Khofifah Cagub Tiada Lawan: Populis, Teknokratis, Spiritualis dan Tawadlu' Kiai | BANGSAONLINE.com - Berita Terkini - Cepat, Lugas dan Akurat

Khofifah Cagub Tiada Lawan: Populis, Teknokratis, Spiritualis dan Tawadlu' Kiai

Editor: M Mas'ud Adnan
Sabtu, 09 Maret 2024 08:19 WIB

Para ibu-ibu Muslimat NU berebut menyalami Khofifah Indar Parawansa yang merupakan Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muslimat NU. Foto: Humas Pemprv Jatim

SURABAYA, BANGSAONLINE.com – Jabatan Khofifah Indar Parawansa sebagai gubernur Jawa Timur berakhir pada 13 Februari 2024 lalu. Arek Wonocolo Suroboyo itu menjabat gubernur Jatim 5 tahun persis. 

Kini Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muslimat NU itu memutuskan untuk maju kembali sebagai calon gubernur Jawa Timur. Untuk priode kedua.

Yang menarik, Pj Gubernur Jawa Timur juga dijabat orang kepercayaannya: Adhy Karyono. Birokrat asal Cirebon Jawa Barat itu sebelumnya menjabat Sekrertaris Daerah (Sekda) Pemprov Jatim. Ini berarti relasi politik Khofifah dengan pemerintah pusat cukup kuat.

Secara elektoral, diakui atau tidak, Khofifah tiada lawan. Insyaallah. Tak perlu survei. Secara common sense saja publik sudah paham. Bahwa Khofifah adalah kandidat gubernur Jawa Timur terkuat.

Kekuatan elektoral Khofifah juga tak tergantung pendamping (cawagub). Bahkan disandingkan dengan - maaf –kambing pun, Khofifah diyakini menang.

Banyak sekali faktor Kenapa saya yakin Khofifah tiada lawan.

Pertama, Khofifah sangat . Merakyat. Khofifah bukan tipe pemimpin belakang meja. Kakinya gatal jika sehari saja tak bertemu rakyatnya. Karena itu ia tak pernah absen turun ke daerah. Saat Covid-19 sekalipun.

Nah, silaturahim itu menjadi kekuatan utama Khofifah. Dengan siapa pun dan kalangan mana pun. Hebatnya lagi, di sela kunjungan kerjanya Khofifah kerap menyelinap menemui orang kecil.

Tahun lalu, ketika menghadiri HUT ke-23 HARIAN BANGSA, Khofifah mampir di rumah penjual onde-onde. Rumah kontrakan. Sekaligus tempat produksi onde-onde. Tak jauh dari kantor HARIAN BANGSA. Bahkan tetangga. Di Jalan Cipta Menanggal I Surabaya. 

Khofifah masuk ke rumah sempit itu. Pemilik onde-onde kaget sekaligus girang. Merasa surprise.

Ketika Khofifah pulang, saya datangi penjual onde-onde itu. Ngobrol. Ia  berterimakasih karena bisa foto bersama Khofifah. Dan sampai sekarang ia dan para karyawannya selalu mengingat peristiwa itu.

Memang sempat muncul kritik soal penataan birokrasi di Pemrpov Jatim. Khofifah dianggap jarang di kantor. Terlalu banyak turba. Orang yang gak suka mengistilahkan sering “manggung”. Padahal Khofifah turba untuk kunjungan kerja. 

Tiada gading yang tak retak. Begitu juga Khofifah. Apalagi awal periode pertama bagi Khofifah merupakan masa transisi sekaligus adaptasi.

Kini secara perlahan – namun pasti – birokrasi di Pemprov Jatim telah tertata. Suara sumbang - sering "manggung" - pun lenyap. Bagai ditelan bumi. 

Yang menarik, dalam menata birokrasi Pemprov Jatim Khofifah tak hanya memakai pendekatan Max Weber . Yang rasional organisatoris. Tapi juga memberi ruh spiritualitas. Dalam berbagai dimensi.

Antara lain, mengajak para birokrat yang dipimpinnya puasa sunnah: puasa 41 hari, puasa ayyamul bidh dan amalan spiritual lainnya. Untuk mengunduh barokah langit. Demi tugas atau Amanah yang dipanggulnya.

Khofifah melakukan itu dengan penuh keyakinan. Bahkan enjoy, karena laku spiritual itu bagian dari budaya hidup pribadi sehari-harinya.

Kedua, Khofifah memiliki kemampuan . Ini fenomena menarik dari seorang Khofifah. Seorang pemimpin kharismatik tapi juga punya kemampuan .

Setidaknya itulah penilaian Dahlan Iskan, tokoh pers sekaligus mantan Meteri BUMN. Yang dikenal piaawai dalam manajemen.

Menurut Dahlan Iskan, Khofifah mengalami transformasi. Dari seorang pimpinan ormas menjadi teknokrat. Ya, artinya Khofifah memiliki kemampuan

Kemampuan teknokrasi adalah kemampun melihat persoalan, kemudian bisa menstrukturkan persoalan, lalu bisa membuat skala prioritas, mana yang penting, mana yang agak penting, dan mana yang kurang penting.

