​Politikus Rayap, Siapa Mereka? | BANGSAONLINE.com - Berita Terkini - Cepat, Lugas dan Akurat

​Politikus Rayap, Siapa Mereka?

Editor: MMA
Senin, 14 Oktober 2019 10:04 WIB

M Mas'ud Adnan. Foto: BANGSAONLINE.COM

Oleh: M Mas’ud Adnan*

Rayap, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesa (KBBI), mengandung dua arti. Pertama, rayap adalah serangga (seperti semut) berwarna putih tidak bersayap. Kedua, rayap berarti orang yang mengeruk kantong orang lain.

Dalam berbagai literatur ilmu pengetahuan, rayap disebut sebagai hama ganas dan serangga sosial. Rayap suka hidup di tempat gelap dan lembap sehingga sulit terdeteksi.

(Rayap adalah serangga sosial. foto: istimewa)

Dalam kehidupan sehari-hari, rayap adalah pemakan kayu dari dalam. Ia menggerogoti kayu itu sampai keropos. Padahal fungsi kayu itu adalah penyanggah utama bangunan, baik rumah, kantor, atau bangunan lain.

Dalam beberapa kasus, si pemilik rumah tak tahu kalau penyangga rumahnya diserang rayap secara ganas sehingga tiba-tiba ambruk karena sulit terdeteksi.

Nah, politikus rayap adalah politikus yang menggerogoti tiang-tiang negara baik secara ekonomi, politik, ideologi, maupun akhlak. Koruptor adalah politikus rayap paling ganas karena menggerogoti uang negara dari dalam. Begitu juga politikus amoral dan tak beradab sangat berbahaya karena menghalalkan segala cara, sehingga aturan, tata kelola negara, dan sendi-sendi demokrasi yang dibangun dan disepakati bersama diabaikan.

Apa politikus rayap sekarang ada? Banyak. Di semua negara selalu ada politikus rayap. Yang beda persentasenya. Ada negara yang jumlah politikus rayapnya sedikit, cuma 5 persen, 1 persen, bahkan 0.5 persen. Tapi ada juga negara yang politikus rayapnya mencapai 50 persen bahkan 80 persen.

(Rayap menggerogoti kayu dari dalam)

Bagaimana dengan Indonesia? Tentu juga ada.Tapi saya malu untuk menduga-duga berapa persen politikus rayap di Indonesia. Yang pasti, Pembaca lebih paham dari saya.

Apa indikator seseorang disebut politikus rayap? Pertama, mereka mengkorup uang negara. Atau paling tidak, mereka pro koruptor. Sama seperti rayap yang suka hidup di tempat lembap, politikus rayap juga suka hidup di pos basah. Tak heran, jika pos yang membidangi anggaran menjadi rebutan para elit partai politik.

Kedua, mereka alergi terhadap penegakan hukum. Kenapa? Jika hukum tegak, maka mereka tidak bisa leluasa menggerogoti uang negara, baik secara personal maupun kelompok. Tak heran, jika mereka terus berupaya melakukan rekayasa agar semua lembaga hukum dilumpuhkan dengan dalih menguatkan.

Caranya macam-macam. Ada kalanya mereka “menaruh” pion-pion dalam lembaga hukum atau merekayasa aturan sedemikian rupa agar hukum tidak menimpa mereka dan kelompoknya.

Apakah kontroversi Perppu KPK yang sekarang lagi ramai masuk kategori ini? Lagi-lagi Pembaca yang lebih paham.

Ketiga, mereka kebal muka. Ya, politikus rayap tak punya rasa malu. Nuraninya tumpul, otaknya penuh ambisi, dan kepentingan. Karena itu, ia tak pernah memikirkan nasib orang lain. Apalagi nasib bangsa dan negara. Bagi mereka, negara ambruk pun tak pusing. Yang menjadi fokus otaknya, bagaimana menghimpun kekuasaan dan keuntungan sebesar-besarnya, baik secara sah maupun tak sah.

Keempat, mereka rakus. Ibarat minum air laut, semakin minum mereka semakin haus. Lihat saja harta kekayaan mereka yang melimpah. Tapi mereka sama sekali tidak punya sensitivitas, apalagi empati publik. Kalau toh mereka melakukan aksi sosial, tak lebih sebagai umpan untuk mendatangkan keuntungan yang lebih besar. Karena itu, aksi-aksi sosial mereka harus diviralkan. Mental saudagarnya sangat kuat. Mereka keluarkan modal sedikit, tapi harus meraih keuntungan sebanyak-banyaknya.

Kelima, nepotis. Ini konsekuensi dari kerakusan itu. Para politikus rayap membangun politik dinasti agar kekuasaan dan keuntungan tak lari ke orang lain. Padahal semua anak bangsa punya hak yang sama. Karena itu, meski anak atau saudaranya kadang tak memiliki kapasitas dan kualitas memadai dipaksakan menduduki jabatan tertentu, mumpung ia masih berkuasa.

Kok tidak malu? Pada indikator ketiga sudah jelas: mereka kebal muka!

Alhasil, negara diatur seperti perusahaan milik keluarga. Akibatnya, negara berpotensi ambruk jika para politikus rayap itu dibiarkan leluasa berkuasa. Karena itu semua anak bangsa - terutama yang masih punya nurani - harus mengoreksi pelaksaanaan pengelolaan negara.

Sekali lagi: itu hak sekaligus kewajiban kita!  

*Penulis, Direktur RAHMI Centre

 

Berita Terkait

Bangsaonline Video