Ormas Rame-Rame Tolak Kelola Tambang dari Jokowi, Muhammadiyah: Pelanggaran UU No 3

Ormas Rame-Rame Tolak Kelola Tambang dari Jokowi, Muhammadiyah: Pelanggaran UU No 3 Dampak kerusakan alam atau lingkungan akibat pertambangan batubara sangat serius. Seperti terlihat dalam ilustrasi gambar ini bumi tercabik-cabik. Foto: anakteknik.co.id

JAKARTA, BANGSAONLINE.com – Organisasi Masyarakat Keagamaan rame-rame menolak hak istimewa (privilese) mengelola tambang yang diberkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) kepada ormas keagamaan. 

Setidaknya, sekarang sudah ada tiga ormas keagamaan yang secara tegas menolak. Yaitu Muhammadiyah dan Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) dan Perhimpunan Mahasiswa Kristen Republik Indonesia (PMKRI) juga menentang pengelolaan tambang diberikan kepada ormas. 

Tampaknya daftar itu akan terus bertambah. Kenapa mereka menolak?

Ketua Majelis Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Trisno Raharjo, menyatakan keberatan terhadap langkah Presiden Joko Widodo yang memberikan izin kepada organisasi masyarakat (ormas) keagamaan untuk mengelola konsesi pertambangan tanpa proses lelang.

Menurut Trisno Raharjo, pemberian Izin Usaha Pertambangan (IUP) kepada ormas keagamaan tanpa proses lelang merupakan pelanggaran terhadap Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Undang-Undang tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (UU Minerba). Muhammadiyah menekankan pentingnya menjaga integritas proses perizinan pertambangan dan menolak setiap bentuk penyimpangan yang dapat merusak tata kelola sumber daya alam di Indonesia.

Dilansir Fajar.co.id, Trisno menambahkan bahwa semua pihak harus mengikuti aturan hukum yang berlaku untuk memastikan pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan dan adil.

Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) juga menolak. Uskup Agung Jakarta Prof Ignatius Kardinal Suharyo Hardjoatmodjo menegaskan bahwa KWI tidak akan mengajukan izin untuk usaha tambang.

"Saya tidak tahu kalau ormas-ormas yang lain ya, tetapi di KWI tidak akan menggunakan kesempatan itu karena bukan wilayah kami untuk mencari tambang dan lainnya," kata Kardinal Suharyo usai bersilaturahmi di Kanwil Kemenag DKI Jakarta, Jalan DI Panjaitan, Jatinegara, Jakarta Timur, Rabu (5/6/2024).

Seperti diberitakan, kini lagi ramai tentang Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2024 yang memberi peluang bagi badan usaha milik organisasi kemasyarakatan (ormas) keagamaan mengelola usaha pertambangan batubara selama periode 2024-2029.

PP 25 Tahun 2024 merupakan perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara.

"Pelayanannya kan jelas ya, KWI tidak masuk di dalam (usaha tambang) seperti itu," kata Kardinal Suharyo.

Sampai sekarang hanya PBNU yang merespons positif terhadap pengelolaan tambang yang diberikanJokowi itu. Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Staquf menyatakan, peluang seperti itu dibutuhkan NU.

Bahkan Yahya Staquf sudah menyiapkan perusahaan untuk mengelola tambang. Perusahaan itu nantinya akan dipimpin oleh Gudfan Arif yang putra KH Abdul Ghofur, pengasuh Pondok Pesantren Sunan Drajat, Lamongan, Jawa Timur. Kini Gudfan juga Bendahara Umum PBNU.

"Ketika pemerintah memberi peluang ini, membuat kebijakan afirmasi ini, kami melihat sebagai peluang dan segera kami tangkap. Wong butuh, bagaimana lagi," kata Yahya Cholil Staquf kepada wartawan di Jakarta, Kamis, 6 Juni 2024.

Gus Yahya, sapaan akrabnya, menyebutkan kebutuhan PBNU cukup banyak untuk memenuhi hajat para warganya.

"Kita ketahui bahwa NU itu adalah organisasi keagamaan dan kemasyarakatan, sehingga bukan hajat agama saja yang dikelola, yang diurus, tapi hajat kemasyarakatan termasuk ekonomi, pertanian, pendidikan, kesehatan dan lain sebagainya," kilah Yahya diktutip Tempo.co.

Gus Yahya mengungkapkan hasil survei menunjukkan PBNU memiliki anggota sebanyak kurang lebih separuh penduduk Indonesia.

Ia menambahkan PBNU juga memiliki sekitar 3.000 pondok pesantren dan madrasah, yang untuk mengelolanya memerlukan banyak sumber daya.

Salah satunya adalah Ponpes Lirboyo di Kediri, Jawa Timur. Ia menceritakan kondisi ponpes tersebut memiliki santri lebih dari 43.000 orang, namun dengan fasilitas yang sangat ala kadarnya.

Ia menuturkan para santri di ponpes tersebut tinggal di kamar seluas 3x3 meter, sehingga para santri hanya bisa menaruh barang di kamar, namun tidur di sembarang tempat seperti emperan kelas dan masjid.

"Nah kalau kita menunggu afirmasi pemerintah yang langsung, itu nanti harus berhadapan parameter birokrasi yang pasti lama sekali," ucapnya.

Gus Yahya juga menuturkan pihaknya melalui Muslimat NU mengelola ribuan Taman Kanak-kanak dan Raudatul Athfal (TK dan RA) yang selama ini para gurunya hanya mendapatkan honor minim.

"Sekarang realitasnya kita ketahui bahwa sumber daya komunitas yang diambil dari komunitas itu sendiri tidak lagi mencukupi, sehingga perlu ada intervensi. Dalam soal ini, maka NU butuh revenue," tutur Yahya Cholil Staquf.

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO