SURABAYA, BANGSAONLINE.com - Kurang dari sebulan jelang coblosan serentak pada 9 Desember 2020 mendatang, Surabaya Corruption Watch (SCW) menyoroti dan mengkritisi merosotnya pemilih dari DPS menjadi DPT, namun justru tempat Pemungutan Suara (TPS) bertambah.
Kedua, SCW juga menyoroti terkait penggunaan anggaran miliaran rupiah dari Naskah Perjanjian Hibah Daerah (NPHD) dengan Wali Kota Surabaya yang sudah terealisasi beberapa waktu yang lalu untuk menggelar Pemilihan Wali Kota dan Wakil Wali Kota (Pilwali) Surabaya 2020.
BACA JUGA:
- Antusiasme Pendaftar PPK di KPU Surabaya Tinggi, Tembus 525 Orang Sejak 2 Hari Dibuka
- Digitalisasi Informasi Inklusif dan Ramah Disabilitas: Pemilu Berkeadilan di Surabaya
- Beredar Daftar Caleg Terpilih, Ketua KPU Surabaya Bilang Begini
- Rekapitulasi Suara Pemilu 2024, KPU Surabaya Ajukan Perpanjangan Rapat Pleno ke Bawaslu
Koordinator Surabaya Corruption Watch (SCW), Hari Cipto Wiyono mengatakan, Pilwali Surabaya ini membutuhkan persiapan yang matang, terukur, dan komprehensif, baik dari sisi regulasi, anggaran, infrastruktur, kesiapan SDM penyelenggara, tata kelola, dan sosialisasi serta implementasi protokol kesehatan Covid-19.
“Secara logika, ketika pemilih dalam DPT berkurang, idealnya jumlah TPS-nya juga ikut berkurang atau surut, kenapa justru bertambah? Ada apa? Pilwali Surabaya menggunakan anggaran publik seharusnya transparan,” tegas Cipto
Masih kata Cipto, anggaran KPU Surabaya yang tersurat dalam NPHD bukanlah dokumen yang serta-merta terjadi. Akan tetapi, melalui persiapan yang matang dan ada landasan hukum yang mengatur.
“Jadi, bukan ngawur, tapi terukur dan komprehensif. Sehingga, jikalau ada perubahan harus transparan terkait anggaran. Ini uang negara lho, bukan dana sinoman. Kekurangannya didapat dari mana harus dapat dipertanggungjawabkan. Dan, patut diduga jika tidak ada transparansi anggaran,” imbuhnya.