Saiful Ilah Beri Ijin Lapindo Ngebor Lagi, Berdalih Dapat Persetujuan Tiga Kepala Desa
Rabu, 20 Januari 2016 17:53 WIB
Soekarwo mengungkapkan bahwa kajian dilakukan Pusat Studi Kebencanaan dan Perubahan Iklim Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya. Hasil kajian, menurut dia, dapat dijadikan sebagai satu pertimbangan oleh pemerintah pusat untuk tetap memberikan izin pengeboran atau tidak. "Selain juga akan menjadi dasar sikap dari pemerintahan provinsi untuk mendukung atau menolak pengeboran itu," katanya.
Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Dewi J. Putriatni menjelaskan bahwa kajian teknis ini menggunakan pendekatan geologi, geofisika, dan geodesi. Ini dilakukan untuk mengetahui kondisi bawah dan permukaan di sekitar lokasi rencana pengeboran sumur baru Lapindo.
Menurut dia, pengeboran selalu memperhatikan soal keadaan tanah. Terlebih, adanya kolam raksasa dan lumpur yang masih terus menyembur tak jauh dari lokasi itu. Hasil studi ITS pada 2008 dan 2010 disebutkannya menunjukkan telah terjadi penurunan tanah yang meluas dari kolam lumpur tersebut.
Sedangkan untuk kajian sosial dan ekonomi dilakukan lewat survei respons masyarakat terhadap kegiatan eksplorasi dan eksploitasi migas. Selain itu, melihat kerentanan sosial-ekonomi penduduk sekitar, terutama di wilayah Kecamatan Tanggulangin. "Kita semua tahu kejadian bencana lumpur membuat masyarakat takut. Jadi kami perlu lakukan kajian," ujar Dewi.
Tim, kata Dewi, akan melakukan kajian selama tiga bulan sejak 18 Januari 2016. Kajian juga telah disepakati Lapindo Brantas.
Berbeda dengan klaim Saiful Ilah, warga di beberapa Kecamatan konsisten menolak. "Sejak 2012, semua warga Desa Kalidawir menolak pengeboran yang dilakukan Lapindo," kata Mochamad Arifin (60 tahun), warga Kalidawir yang dikenal getol melakukan penolakan, di kediamannya, dilansir Tempo, Sabtu (16/1).
Menurut Arifin, Lapindo Brantas memiliki dua sumur di Desa Kalidawir. Keduanya dibor sebelum terjadinya semburan lumpur di Sumur Banjar Panji 1 di Desa Renokenongo, Kecamatan Porong. "Sejak terjadi semburan, setiap kali mau ngebor lagi, kami larang," ucapnya.
Terakhir, ujar dia, warga melakukan demo penolakan pada 2014, saat Lapindo berencana melakukan pengeboran di salah satu sumur. "Warga saat itu menutup akses jalan menuju lokasi pengeboran," tuturnya. Selain menjalankan aksi, warga berkirim surat ke pemerintah pusat.
Bersama warga lain, Arifin mengaku juga pernah melakukan demo di lokasi pengeboran di Desa Kedungbanteng. "Sekitar tahun 2012, kami dulu juga ikut demo ke sana bersama warga Kedungbanteng dan Banjarasri. Saat itu Desa Banjarasri masih dipimpin kades lama."
Menurut dia, warga menolak pengeboran, antara lain, karena masih trauma oleh semburan lumpur akibat pengeboran oleh Lapindo beberapa tahun lalu yang menenggelamkan ribuan rumah. Selain itu, Lapindo tidak bermanfaat bagi warga. "Lapindo hanya menyengsarakan dan meresahkan warga," katanya. Karena itu, Arifin menilai sikap yang diambil warga Desa Kedungbanteng dan Banjarasri sangat tepat.
sumber : Tempo.co