“Kemampuan itu sangat diperlukan bagi seorang pemimpin,” kata Dahlan Iskan yang mengaku baru dua kali mendengarkan pidato Khofifah.

Wartawan kondang yang sangat produktif menulis itu mengatakan, tak mudah melihat persoalan. “Persoalan itu banyak. Tak semua orang bisa melihat persoalan,” katanya sembari mengatakan bahwa kadang orang grambyang dalam melihat persoalan.

Bahkan, kata Dahlan, kadang orang bisa melihat persoalan tapi tak bisa menstrukturkan persoalan.

Dahlan merinci beberapa syarat seorang teknokrat. Menurut dia, seorang teknokrat, selain mampu memilah mana persoalan yang penting, yang agak penting dan kurang penting, juga harus mampu membuat program.

“Bukan hanya mampu membuat program tapi juga mampu mengoperasionalkan dan juga mampu mengontrolnya sehingga mencapai target,” katanya.

Menurut Dahlan, teknokrat sangat langka di lingkungan pesantren. “Dan itulah kelemahan keluarga kita, keluarga pesantren, termasuk keluarga saya. Karena saya mendapat warisan dari leluhur kami sekitar 120 madrasah,” kata Dahlan Iskan.

“Kita pinter pidato, kita pinter mengerahkan massa, kita pinter berdebat, tapi lemah dalam ,” tambahnya.

Ketiga, Khofifah tawaddlu' pada kiai. Sebagai pemimpin atau pejabat berbasis pesantren, Khofifah memiliki karakter tawaddlu. Saya beberapa kali mengikuti pidato Khofifah di depan para kiai, terutama kiai pesantren. Dalam pidatonya Khofifah selalu “melaporkan” program atau kinerja yang telah sukses dilakukan. Hebatnya, kesuksesan itu tidak diklaim semata prestasi kerja dirinya dan tim birokrasinya. Tapi dianggap berkat doa para kiai.

“Kalau kita kerja keras, provinsi lain juga kerja keras. Kalau kita profesional, provinsi lain juga kerja profesional,” kata Khofifah di depan para kiai.

Tapi khusus doa, kata Khofifah, provinsi lain belum tentu punya kekuatan doa seperti provinsi Jawa Timur. Sukses kinerja Pemprov Jatim, tegas Khofifah, berkat doa para ulama, kiai, habaib, santri dan masyarakat Jatim yang religius.

Karakter kepemimpinan tawadlu Khofifah itu menimbulkan simpati para kiai. Bahkan kiai atau gus yang pada kampanye Pilgub 2018 menyerang Khofifah secara pribadi sekarang bersimpati. Apalagi, Khofifah selama lima tahun menjabat gubernur Jawa Timur tidak membedakan kiai pendukung atau bukan. Bahkan Khofifah dianggap lebih peduli pada kiai-kiai yang tak mendukung dalam Pilgub 2018.

Keempat, Khofifah memiliki kekuatan Muslimat NU. Khofifah sangat mengakar di Muslimat NU. Saking mengakarnya sampai Soekarwo (Pakde Karwo) mengeluh saat dua kali berhadapan dengan Khofifah dalam Pilgub Jatim.

“Satu-satunya yang tak bisa saya jebol adalah Muslimat NU,” kata Pakde Karwo dalam pertemuan terbatas. Soekarwo adalah gubernur Jawa Timur  dua periode sebelum Khofifah.

Memang. Khofifah bukan hanya ketua umum Muslimat NU. Tapi sudah dianggap sebagai Mbok-e Muslimat NU. Ibunya Muslimat NU.

Kelima, Khofifah Cagub incumbent. Sebagai cagub incumbent tentu Khofifah memiliki jaringan luas dan kuat. Bahkan jaringannya terbangun di seluruh Jawa Timur. Apalagi Khofifah selain banyak turba juga banyak program yang telah merasuk ke masyarakat Jawa Timur. Termasuk di lingkungan pesantren. Diantaranya One Pesantren One Product (OPOP).

Khofifah juga banyak membangun insfrastruktur. Baik untuk internal Pemprov Jatim – seperti kantor baru berbagai dinas – maupun fasilitas umum dan bisnis. Antara lain Masjid Islamic Centre, asrama mahasiswa nusantara, kawasan bisnis halal dan sebagainya.

Karena itu wajar jika Khofifah tak ada lawan. Meski demikian bukan berarti PKB dan PDIP diam. Sebagai partai terbesar di Jawa Timur sangat mungkin PKB dan PDIP kembali berkolaborasi. Memunculkan cagub-cawagub.

Di PKB ada Thoriqul Haq (mantan bupati Lumajang) dan Badrutt Tamam (mantan bupati Pamekasan), disamping Abdul Halim Iskandar (Menteri Pembangunan Desa Tertinggal dan Transmigrasi). Sedangkan di PDIP ada Abdullah Azwar Anas (MenPAN RB) dan Tri Rismahari atau Risma (Menteri Sosial).

Wallahu’lam bisshawab. (M. Mas’ud Adnan)

 

Berita Terkait

Bangsaonline Video