​Tubi Burek, Istri Pilih Mati, Ayah Gantung Diri: Cara Dahlan Iskan Asah Kepekaan Sosial?

​Tubi Burek, Istri Pilih Mati, Ayah Gantung Diri: Cara Dahlan Iskan Asah Kepekaan Sosial? Dahlan Iskan

SURABAYA, BANGSAONLINE.com Wartawan kondang, Dahlan Iskan, tak hanya menulis orang hebat dan pejabat. Pengusaha media sukses itu kini menulis seorang . Yang hidupnya getir,  banyak penderitaan. Sangat menyentuh. Tapi benarkah Dahlan Iskan ingin mengasah kepekaan sosial pembaca?

Simak tulisan mantan menteri BUMN itu di Disway dan HARIAN BANGSA pagi ini, Ahad 31 Oktober 2021.

Atau baca BANGSAONLINE.com yang juga menurunkan secara lengkap. Khusus pembaca di BaBe, klik "lihat artikel asli” di bagian akhir tulisan ini agar lengkap, tak terpotong. Selamat membaca:

Itu pasti bukan nama sebenarnya: ''Tubi'' mungkin saja penggalan dari Kastubi. Atau Kurtubi. Matubi? Atau Mastubi? ''Burek'' kemungkinan besar punya asbabun nuzul tersendiri. Itu, awalnya, bisa jadi nama bully. Dari teman-teman kecilnya. Mungkin juga karena Tubi jarang mandi.

Atau karena kulitnya tidak jelas. Bisa juga karena kegantengannya yang samar-samar. Burek –''e'' nya dieja seperti membaca ''gudeg'' –artinya samar-samar, tidak jelas, tidak terang, atau Anda sudah tahu. Lalu Burek itu menjadi nama panggilan sehari-hari. Jadi nama kebanggaan.

Awalnya berupa ejekan, akhirnya jadi nama komersial di YouTube. Tuby Burex. Sudah empat tahun Tubi tidak bisa kencing. Gagal ginjal. Umurnya baru 29 tahun. Fisiknya masih tampak bagus. Apalagi suara nyanyinya. Saya pun ke rumahnya hari Minggu (24/10) siang lalu: di lingkungan kebun teh di lereng Gunung Arjuno. Masih harus naik lagi lima kilometer dari Hotel Niagara Lawang.

Sebenarnya Tubi bukan tidak bisa kencing. Ia takut kencing. Takut. "Sakitnya luar biasa," katanya. Pun bila bisa yang keluar hanya satu tetes. "Pernah anyang-anyangen? Sakitnya lima kali lipat dari itu," tambahnya.

Saya lihat bagian perutnya: tidak ada selang. Berarti tidak ada jalan darurat bagi urine untuk keluar. Tapi, saya lihat, tubuhnya juga tidak bengkak. Lalu, ke mana larinya sisa air yang ia minum sehari-hari?

Jelas, air itu tidak menjadi keringat. Ia kan tidak berolahraga. Air minum itu juga tidak jadi air mata. Ia orang yang tabah. Jarang menangis. Selama satu jam di rumahnya saya hanya melihat sekali ia berlinang. Yakni saat tidak bisa menyelesaikan lagu yang dinyanyikannya: Rindu Tak Sampai. Ia ingat istrinya. Yang meninggalkannya setelah dua kali menjalani cuci darah. Atau ingat anak tunggalnya. Yang masih berumur 9 tahun. Yang ikut sang mantan istri.

Sejak jatuh sakit Tubi mendengar sesuatu mengenai sang istri. Tubi memutuskan: untuk mengantarkan sang istri ke orang tuanyi. Rumah sang mertua tidak sampai 2 Km dari rumahnya. Tubi bukan bermaksud seperti lagu Betharia Sonatha: mengembalikannyi ke orang tuanyi. Tubi hanya ingin mertuanyalah yang akan menasihati sang istri.

Pekerjaan Tubi: jalanan. Itu ia lakukan sejak tamat SD di desa itu. Awalnya hanya ikut-ikutan. Akhirnya jadi mata pencahariannya. Juga jadi sumber pembiayaan untuk membeli minuman oplosan.

Ibunya bekerja sebagai pemetik daun teh. Ayahnya juga. Sampai sang ayah memutuskan untuk mengakhiri hidup dengan cara menggantungkan diri di sebuah pohon pinggir kebun teh. "Hati suami saya sangat kecil," komentar sang ibu tentang jalan akhir hidup suaminyi.

Waktu itu sang ayah mendengar Tubi mengalami . Ia juga mendengar tentang menantunya. Ia memang masih punya anak satu lagi. Laki-laki. Kakak Tubi. Baik hati. Pagi itu sang kakak naik sepeda motor, menjemput Tubi –untuk antar cuci darah.

Ia menanjaki jalan sempit menuju rumah Tubi: sepeda motornya bersenggolan dengan motor dari arah atas. Sang kakak meninggal dunia. Seketi. Maksud saya: seketika. 

Rumah yang ditempati Tubi dan ibunya itu sangatlah sederhana. Itu dibangun semasa ayah Tubi masih hidup. Belum selesai. Belum ada plafonnya –mungkin menunggu Tubi sembuh. Atau menunggu lagu Rindu Tak Sampai itu ditonton 200.000 orang –termasuk dari seluruh pembaca Disway.

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO