelumnya dikenal selalu tampil seksi itu menulis soal pandangan maulid dari 4 mazhab.

“Jika kita menelusuri dalam kitab tarikh (sejarah), perayaan Maulid Nabi tidak kita temukan pada masa sahabat, tabi’in, tabi’ut tabi’in, dan empat Imam Madzhab (Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad), padahal mereka adalah orang-orang yang sangat cinta dan mengagungkan Nabinya shallallahu ‘alaihi wa sallam.” tulis Five Vi di instagramnya.

Postingan artis Five Vi itu ditanggapi KH Afifuddin Muhajir, ahli ushul fiqh di BANGSAONLINE.com, (26/10/2020). Kiai Afifuddin adalah Wakil Pengasuh Pondok Pesantren Salafiyah Syafiiyah Sukorejo Situbondo Jawa Timur. Ia juga dikenal sebagai pengarang sejumlah kitab, di antaranya Fathu al-Mujib al-Qorib. Jadi otoritas keilmuannya tak perlu diragukan.

Menurut Kiai Afifuddin, perayaan Maulid itu terdiri dari lima acara. Setidaknya, itulah yang selama ini berkembang dalam masyarakat.

Pertama, pembacaan beberapa ayat suci al-Qur'an. Kedua, pembacaan shalawat Nabi. Ketiga, pembacaan sirah (sejarah) Nabi. Keempat, penyampaian mau'idhah hasanah (pesan-pesan yang baik). Kelima, sedekah buah-buahan, makanan, minuman, dan lain-lain.

Lalu poin mana yang yang bertentangan dengan ajaran Islam? “Orang Islam yang masih normal pasti tahu bahwa hal-hal tersebut tidak dilarang dalam Islam. Bahkan sangat dianjurkan dengan anjuran yang sifatnya mutlak, yakni tidak dikaitkan dengan waktu dan tempat. Artinya, hal-hal tersebut bisa dilakukan di mana saja dan kapan saja, tak terkecuali pada bulan Rabi'ul awwal,” kata KH Afifuddin Muhajir

Mualaf lain yang kontroversial adalah Felix Siauw. Etnis Tionghoa yang pro khilafah itu popular sebagai ustadz. Ia juga gencar ceramah di mana-mana. Bahkan pernah debat dengan tokoh agama di TV.

Tapi bacaan al-Qurannya pernah dikoreksi Ahmad Ishomuddin dari PBNU. “Belajar dulu baca Alquran dengan benar kepada para ahlinya sebelum nenjadi ustaz,” tulis Ahmad Ishomuddin di akun Facebooknya berjudul Sebuah Catatan Untuk Felix Siauw.

Yang terbaru adalah kasus Yahya Waloni, seorang yang kini menjadi ustadz. Ia mendoakan Qurasy Shihab, alim dan ahli tafsir, agar cepat mati gara-gara menjadi saksi dalam kasus Ahok.

Yahya Waloni memang pendukung Habib Riziq Shihab. Dalam kasus Ahok, Habib Riziq menjadi saksi yang memberatkan Ahok. Sedang Qurasy Shihab menjadi saksi yang meringankan Ahok.

Tapi pantaskah kita mendoakan besar, hafal al-Quran dan bahkan mufassir al-Quran, cepat mati hanya karena perbedaan pendapat?

Saya sendiri berbeda pendapat dengan Quraisy Shihab dalam kasus Ahok. Semula saya mengapresiasi Ahok karena tegas. Apresiasi saya itu saya tulis dalam rubrik opini di Jawa Pos. Tapi ketika tahu sepak terjang Ahok saat jadi Gubernur DKI Jakarta saya mulai kritis. Jadi saya obyektif saja.

Ternyata Ahok – setidaknya menurut pendapat saya kemudian - bukanlah tokoh Tionghoa yang plural dan negarawan seperti Kwik Kian Gie, Arif Budiman, dan tokoh Tionghoa yang punya integritas.  Ahok justru tokoh Tionghoa sektarian dan primordialistik yang lebih banyak mementingkan kelompoknya.

Faktanya banyak sekali pejabat Islam digeser dari jabatan strategis diganti pejabat seagama dengan dia saat menjadi Gubernur DKI Jakarta. Termasuk direktur utama sebuah Rumah Sakit di Jakarta. Belum lagi kasus-kasus yang merundungnya seperti kasus RS Sumber Waras.

Alhasil, Ahok bukanlah tokoh plural dan negarawan seperti yang saya duga pada awalnya atau seperti yang dicitrakan para pendukungnya, terutama para buzzer. Apalagi komunikasi politik Ahok sangat buruk. Selalu bikin gaduh dengan pernyataan-pernyataan kontroversial yang sering tidak substansial.

Tapi apakah gara-gara perbedaan pandangan soal Ahok lalu saya harus kurang ajar kepada sekaliber Quraish Shihab? Bukankah itu penerang dunia? Sementara orang sekelas saya hanyalah debu tak berarti di antara pasir yang menghampar luas.

Apalagi Quraish Shihab adalah profesor doktor bidang Ilmu Tafsir, hafal al-Quran, lulusan Universitas Al-Azhar Mesir, mantan Rektor IAIN Jakarta dan Menteri Agama? Tidakkah dunia semakin gelap jika banyak yang wafat? Sudahkan sedemikian gelap dan membatukah hati kita sehingga tega mendoakan mati seorang berilmu luas yang diakui masyarakat secara nasional?

Atau pertanyaan ekstrem, lebih bermanfaat mana kepada umat antara Yahya Waloni dan Quraish Shihab? Lebih dalam dan luas mana ilmu Yahya Waloni dan ilmu Qurasy Shihab?

Apalagi Qurasy Shibab juga keturunan Rasulullah SAW. Seperti Habib Riziq Shihab. Hanya saja Qurasy Shihab tak mau dipanggil Habib. Sebaliknya, pendukung Habib Riziq marah besar karena Menkopolhukam Mahfud MD tak memanggil habib saat konfrensi pers. Bahkan Mahfud MD sempat diancam bunuh gara-gara tak memanggil Habib kepada Habib Riziq. Dan seperti kita tahu, si pengancam itu kemudian ditangkap Polda Jawa Timur sehingga ia lalu minta maaf.

Nah dari sudut ini saja sudah sangat menarik. Kita perlu bertanya, kenapa Qurasy Shihab tak mau dipanggil Habib? Bukankah kakeknya adalah Habib Ali bin Abdurrahman Shihab, berasal dari Hadhramaut. Yang merupakan kerabat Nabi Muhammad (Bani Hasyim), terutama jika dinisbatkan pada keturunan Nabi Muhammad melalui Fatimah az-Zahra yang menikah dengan Ali bin Abi Thalib.

Habib berasal dari akar arti cinta. Yang berarti ‘Yang mencintai’, atau bisa juga ‘Yang dicintai’. Namun makna Habib berkembang menjadi teladan, orang berakhlak, orang baik berpengetahuan, dan punya nasab dengan Rasulullah.

Nah, Quraisy Shihab tak mau dipanggil Habib karena merasa belum bisa mempraktikkan akhlak Rasulullah SAW. Suatu sikap tawaddlu' (rendah hati) dan terpuji yang sulit dicari pada habib-habib yang ada sekarang.

Hebatnya lagi, ternyata bukan hanya Qurasy Shihab yang tak mau dipanggil Habib. Saudara Quraish Shihab yang lain juga sama. Saya pernah ngobrol lama dengan Alwi Shihab, saudara Quraish Shihab. Menteri Luar Negeri era Presiden Gus Dur itu juga menolak dipanggil Habib karena merasa belum bisa mempraktikkan akhlak seperti akhlak Rasulullah SAW.

Nah, orang seperti Yahya Waloni – maaf – tampaknya belum bisa menangkap atmosfir atau maqam akhlaqul karimah. Terutama karena tingkat keislamannya baru tahap awal. Tahap raja’ (berharap surga) dan khauf (takut neraka) dalam pengertian syariat dasar, belum sampai pada tingkat tasawuf yang fundamental. Yaitu taslim atau pasrah. Bahkan bisa jadi masih dalam beragama tahap nafsu, bukan berdasarkan ilmu. 

Karena itu ia belum bisa menangkap hakikat Hadits Nabi Muhammad, Innama buistu liutammima makarimal akhlaq. “Saya (Nabi Muhammad) diutus ke dunia ini untuk menyempurnakan akhlak”. Atau Hadits lain Man lam yarham syaghirana falaisa minna wa man lam yarham kabirana falaisa minna. “Barang siapa yang tidak menyayangi yang lebih muda maka ia bukan golongan saya, dan siapa yang tidak menyayangi atau menghormati yang lebih tua ia bukanlah golongan saya.”

Mari beragama dengan benar, berlandaskan ilmu, bukan nafsu. Wallahu a’lam bisshawab.

Penulis alumnus Pesantren Tebuireng, Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi-Almamater Wartawan Surabaya (Stikosa-AWS) dan Pascasarjana Universitas Airlangga (Unair). 

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO